RUU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (PKPD), yang tak lama lagi diajukan ke DPR, disinyalir mengalami erosi dalam misi, bahkan barangkali juga dalam visi. Seyogianya RUU itu seirama dengan RUU Pemerintahan Daerah, yang juga segera diajukan ke DPR pertengahan Februari ini. Berbeda dengan RUU Pemerintahan Daerah yang sangat kuat komitmen desentralisasinya itu, RUU PKPD berkesan sangat sentralistis. Kabarnya, perubahan ini terjadi setelah Dana Moneter Internasional (IMF) campur tangan.
Mengagetkan memang. Namun, seperti diungkapkan oleh sumber Tempo, perubahan tersebut terjadi setelah draft RUU PKPD masuk ke meja Menteri Keuangan Dr. Bambang Subianto, pertengahan Desember lalu. Setelah berada di meja Menteri sekitar 10 hari, draft RUU itu dikembalikan ke penyusunnya. Tim penyusun ini kabarnya terkaget-kaget setelah membaca revisi dari Menteri. Soalnya, butir-butir yang mengandung semangat desentralisasi mendadak lenyap, tak ditemukan lagi dalam draft tersebut.
Salah satu contohnya, batasan dana pusat yang diserahkan ke daerah (revenue sharing) tidak tercantum lagi dalam RUU PKPD. Dalam draft asli yang diajukan ke Menteri Keuangan, jumlah dana pusat yang diserahkan ke daerah bisa mencapai 30-40 persen. Batasan ini kemudian tidak lagi dinyatakan secara eksplisit. Artinya, pola pembagian keuangan pusat ke daerah akan kembali ke pola-pola lama melalui instruksi presiden (inpres). Kalau benar demikian, secara esensial, RUU PKPD tidak berbeda dengan UU yang akan digantikannya. Persentase 30-40 persen itu sendiri memang cukup tinggi jika dibandingkan dengan yang sekarang, yang cuma sekitar 15 persen.
Kalimat-kalimat yang merumuskan bagi hasil untuk pemerintah daerah tingkat II dan kecamatan serta soal pinjaman jangka panjang dan jangka pendek juga hilang dari draft yang asli. Aturan yang sebelumnya sangat jelas menyebut batasan angka-angka tiba-tiba jadi bersifat umum dan samar. Misalnya, pasal 7 dalam draft RUU hilang setelah berada di tangan Bambang Subianto. Padahal pasal ini antara lain mengatur bagi hasil pajak dan bukan pajak ke daerah asal. Dalam pasal ini, misalnya, diatur soal pembagian 100 persen dari pajak bumi dan bangunan (PBB) setelah dikurangi pajak 10 persen, 80 persen dari iuran hasil hutan (IHH), 80 persen dari pertambangan nonmigas, dan serendah-rendahnya 5 persen dari royalti migas, serta dana reboisasi minimal 10 persen harus dikembalikan ke daerah.
Tentang bagi hasil pajak dan bukan pajak tadi, sumber itu menyebutkan, kalau suatu provinsi memiliki hutan, daerah tersebut harus mendapatkan bagian secara proporsional dari hasil hutan tersebut. "Proporsional di sini bukan untuk daerahnya, melainkan dibandingkan dengan daerah lain, sehingga akan terwujud keadilan secara horizontal. Jadi, daerah yang memiliki minyak, misalnya, tak boleh mengklaim semua royalti dari minyak tersebut," tuturnya.
Ketentuan bagi hasil ini, menurut dia, harus ditulis jelas-jelas, sehingga daerah itu tahu bagian yang menjadi haknya, sementara daerah lain bisa mendapatkan bagian yang cukup layak. "Dengan cara itu, daerah dapat menghitung revenue-nya secara jelas, sekaligus mengaitkan dengan bebannya. Ini akan membuat perencanaan fiskal daerah tingkat I dan tingkat II bisa lebih baik," katanya lagi. Selain itu, pertanggungjawaban tidak lagi ke pemerintah pusat, tapi kepada rakyat melalui DPRD.
Jika aturan bagi hasil itu disetujui, daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah kaya akan menerima jauh lebih besar ketimbang apa yang diperoleh sekarang. Riau dan Aceh, misalnya. Kedua provinsi itu bakal menerima masing-masing Rp 900 miliar dan Rp 600 miliar dari minyak dan gas bumi (migas) saja. Penerimaan Irianjaya bahkan bisa mencapai Rp 1 triliun. Selain ketiga provinsi itu, daerah yang diperkirakan menerima bagi hasil cukup besar di antaranya Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Maluku.
Pencomotan butir-butir yang merupakan pijakan bagi keseimbangan pusat-daerah yang lebih adil, konon, dilakukan karena IMF takut tidak bisa mengontrol duitnya yang dialirkan ke daerah. Kalau duit itu berputar di Jakarta, IMF akan mudah mengontrolnya. Yang lebih penting, jika pemerintah pusat memiliki penerimaan yang kurus, dikhawatirkan Indonesia tak akan mampu membayar utang yang dalam dua tahun terakhir membengkak lantaran krisis. "Ketika semua orang sedang berpikir desentralisasi, IMF malah berspirit sentralisasi," kata sumber Tempo itu.
Tentu saja isu mengenai keterlibatan IMF dalam penggodokan draft RUU PKPD itu dibantah sumber Tempo di Departemen Keuangan. "Jangankan ikut campur tangan sampai mengubah materi RUU, memberi advis saja tidak bisa. Sebab, yang membuat RUU itu pemerintah kita. IMF hanya memberi intention. IMF hanya memberikan arah dan mengetahui kapan pembahasan RUU itu rampung. Jika merasa tidak sanggup mengajukannya ke DPR sesuai dengan jadwal, pemerintah akan meminta kelonggaran waktu," kata orang yang banyak mengetahui ini.
Bantahan serupa dilayangkan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Dr. Boediono. Menurut dia, tidak benar sifat RUU PKPD ini berubah menjadi sentralistis gara-gara IMF. "Apa untungnya IMF turut campur mengatur perimbangan keuangan pusat dan daerah? Tidak benar juga itu dilakukan IMF karena khawatir Indonesia akan kesulitan membayar utang luar negerinya," kata Boediono. Sebaliknya, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Prof. Dr. Ryaas Rasyid menilai wajar ada campur tangan IMF, terutama jika dikaitkan dengan kekhawatiran: jangan-jangan Indonesia tidak akan mampu membayar utangnya. "Tak ada peminjam yang tidak khawatir duitnya tak dapat kembali," kata Ryaas kepada Edy Budiyarso dari TEMPO.
Repotnya, semangat RUU PKPD mestinya sejalan dengan RUU Pemerintahan Daerah yang akan menggantikan UU Nomor 5/1974. Bahkan, secara filosofis, seharusnya RUU PKPD mengikuti draft RUU Pemerintahan Daerah yang bersemangat desentralisasi. Sebab, sebelum menentukan komposisi keuangan pusat dan daerah, harus memahami dulu fungsi-fungsi yang dijalankan oleh daerah, sehingga bisa diketahui berapa dana yang dibutuhkan untuk itu. "Kalau kedua UU itu jalan sendiri-sendiri, kita akan kesulitan mencari simetri antara uang yang dibutuhkan dan beban tugas yang diberikan. Seharusnya, kalau beban tugas akan didelegasikan, uangnya pun harus didelegasikan secara proporsional," sumber itu menegaskan.
Yang ideal adalah porsi keuangan pusat dan daerah diatur secara lugas dan tegas, berdasarkan prinsip kecukupan (adequacy). Daerah juga harus bisa memprediksi penerimaan daerahnya. Tidak seperti sekarang, menjelang rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) diajukan ke DPR, biasanya awal Januari, orang daerah banyak yang ke Jakarta melobi Bappenas agar mendapatkan dana dalam jumlah tertentu. Untuk itu, pemerintah pusat harus memberikan kepastian kepada daerah, tapi jangan terlalu kaku. "Jika aturannya terlalu umum, koordinasi dana akan sulit. Daerah akan kesulitan mengukur dananya sekaligus pengeluarannya," sumber Tempo menambahkan.
Dia menilai, jika ada yang berpikir desentralisasi bakal menyebabkan negara pecah, nah, itu merupakan pemahaman yang keliru. Menurut dia, sebuah negara tidak akan pecah karena desentralisasi. Justru sebaliknya, negara bisa berantakan karena adanya konsentrasi berlebihan. "Desentralisasi yang baik akan membuat daerah lebih bertanggung jawab, sekaligus mengatasi persoalan katup-katup ketidakpuasan daerah. Jika ini dilaksanakan, kita tidak usah khawatir soal itu," ujarnya seraya menambahkan bahwa desentralisasi seharusnya diberikan kepada daerah tingkat II yang secara geografis tidak besar, sedangkan pada level provinsi dilakukan dekonsentrasi saja dengan dana dari APBN.
Lagi pula ada pelajaran di negara lain yang dengan jelas menunjukkan betapa pembagian pendapatan yang adil antara pusat dan daerah tidak menimbulkan persoalan apa-apa. Di Cina, misalnya, yang penduduknya jauh lebih besar dan wilayahnya lebih luas daripada Indonesia, sumbangan pendapatan daerah terhadap penerimaan pusat mencapai 64 persen. Tapi sejumlah itu pula yang dikembalikan Beijing ke daerah. Di India, angkanya juga cukup bagus. Sumbangan penerimaan daerah terhadap pengeluaran daerah di sana mencapai 60 persen. Sebaliknya, di Indonesia, angkanya cuma 30 persen.
Jadi, katanya, semangat RUU PKPD seharusnya memang desentralisasi dan filosofinya adalah menciptakan keseimbangan antara sumber daya dan kekuasaan. "Anda tidak bisa memberikan uang lebih banyak dibanding kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan juga tidak bisa diberikan lebih banyak dari uang. Hubungan keuangan pusat dan daerah itu bukan hanya instrumen finansial, melainkan juga instrumen politik," katanya. Karena ini konstruksi politik Indonesia sendiri, sumber itu mempertanyakan buat apa IMF ikut masuk ke sana. "Berarti ia (maksudnya IMF) sudah berada di luar mandat." Seraya berkomat-kamit, sumber Tempo ini mengulang sebuah "fatwa" klise. "Seharusnya kita sendiri yang menentukan mana yang tepat untuk kita," katanya dalam nada mengkal, "Kalau tidak, kita harus berani menolak."
M. Taufiqurohman, Bina Bektiati, Setiyardi, Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini