Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu disampaikan dengan ringan dan akrab dalam acara penutupan rapat pimpinan TNI dan Polri, Jumat dua pekan lalu, di Jakarta. Dia meminta para prajurit yang bergaji kecil bersabar seraya menunjuk gajinya sendiri yang belum pernah naik sejak tujuh tahun silam. Yudhoyono tak ketinggalan menyampaikan bahwa banyak pejabat juga belum menerima gaji layak.
Tak dinyana, kata-kata Presiden itu meletupkan heboh. Yudhoyono dianggap berkeluh-kesah tentang gaji tidak pada tempatnya. Sejumlah politikus Partai Golkar di DPR bahkan membuat gerakan ”Koin untuk SBY”, yang segera dibalas sengit oleh Benny K. Harman, politikus Partai Demokrat, dengan ucapan, ”Lebih bagus: Koin untuk Lapindo.”
Ekonom yang sempat mencicipi kursi di DPR, Didik J. Rachbini, mengatakan pernyataan Presiden itu tidak pantas, mengingat kondisi kemiskinan rakyat dan tingkat korupsi yang tinggi. ”Saya sudah tiga kali mendengar itu langsung dari mulut Presiden,” ujarnya.
Pandangan serupa dilontarkan pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana. Apa yang diucapkan Yudhoyono, menurut dia, secara implisit mengandung pertanyaan: kapan gaji saya dinaikkan. ”Ini pertama kali di dunia, seorang presiden secara terbuka bicara tentang gajinya,” katanya.
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Azis membenarkan gaji Presiden tidak naik sejak 2004. Tapi itu cuma gaji pokoknya. ”Kalau tunjangan, semua pasti naik,” ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Laporan Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat 2005 menyebutkan, Yudhoyono menerima gaji kotor, termasuk tunjangan jabatan dan tunjangan lain, Rp 85.074.356 per bulan. Setelah dikurangi pajak dan potongan Rp 22.576.556, dia ”hanya” menerima Rp 62.497.800 per bulan atau Rp 749 juta setiap tahun. Di luar jumlah itu, masih ada dana taktis Rp 2 miliar per bulan yang biasanya digunakan untuk kegiatan sosial presiden.
Hitungan ini berbeda dengan berita situs The Economist pada 5 Juli 2010, yang menyebut Presiden Indonesia menerima gaji US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,12 miliar per tahun. Situs itu menampilkan grafik yang menunjukkan gaji presiden sekitar 28 kali pendapatan per kapita yang diukur dari daya beli masyarakat.
Dengan jumlah itu, Yudhoyono merupakan presiden dengan gaji terbesar ketiga di dunia. Posisi pertama dan kedua ditempati Perdana Menteri Kenya Raila Odinga, yang 240 kali lebih besar, dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, 40 kali lebih besar.
Pendapatan Yudhoyono itu jauh lebih tinggi daripada gaji Perdana Menteri Cina, yang hanya dua-tiga kali pendapatan per kapita. Padahal, dengan cadangan devisa US$ 2,85 triliun dan tingkat pertumbuhan ekonomi 9,5 persen, Cina jauh lebih kaya ketimbang Indonesia.
Persoalan yang mendesak, menurut Tjipta Lesmana, sesungguhnya adalah tidak adilnya sistem penggajian pejabat. Dia lantas membandingkan gaji presiden Rp 62,5 juta itu dengan gaji Gubernur Bank Indonesia yang Rp 265 juta per bulan. ”Jauh sekali ketimpangannya,” katanya.
Gaji presiden juga sangat jauh dibandingkan dengan gaji para bankir bank milik pemerintah. Menurut catatan Tempo, Direktur Utama Bank Mandiri dan Bank BRI setiap tahun menerima penghasilan—gaji pokok dan tantiem—lebih dari Rp 9 miliar. Direktur Utama Bank BNI mendapat Rp 6,8 miliar per tahun. Adapun Direktur Utama Pertamina pada 2009 menerima gaji dan tantiem Rp 10,5 miliar. ”Pemerintah harus membuat sistem penggajian yang fair,” Tjipta menambahkan.
Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, tidak setuju Presiden disebut meminta kenaikan gaji. Pernyataan bosnya, menurut dia, adalah untuk memotivasi kinerja TNI dan Polri agar lebih maksimal. ”Tidak ada istilah curhat (curahan hati), itu terlalu berlebihan,” ujarnya.
Di tengah silang pendapat itu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan gaji presiden akan naik tahun ini bersama 8.000 pejabat lainnya. Rencana itu sudah masuk anggaran negara 2011. Besaran kenaikannya hasil dari kajian penyesuaian gaji pejabat pusat dan daerah selama tiga tahun. ”Kalau gaji presiden tak dinaikkan, gaji pejabat lain sulit dinaikkan,” kata mantan bankir ini, Rabu pekan lalu. Sebuah kebetulan yang mengagumkan.
Anne L. Handayani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo