Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF0000>Dampak Pasar Bebas</font><br />Yang Cemas, yang Siap

Sejumlah industri waswas menghadapi pakta perdagangan bebas ASEAN-Cina. Sebagian yang lain tak gentar.

21 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalangan industri menanti pelaksanaan pasar bebas ASEAN-Cina dengan harap-harap cemas. Maklumlah, sebelum pakta perdagangan bebas ini diterapkan, produk Cina sudah membanjiri Indonesia. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, Indonesia selalu mencatat defisit dalam perdagangan dengan Cina. Itu pun baru catatan resmi. Penetrasi barang-barang yang diduga selundupan malah jauh lebih dahsyat, mulai tekstil sampai peralatan rumah tangga dan telepon seluler.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indo­nesia Benny Soetrisno menyebut Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement) dengan Cina sebagai kecelakaan sejarah. Menurut dia, perjanjian itu diteken tanpa sosialisasi. Juga tanpa mengupayakan kesiap­an industriawan menghadapi liberalisasi perdagangan. ”Kami tak dilibatkan,” kata Benny. Padahal dampak pembebasan bea masuk bagi produk Cina ini sungguh besar bagi industri Indonesia.

Mulai 1 Januari 2010, sekitar 8.000 kategori produk Cina bakal menyerbu Indonesia tanpa halangan apa pun. Manufaktur menjadi sektor yang bakal paling terkena dampak pakta perdagangan bebas itu. Ada delapan industri yang sudah mengadu ke Departemen Perindustrian, yaitu tekstil, besi dan baja, kimia anorganik, furnitur, alas kaki, elektronika, petroki­mia, serta makanan dan minuman. Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian Agus Tjahayana mengatakan ada 314 pos tarif dari total 2.528 pos ta­rif di delapan sektor itu yang akan di­usulkan memperoleh penundaan penurunan bea masuk nol persen dan mo­difikasi. Modifikasi artinya bea masuk turun tapi tidak nol persen dalam jangka waktu sementara.

Satu dari delapan sektor yang ketar-ketir menghadapi serbuan dari utara ini adalah industri tekstil dan garmen. Dibanding Cina, industri tekstil domestik kalah jauh. Sementara Cina sudah terintegrasi dari hulu ke hilir, Indonesia masih belepotan. Bahan baku seperti kapas, misalnya, masih impor. Belum lagi bicara soal kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing produk. Misalnya, kebijakan kredit, bunga, energi, logistik, dan transportasi. ”Kalau kebijakan kita kalah oleh Cina, pengusaha kita, ya enggak bakal mampu bersaing,” tutur Benny.

Pemerintah Cina memang banyak memberikan insentif pajak kepada industri lokalnya sehingga daya saing lebih tinggi. Salah satunya di sektor baja. Tanpa pembebasan bea masuk saja, impor baja sudah melonjak hingga 1,3 juta ton pada 2008. Padahal, pada 2004, impor masih sekitar 500 ribu ton. Harga baja Cina bisa lebih murah karena pemerintahnya memberikan insentif untuk pengekspor baja. Akhir 2008, sebanyak 14 pabrik paku domestik tutup akibat serbuan paku Cina. Itu sebabnya, sektor ini yang paling banyak meminta penundaan.

Direktur Jenderal Industri Logam Metal Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian Anshari Bukhari mengatakan, sambil menunggu hasil negosiasi, pemerintah menyiapkan kebijakan untuk melindungi industri yang belum siap tempur ini. Misalnya dengan memberlakukan Standar Nasional Indonesia, restrukturisasi mesin, kebijakan safeguard. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi meminta pemerintah juga memperkuat kebijakan antidumping. Koordinasi pemerintah dan pengusaha mesti makin rekat. ”Cina banyak melakukan dumping,” ujarnya.

Tentu saja tak semua mengeluh. Sektor industri makanan dan minum­an merupakan yang paling sedikit terkena imbas liberalisasi dengan Negeri Tirai Bambu. Dalam daftar usul perubahan Departemen Perindustrian, hanya satu pos tarif yang diusulkan untuk memperoleh penundaan atau modifikasi. Ketua Umum Gabung­an Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Thomas Darmawan mengatakan industri domestik cukup kuat. Omzet pada 2008 saja naik Rp 100 triliun, dari Rp 402,5 triliun pada 2007 menjadi Rp 505,5 triliun pada tahun berikutnya.

Menurut Thomas, yang harus diperhatikan justru kebijakan pemerintah di sektor industri, seperti tingkat bunga, ketersediaan listrik dan transportasi, birokrasi, serta pungutan. Ini menyebabkan industri kecil dan mene­ngah tak bisa bertumbuh secepat industri besar. ”Tingkat bunga kita masih lebih mahal daripada Cina, termasuk negara di ASEAN,” katanya. Biaya transportasi di Indonesia juga termasuk yang tinggi. Perbandingannya, pengiriman barang di Indonesia rata-rata US$ 34 sen per kilometer. Adapun Cina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam rata-rata hanya US$ 22 sen.

Dari sisi pasar dalam negeri, kata Thomas, pemerintah mempunyai mekanisme pengamanan yang cukup, seperti badan karantina, bea-cukai, peraturan Menteri Perdagangan tentang impor produk tertentu melalui pelabuh­an tertentu, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan. ”Selama ada saringannya, saya pikir enggak apa-apa FTA,” ujarnya.

Nieke Indrietta, Retno Sulistyowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus