Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP penerbitan buku di negeri ini seyogianyalah disambut dengan sukacita. Betapa tidak, menurut catatan sebuah survei, sepanjang 2010 Indonesia hanya menerbitkan sekitar 15 ribu judul buku. Jumlah ini memang sudah bagus jika dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya, yang cuma sekitar 10 ribu judul buku.
Data lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, memperlihatkan pada kurun yang sama Jepang menerbitkan sekitar 60 ribu judul buku, dan Inggris 110.115 judul buku. Memang tak layak membandingkan Indonesia dengan kedua ”negeri di atas angin” itu. Tapi, jika menyimak angka indeks minat baca yang disurvei lembaga yang sama, patutlah kita mengurut dada.
Indonesia, dalam survei UNESCO, hanya beroleh angka indeks 0,001. Artinya, dari seribu orang Indonesia, hanya satu yang mempunyai minat baca. Coba bandingkan dengan Singapura, yang memperoleh angka indeks 0,45, yakni dari seratus orang, 45 orang mempunyai minat baca. Itu sebabnya setiap penerbitan buku di negeri ini patut disambut riang gembira.
Persoalannya baru menjadi lain jika penerbitan—apalagi penyebaran—sebuah buku mengandung ”udang di balik batu”. Coba: tak hujan tak angin, serangkaian buku muncul di sejumlah sekolah menengah pertama di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, awal Januari lalu. Di bawah bendera Lebih Dekat dengan SBY, serial itu meliputi sepuluh judul. Ada Jendela Hati, Jalan Panjang Menuju Istana, ada pula Merangkai Kata Menguntai Nada—mengingatkan kita pada program musik di Televisi Republik Indonesia zaman baheula.
Dua judul terkesan lebih ”menukik”, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Bintang Lembah Tidar dan Surat untuk Ibu Negara. Satu buku khusus ditulis Dino Patti Djalal, bekas juru bicara Istana, dengan judul Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY. ”Isinya puji-pujian kepada SBY,” kata seorang guru madrasah tsanawiyah di Tegal. Baik guru di sekolah-sekolah yang ”ketiban” buku itu maupun Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tegal merasa tak pernah memesan buku itu, bahkan tak pernah diberi tahu akan dikirimi serial buku tersebut.
Tak aneh jika Dewan Pendidikan Tegal mempertanyakan pengiriman buku yang diterbitkan PT Remaja Rosdakarya, Bandung, itu. Apalagi buku itu ”disisipkan” bersama buku bantuan Dana Alokasi Khusus, yang sebetulnya mengutamakan buku pelajaran atau pengayaan mata pelajaran. Sebagai bantuan Dana Alokasi Khusus, kiriman ini juga dilakukan secara pukul rata. Ada sekolah yang lebih membutuhkan ruangan kelas atawa jamban, misalnya, ketimbang buku Surat untuk Ibu Negara.
Dengan berbagai kesimpangsiuran itu, tak sulit menebak upaya pembinaan citra melalui kiriman buku ini. Apalagi sasarannya murid sekolah menengah pertama, calon potensial pemilih pemula pada 2014. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional, seperti sudah diperkirakan, mencoba berkelit. Serial buku itu dikatakan sudah lolos dari penilaian sebuah tim independen.
Mengikuti asas transparansi, seperti yang sering didengungkan SBY, tolong diungkap siapa saja anggota ”tim independen” itu. Tapi langkah paling mendesak adalah menarik buku yang sudah beredar setidaknya di 66 dari 82 sekolah di Kabupaten Tegal itu. Kemudian bentuk lagi tim yang betul-betul independen untuk mengkaji ulang seberapa mustahaknya ”serial SBY” ini bagi pendidikan nasional, dan seberapa ”halal” prosedur penyebarannya ke sekolah-sekolah. Di atas segalanya, hendaklah pembinaan citra dilakukan dengan cara-cara yang cerdas dan boleh dibanggakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo