Ke Jamaika menghadiri KTT 15 Negara Berkembang, seraya mempromosikan Indonesia, dan yang tidak kurang penting: membicarakan tambahan pinjaman dengan bos Dana Moneter Internasional (IMF). Itulah tiga mata acara bagi Menteri Koordinator Keuangan dan Industri, Ginandjar Kartasasmita, sepanjang pekan silam, setelah sebelumnya berkunjung ke Jepang untuk mendapatkan porsi yang layak bagi Indonesia dari Miyazawa Plan.
Dan tampaknya Ginandjar berlomba dengan waktu. Pinjaman ekstra sebesar US$ 1 miliar dari IMF itu harus segera disetujui, kalau tidak RAPBN 1999/2000 masih tetap bolong karena belum semua defisitnya bisa ditambal. Uniknya pula, pinjaman US$ 2,4 miliar dari Miyazawa Plan hanya bisa cair, kalau penyalurannya dilakukan bersama-sama dengan pinjaman IMF. Nah, kendati belum pasti benar apakah dana ekstra US$ 1 miliar itu bisa diperoleh atau tidak, Ginandjar dalam nada optimistis menyatakan bahwa krisis ekonomi di Indonesia akan segera teratasi, bahkan ia sudah melihat sinar terang di ujung terowongan.
Ada sinar atau tidak tentu bisa diperdebatkan. Tapi, Tadao Chino, Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB), rupanya ikut prihatin atas beban defisit yang dipikul Ginandjar. Tadao yang baru seminggu memangku jabatan sebagai orang nomor satu ADB, sudah menyatakan akan memberikan tambahan pinjaman sebesar US$ 500 juta kepada pemerintah Indonesia. Tadao yakin, krisis Asia sudah mencapai titik terendah dan dari situ tak ada jalan lain, kecuali jalan menuju pemulihan. Ginandjar sendiri berani memperkirakan bahwa perekonomian Indonesia akan kembali tumbuh pada semester ke-2 tahun 1999.
Apakah ramalan Ginandjar itu tidak terlalu "nekat"? Hal itu bisa dibuktikan beberapa bulan lagi. Masalahnya kini, adakah pengaruh positif dari aksi lobby Ginandjar terhadap kurs rupiah? Di mana batu sandungannnya, sehingga mata uang Republik Indonesia itu terjungkal sampai di atas Rp 9.000/US$ pada pekan terakhir Januari 1999, setelah pada Desember 1998, berkibar mantap di atas Rp 7.000/US$?
Tren yang ada menunjukkan bahwa rupiah ditutup pada Rp 8.675/8.750 saat akhir perdagangan minggu lalu, naik tipis dari Rp 8.600/8.700. Menurut seorang analis pasar dari bank asing, para pelaku pasar saat ini sudah belajar. Mereka tidak lagi bertindak hanya berdasarkan pernyataan semata. Apa pun yang dikatakan Ginandjar tidak langsung ditelan bulat-bulat. Pun kabar gembira yang dilontarkan para pejabat ADB, IMF, dan Bank Dunia, tidak langsung bisa memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar. Bukan mustahil pernyataan-pernyataan demikian akan menggoyang rupiah, sehingga kehilangan lagi beberapa ratus poin.
Apalagi, pasar mata uang rupiah sangat tipis. Menurut Pardi Kendy, Direktur Treasury Bank Buana Indonesia (BBI), paling-paling volume pasar rupiah hanya berkisar antara US$ 100 juta dan US$ 200 juta saja. Itu membuat rentang perdagangan rupiah terhadap dolar tidak terlalu lebar. Tak heran kalau semenjak Idul Fitri hingga pertengahan Februari ini kurs rupiah berkisar antara Rp 8.000 dan Rp 10.000 per US$.
Kenyataan bahwa pasar rupiah itu ketat tampaknya disepakati oleh para analis. Djoni Wiryaatmadja, seorang analis pasar, juga menyatakan bahwa rupiah sudah sepi spekulasi. "Karena spekulator itu bisa masuk melalui bank-bank besar," katanya. Tapi, berhubung bank-bank besar dan bank pemerintah bertumbangan, spekulan pun enggan masuk.
Bedanya, Djoni melihat permintaan pemerintah Indonesia untuk bantuan tambahan dan pernyataan presiden ADB itu sebagai sesuatu yang positif mendukung rupiah. "Walaupun hanya pernyataan, kalau benar bisa didapatkan bantuannya, kan rupiah menguat," kata Djoni yang meramal rupiah berkisar antara Rp 8.500 dan Rp 9.000 per US$ bila suku bunga tetap tinggi dan kondisi non-ekonominya tetap, dalam arti tidak ada huru-hara.
Lalu, tepatkah saat ini bagi BI untuk intervensi agar rupiah makin kuat? Tidak juga. Menurut Pardi, pemerintah justru harus pandai-pandai berhemat. Selain memang belum ada banyak dana yang bisa dibuat intervensi, juga masih bolongnya RAPBN sekitar US$ 5 miliar.
Nah, satu lagi faktor penentu nasib rupiah minggu ini adalah berita dari Jepang yang diterima pelaku pasar, menjelang penutupan perdagangan akhir minggu. Dewan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan's Policy Board) memotong overnight call rate dari 0,25 menjadi 0,15. Menurut analisis yang diturunkan Reuters, faktor tersebut akan menekan rupiah pada pembukaan pasar Senin ini.
Tapi, sebenarnya Anda tidak perlu repot-repot menjagoi dolar atau rupiah untuk minggu ini. Lho? Yah, para pemain besarnya yang malang-melintang di Singapura dan Hong Kong, kini sedang menikmati libur Imlek alias Tahun Baru Cina. Itulah yang hampir bisa dipastikan membuat rupiah anteng di posisi Rp 8.000/US$. Gong Xi Fat Cai, Selamat Imlek.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini