Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKOR itu pecah setelah 130 tahun lebih: General Electric (GE) melebarkan ”markas besar”-nya ke Asia. Untuk pertama kalinya, raksasa teknologi itu menugasi eksekutif global setingkat vice chairman memimpin pasar non-Amerika Serikat dari Asia—tepatnya Hong Kong. Maka John G. Rice, sang eksekutif, menempati kantor barunya di One Exchange Square, Hong Kong, sejak Januari lalu.
”Dunia berubah amat cepat. Agar berkembang lebih pesat di luar Amerika, kami harus mengubah cara berpikir serta memindahkan pusat gravitasi kami,” ujar Rice kepada Tempo. Bekas koloni Inggris itu dipilih karena, ”Lokasinya dekat pasar-pasar terpenting kami di Asia dan akses keluar-masuknya mudah,” dia menambahkan.
Alumnus Hamilton College, New York, ini menuturkan pembukaan markas GE di Asia diputuskan dalam waktu singkat saja: ”Jeff (Jeffrey Immelt, Chairman GE—Red.) dan saya memutuskannya hanya dalam dua bulan.” Banyak bepergian sepanjang kariernya membuka banyak kesempatan bagi Rice melihat apa yang, dalam istilah dia: ”Membuat perkembangan kami di luar Amerika terhambat.”
Kunjungan pertama—dalam posisi barunya—ke Indonesia berlangsung pada 24 Februari lalu. Rice menemui sejumlah pejabat, antara lain Gubernur Jakarta Fauzi Bowo serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan. ”Pendapat pemerintah mempengaruhi strategi kami di sini. Jadi kami harus tahu prioritas yang benar,” katanya.
Di sela-sela jadwal kunjungan luar biasa padat, dia memberikan wawancara khusus kepada wartawan Tempo Hermien Y. Kleden, Sadika Hamid, Padjar Iswara, dan Efri Ritonga. Perbincangan berlangsung di Hotel Four Seasons dalam suasana rileks.
Apakah GE punya rencana investasi baru di Indonesia?
Kami telah meneken nota kesepahaman dengan pemerintah untuk mengidentifikasi beberapa wilayah prioritas. Ada banyak potensi investasi (di Indonesia—Red.). Kami bertemu dengan pelanggan dan pemerintah—dan menjadi lebih paham apa saja yang dibutuhkan untuk bisa berhasil di sini. Saya percaya hal ini akan membawa lebih banyak investasi ke Indonesia.
GE Indonesia menerapkan konsep company to city, meluaskan jangkauan servis ke aneka wilayah terpencil. Bagaimana Anda mendukung inisiatif ini?
Memang hal seperti ini yang seharusnya dilakukan perusahaan seperti kami. Selama 130 tahun, kami berinvestasi mengembangkan teknologi yang dapat membantu memecahkan masalah mendasar, seperti kekurangan air bersih, pelayanan kesehatan yang layak dan terjangkau, serta persediaan listrik. Tapi kami tak bisa melakukannya sendirian—dan harus bekerja sama dengan perusahaan lain, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat.
Pernahkah Anda khawatir para pemimpin di GE Indonesia yang sebagian besar masih muda cenderung lebih melayani negara mereka ketimbang GE?
Tidak! Justru saya ingin kedua hal ini berjalan seimbang. Untuk menjadi perusahaan kelas dunia, harus ada keseimbangan antara kekuatan global teknologi kami dan modal sukses di sini. Kami perlu orang dari segala umur yang punya antusiasme, komitmen, dan berjuang bagi negara mereka, tapi juga tahu apa yang paling cocok bagi pelanggan dan pemilik saham.
Ada rencana membangun lebih banyak pabrik GE di Indonesia?
Ada beberapa hal di portofolio kami yang bisa dikembangkan di sini. Semua bergantung pada sumber daya manusianya. Kami akan membangun pabrik di mana pun—bila ada ketersediaan tenaga yang kompeten, dan Indonesia memilikinya. Kami juga membutuhkan hukum (dan aturan—Red.) tenaga kerja yang fleksibel.
Bolehkah kami dapatkan ancar-ancar pertumbuhan investasi GE di Indonesia dalam lima tahun ke depan?
Kami tidak bisa menyebut angka. Tapi kami merencanakan pertumbuhan dua digit di Indonesia. Bahkan kami akan meningkatkannya lagi dua atau tiga kali lipat.
Apakah GE merasa terancam oleh Cina—sehingga melebarkan markasnya ke Asia?
Sama sekali tidak. Sejumlah hal yang kami lakukan di Cina, seperti bekerja sama dengan badan usaha milik negara, justru ingin kami terapkan di Indonesia. Dalam beberapa hal, bekerja sama dengan Cina membuat kami menjadi perusahaan yang lebih baik dan menjadi contoh bisnis kami di Indonesia, Brasil, dan Timur Tengah.
Bagaimana Anda membandingkan iklim investasi di Cina dan Indonesia?
Iklim investasi di kedua negara sama-sama baik. Tentu Cina memiliki pasar lebih besar karena jumlah penduduknya. Tapi Indonesia dengan sekitar 240 juta orang berpotensi amat besar dibanding banyak negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo