Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOB Sadino mengkritik sebutan pemerintah terhadap pengusaha yang sedang merintis bisnis kecil-kecilan. Juragan supermarket Kemchicks yang terkenal dengan ciri khas "baju dinas" berupa hem lengan pendek plus celana pendek jins belel ini tak setuju kalau mereka dikategorikan dalam usaha mikro, kecil, dan menengah-biasa disingkat UMKM. Apalagi kalau mereka dianggap masih mengharap uluran tangan pemerintah dan sederet bantuan lain. "Saya cenderung menyebut mereka UBB alias usaha bakal besar," kata perintis bisnis sayur hidroponik ini.
Kami sama sekali tak bermaksud mendebat Om Bob, begitu dia disapa. Namun sinyal yang dia sampaikan sangat jelas dan rasanya kami sepaham: para pengusaha kelas teri ini tak boleh mudah menyerah. Mereka juga harus bertekad menjadi pengusaha besar. Sejarah mencatat betapa para usahawan bermodal cekak ini terbukti punya daya tahan kuat dalam menghadapi krisis finansial global pada akhir 2008. Satu dekade silam, mereka juga mampu bertahan di tengah bencana ekonomi regional. Meski ada yang gulung tikar, tak sedikit yang melakukan ekspansi bisnis. Walhasil, mereka jauh lebih imun dibandingkan dengan usaha besar saat menghadapi krisis mondial yang dampaknya masih terasa sampai kini di Indonesia.
Mereka umumnya punya kelemahan mendasar: tidak bankable, alias susah jika berurusan dengan kredit bank, lantaran tak punya kolateral atau tak mencatat laporan keuangannya secara memadai, misalnya. Namun sikap tak getol berurusan dengan bank inilah justru yang membuat mereka bisa bertahan. Pendanaan mereka umumnya berasal dari modal sendiri, dari hasil penjualan, atau pinjaman dari pembeli. Itulah sebabnya, ketika perbankan menghadapi kekeringan likuiditas mulai triwulan terakhir 2008-sehingga kucuran kredit ke dunia usaha menciut-dampaknya pada usaha kecil tak terlalu besar.
Coba simak data di Departemen Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah pada akhir tahun lalu. Di situ tercatat bahwa jumlah usaha kecil dan menengah di Indonesia mencapai 51,26 juta unit. Jika dibandingkan dengan posisi tahun 1998, yang mencapai 36,76 juta unit, selama 10 tahun terakhir ini kehadiran mereka naik 39,5 persen. Memang, sumbangan usaha kecil dan menengah dalam perekonomian dan ekspor masih kecil. Tapi, dalam penyerapan tenaga kerja, sektor inilah yang mampu memberikan kontribusi paling besar, terutama di saat krisis.
Jasa dan peran penting inilah yang rasanya perlu dicermati. Atas berbagai alasan itu, majalah Tempo pada tahun ini memilih pengusaha kecil sebagai Tokoh Tempo. Kami memilih delapan di antara mereka dalam edisi tokoh tahun ini. Kami memulai proses seleksi dengan memanfaatkan data sekunder yang dimiliki sejumlah lembaga yang menyelenggarakan pemilihan pengusaha kecil, seperti Sampoerna, Bank Mandiri, Swisscontact, Shell, Universitas Indonesia, dan British Council. Beberapa calon juga muncul dari liputan majalah Tempo sendiri.
Pada tahap berikutnya, kami menentukan kriteria untuk memilih kandidat pengusaha kecil pilihan Tempo. Sudah pasti tidak mudah melakukan proses penjaringan ini, karena jumlah pengusaha kecil mencapai jutaan orang. Kriteria itu antara lain berupa kinerja mereka secara menyeluruh, meliputi faktor-faktor yang menjadi pendorong seseorang menjadi pengusaha, ciri khas atau keunikan usahanya, strategi pengembangan bisnisnya, plus sumbangannya pada lingkungan. Pada tahap kedua ini, kami memilih 17 pengusaha yang menjadi kandidat Tokoh Tempo 2009.
Bersama tiga orang yang selama ini menggeluti pengembangan kewirausahaan, kami lalu memeras lagi 17 pengusaha itu menjadi 10 orang. Mereka adalah Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah Choirul Djamhari, Direktur UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Nining I. Susilo, dan Senior Project Manager Swisscontact Ade Suwargo Mulyo. Penjurian itu dilakukan pada 3 Desember lalu. Seusai makan malam, ditemani camilan, tiga anggota dewan juri ini beberapa kali mesti berdebat dengan awak Tempo.
Terus terang, tak mudah memilih mereka. Tujuh belas pengusaha yang dinominasikan memiliki kelebihan masing-masing, sehingga susah disimpulkan bahwa yang satu lebih unggul ketimbang yang lain. Ada yang usahanya melejit sampai miliaran rupiah hanya dalam bilangan bulan. Ada yang mampu menembus Jerman-negeri yang selama puluhan tahun menjadi eksportir terbesar di dunia. Ada pula pengusaha yang sukses menggarap limbah bungkus makanan, tapi kinerjanya cenderung mandek.
Walhasil, dari 17 nominee, hanya tersisa enam orang. Juri kemudian mengusulkan dua nama. Keduanya memang terlewat dari teropong kami. Setelah melewati diskusi yang hangat, kami setuju keduanya layak dipilih dan masuk delapan besar. Akhirnya, delapan nama itulah yang dipilih dan namanya ditulis dalam edisi khusus Tokoh Tempo 2009. Mereka adalah Wahyu Aditya, Agung Nugroho, Mohammad Baedowy, Elang Gumilang, Abdul Sobur, Sri Martini, Singgih Kartono, dan Jumaro Joko.
Kami memilih Wahyu Aditya sebagai pemuncak. Anak muda ini memilih usaha yang terbilang baru di bidang industri kreatif. Prospek usaha itu masih terbentang luas dalam beberapa tahun mendatang. Ia juga tak sekadar berbisnis. Dalam setiap usahanya, pria 29 tahun ini juga mengajak animator lain berpartisipasi. Wahyu juga punya banyak ide cemerlang. Salah satunya membentuk Kementerian Desain Republik Indonesia. Lulusan Raffles College, Sydney, Australia, ini pun masih punya sederet mimpi yang hendak diwujudkannya. Salah satunya membangun taman serupa Disneyland di Indonesia.
Tapi itu bukan berarti tujuh tokoh lainnya kalah cemerlang dibanding Wahyu. Mereka punya kelebihan masing-masing. Elang Gumilang mampu membangun rumah murah tapi memberikan keuntungan berlipat. Mahasiswa tingkat akhir Institut Pertanian Bogor ini kini dicari para investor yang ingin menanamkan duit di perusahaannya. Baedowy di Bekasi sukses mengubah tumpukan sampah menjadi berlembar-lembar yuan. Sri Martini di Kulon Progo, Yogyakarta, mampu membalikkan nasibnya dari seorang pembantu rumah tangga menjadi pengusaha dengan 300-an perajin.
Ada Agung Nugroho, tukang cuci beromzet Rp 3 miliar. Keluarganya menyekolahkan dia di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Tapi naluri bisnisnya malah membelokkan jalan hidupnya menjadi pengusaha laundry yang sukses. Ada juga trio seniman: Abdul Sobur, Singgih Kartono, dan Jumaro Joko, yang keukeuh dengan desain dan produknya sendiri, tak mau didikte pasar, dan pada akhirnya mampu menaklukkan konsumen. Sobur dan Singgih, keduanya lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, bermain di kerajinan kelas atas. Sedangkan Joko mulus menggandeng bekas koleganya di penjara menjadi perajin.
Tentu saja bukan hanya delapan orang itu yang layak dipuji dan dihargai. Jutaan pengusaha kecil yang tak tertampung di sini juga berhak mendapatkan penghargaan yang sama. Kepada merekalah Indonesia mesti berterima kasih. Itu bukan hanya karena mereka mampu menjadi bumper ketika krisis datang, tapi juga karena mereka menyediakan kesempatan kerja yang cukup luas ketika kebanyakan bisnis besar turun kinerjanya, bahkan tak sedikit yang kolaps.
Itu sebabnya, kini saatnya pemerintah, perbankan, dan perusahaan modal ventura, juga perusahaan jasa kewirausahaan, lebih serius mengembangkan usaha kecil. Tidak hanya menyediakan permodalan dengan proses dan persyaratan yang lebih fleksibel dan sederhana, tapi juga memberikan dukungan jasa konsultasi manajerial, pemasaran, dan keuangan. Bukan tidak mungkin, dengan semua dukungan itu, usaha-usaha kecil ini akan berkembang menjadi usaha menengah, dan pada akhirnya menjadi perusahaan besar-sebagaimana diyakini Bob Sadino.
Penanggung Jawab: M. Taufiqurohman Koordinator : Padjar Iswara, Bagja hidayat Editor: Wahyu Muryadi, Amarzan Loebis, M. Taufiqurohman, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, Bina Bektiati, Purwanto Setiadi, Mardiyah Chamin, Yos Rizal Suriaji, Wicaksono, LR. Baskoro, Budi Setyarso Penulis: M. Taufiqurohman, Adek Media Roza, Budi Riza, Nunuy Nurhayati, Muchamad Nafi, Padjar Iswara, Yandi Rofiandi, Yandhrie Arvian, Sapto Pradityo, Bagja Hidayat, Wahyu Dyatmika, Sunudyantoro, Philipus Parera, Agus Supriyanto, Dwijdo U. Maksum, Ramidi, Anton, Sutarto, Retno Sulistyowati, Feri Firmansyah, Nieke Indrietta, Iwan Kurniawan, Yophiandi, Kurie Suditomo, Sita Planasari, Ibnu Rusdy, Martha Warta, Ahmad Taufik Penyumbang bahan: Diki Sudrajat (Bogor), Abdi Purmono (Malang) Foto: Bismo Agung (kordinator), Mazmur A. Sembiring, Arnold Simanjuntak, Dwianto Wibowo, Yosep Arkian Desain: Eko Punto (kordinator), Gilang Rahadian, Kiagus Aulia, Hendy Prakarsa, Ajibon, Triwatno Widodo, Agus Darmawan, Danendro Adi Bahasa: Dewi Kartika Teguh, Sapto Nugroho, Uu Suhardi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo