Kisah perburuan ladang minyak itu kini memasuki babak-babak akhir. Setelah dua tahun diperebutkan, akhirnya nasib Coastal Plain Pekanbaru (CPP) mulai jelas. Akhir Januari lalu, dalam sebuah rapat tertutup, Komisi V DPR memutuskan, sumur minyak bekas Caltex Pacific Indonesia (CPI) yang habis masa kontraknya tahun 2001 itu harus dikelola sebuah perusahaan patungan antara CPI dan Pertamina. Tak dijelaskan bagaimana bentuk kongsi ini. Yang pasti, DPR minta agar Pertamina mendapat saham mayoritas.
Persoalannya, pembagian saham di perusahaan patungan selalu berkaitan dengan setoran modal. Kalau Pertamina ingin mendapatkan mayoritas saham, perusahaan negara itu harus siap dengan setoran kapital yang besar. Apakah Pertamina mampu memenuhinya? Apakah Caltex bersedia menerima jika Pertamina tak ikut urunan modal?
Perlu dicatat, CPP bukan bisnis sepele. Menurut hitungan Caltex, dalam 20 tahun ke depan, CPP perlu investasi US$ 300 juta. Selain itu, CPP bakal menghabiskan ongkos operasional hampir US$ 1,5 miliar. Kalau investasi itu sampai putus di tengah jalan, tingkat produksi bisa anjlok. Ujungnya, sumbangan devisa ke negara yang besarnya US$ 300 juta setahun akan terpangkas.
Bagi Caltex dan dunia perminyakan, CPP sebenarnya bukan ladang yang besar. Konsesi hampir 10 ribu kilometer persegi itu cuma menyumbang 10 persen dari total produksi Caltex di Indonesia. Tapi, sulit dimungkiri, CPP merupakan ladang yang istimewa. CPP adalah sumur minyak di Indonesia yang beroperasi dengan ongkos terendah, cuma 60 persen dari biaya operasi tambang minyak yang lain.
Barangkali karena efisiensinya itu, CPP punya sejarah yang panjang. Ia terus diperebutkan. Menteri Pertambangan dan Energi di era pemerintahan Soeharto dulu, I.B. Sudjana, pernah memutuskan bahwa CPP dikelola Pertamina. Tapi Menteri Kuntoro Mangkusubroto, yang menggantikan Sudjana, berubah pandangan. Menurut Kuntoro, yang pas mengoperasikan CPP hanyalah Caltex. Alasannya singkat: Caltex punya kemampuan dan teknologi.
Perebutan CPP makin seru lantaran ada pihak lain di luar Pertamina yang juga naksir. Kondur Petroleum milik kelompok usaha Bakrie, yang punya konsesi di sebelah CPP, misalnya, ikut menawar. Begitu juga Grup Bukaka, yang selama ini memasok pompa angguk untuk CPP. Dengan kipasan semangat ''nasionalisme", perebutan CPP menjadi isu sensitif.
Barangkali karena itu, pemerintah menyerahkan perebutan CPP kepada DPR?untuk memutuskannya. Dan DPR pun menunjuk kongsi Caltex-Pertamina. Untuk mengetahui bagaimana bentuk kerja sama Caltex dan Pertamina ini, TEMPO menemui Direktur Utama Caltex Pacific Indonesia, Baihaki Hakim. Berikut ini petikannya.
Bagaimana aturan main kerja sama Caltex dengan Pertamina di CPP?
Belum ada pembicaraan. Kami baru mengajukan usulan soal pembagian modal, tentang bagaimana mengoperasikan CPP dengan efisien, dan berapa lama jangka kerja samanya. DPR sudah memutuskan, mayoritas saham akan jatuh ke tangan Pertamina. Harus dijelaskan, apa yang dimaksud saham mayoritas itu. Tentu saja kami juga ingin untung.
Jadi, bagaimana pembagian saham dan lama kerja sama yang diinginkan Caltex?
Belum kami tetapkan. Kami masih mengosongkan blangko isian soal pembagian saham dan lama kerja sama. Tapi jangka waktu yang sesuai dengan bisnis yang berisiko tinggi dan perlu modal besar ini biasanya 20 tahun.
Dengan cuma mendapat minoritas saham, kok Caltex masih mau mengelola CPP?
Ini alternatif untuk mengakomodasi keinginan semua pihak, ya DPR, ya pemerintah. Yang penting, produksi bisa ditingkatkan, biaya bisa ditekan, dan mayoritas saham ada di tangan Pertamina. Dalam perusahaan patungan, manajemen harus jelas dan terfokus kepada tujuan. Jangan terlalu banyak dibebani misi sosial. CPP ini akan merupakan perkawinan segitiga: Chevron, Texaco, dan Pertamina. Bagaimanapun, bentuk perusahaan patungan ini soal baru bagi kami.
Apakah pembagian saham ini juga mencerminkan setoran modal?
Itu yang akan kita bicarakan. Kita harus mendapatkan kejelasan, apa itu saham mayoritas.
Bagaimana kalau Pertamina nanti tidak menyetor modal?
Itu masih akan kita bicarakan.
Anda yakin Caltex mendapatkan porsi yang wajar?
Mudah-mudahan. Kalau ada alasan politis, itu di luar wewenang kami.
Apakah dengan sistem patungan, pengelola CPP tak perlu lagi berbagi hasil dengan pemerintah?
Bagi hasil tetap dilaksanakan. Sistem patungan ini cuma menyangkut pembagian saham perusahaan yang mengelola CPP. Pengelola ini tetap akan melakukan bagi hasil: 85 persen untuk pemerintah dan 15 persen untuk pengelola CPP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini