Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hampir satu bulan program makan bergizi gratis berjalan. Hingga saat ini, program yang memakan banyak biaya itu terus berupaya melibatkan berbagai pihak, termasuk dunia usaha. Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) misalnya, berupaya mengajak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berperan dalam distribusi dan pengelolaan program MBG.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai bagian dari skema pendukung, Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengusulkan agar UMKM mitra MBG dapat memperoleh pembiayaan dari bank hingga Rp500 juta, dengan jaminan surat penunjukan dari Badan Gizi Nasional (BGN). Dana awal ini diharapkan membantu UMKM dalam penyediaan bahan baku. “Dengan syarat mengantongi surat penunjukan dari Badan Gizi Nasional, bank akan menyediakan pembiayaan awal hingga Rp500 juta untuk membantu UMKM membeli bahan baku,” ujar Maman dalam keterangan resminya, Sabtu, 25 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dorongan melibatkan UMKM dalam MBG kembali Maman sampaikan dalam acara ulang tahun Apindo ke-73 di Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat, 31 Januari 2025. Maman menegaskan partisipasi Apindo sangat dibutuhkan untuk memastikan distribusi dan pengelolaan program ini berjalan optimal.
Pemerintah menyebut keterlibatan Apindo akan memperkuat rantai pasok program MBG. Namun, di sisi lain, dunia usaha perlu mempertimbangkan aspek keuntungan dan kepastian regulasi. Maman mengatakan pemerintah tidak akan memaksakan pengusaha untuk ikut serta, tetapi menawarkan peluang bisnis yang bisa dikalkulasi. “Kalau secara bisnis ini menguntungkan, jalan. Kalau tidak, ya tidak usah. Kita tidak memaksa,” katanya.
Maman menyampaikan, pemerintah amat membutuhkan keterlibatan Apindo untuk memastikan program MBG berjalan dengan efisien. “Kami ingin ini menjadi ekosistem bisnis yang berkelanjutan, bukan hanya proyek lima tahun. Oleh karena itu, Apindo sebagai organisasi besar harus ikut dalam gerakan ini,” katanya.
Sebetulnya, Apindo mau-mau saja menerima ajakan pemerintah. Namun, rupanya masih ada sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya soal bagaimana mekanisme keterlibatan Apindo serta apakah skema bisnis apa yang ditawarkan pemerintah.
Tak cuma itu, kepastian pembayaran dari pemerintah juga jadi pertanyaan para pelaku usaha. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Maman menegaskan, pemerintah sedang membangun sistem digital berbasis data real-time, SAPA UMKM, untuk memastikan transparansi dan efisiensi distribusi MBG. Namun, implementasi sistem ini masih dalam tahap pengembangan.
Para pelaku usaha tahu betul, dalam berbagai proyek yang melibatkan APBN, birokrasi kerap jadi penghambat yang berujung pada keterlambatan pembayaran para mitra usaha. Apindo tidak ingin terjebak dalam skema berisiko tinggi tanpa kejelasan eksekusi tersebut.
Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman dalam Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan di Jakarta, Senin, 16 Desember 2024. Dok. Kementerian UMKM
Apindo memiliki kapasitas mengoordinasikan ribuan pengusaha. Namun, minat anggota Apindo untuk masuk ke dalam program MBG masih menjadi tanda tanya. Dalam berbagai kesempatan, dunia usaha kerap mengeluhkan inkonsistensi kebijakan pemerintah yang sering berubah seiring pergantian kepemimpinan. Jika pemerintah serius ingin melibatkan Apindo dalam program ini, kepastian hukum dan regulasi menjadi kunci.
Terpisah, Apindo menyatakan kesiapannya berkontribusi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah. Apindo menekankan pentingnya pengawasan yang ketat serta mekanisme pendanaan yang jelas agar program ini dapat berjalan secara efektif dan memberikan dampak positif bagi dunia usaha.
Ketua Bidang UMKM Apindo Ronald Walla, menuturkan telah mendiskusikan rencana kerja sama tersebut dengan Kementerian UMKM dua kali. Menurutnya, keterlibatan UMKM harus menjadi prioritas dalam rantai pasok MBG agar manfaat ekonomi program ini lebih inklusif. “Kami sangat mendukung program ini, terutama dalam memberdayakan UMKM. Namun, yang paling penting adalah ada pengawasan yang baik agar pelaksanaannya berjalan sesuai tujuan,” ujar Ronald kepada Tempo saat ditemui di kantornya di Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat, 31 Januari 2025.
Kepastian dalam pendanaan juga menurutnya jadi poin penting yang harus segera pemerintah perjelas. Mekanisme pembayaran kepada UMKM ini jadi salah satu kekhawatiran Apindo terhadap program MBG. Terlebih beredar informasi sebelumnya pelaku UMKM harus menalangi produksi terlebih dahulu sebelum mendapatkan pembayaran dari pemerintah.
Namun, Ronald mengaku, dalam diskusi terakhir bersama Menteri UMKM, Kementerian UMKM sudah memastikan akan ada skema pendanaan mekanisme yang lebih terstruktur. “Mayoritas UMKM beroperasi dengan sistem produksi harian. Mereka tidak memiliki kapasitas modal besar untuk menalangi biaya operasional dalam jumlah besar. Karena itu, kepastian dalam pembayaran sangat penting agar mereka tetap bisa menjalankan usahanya dengan baik,” kata dia.
Selain pendanaan, Apindo juga menekankan pentingnya sistem pengawasan dan tata kelola yang baik dalam program ini. Untuk menjalankan program yang besar seperti makan bergizi gratis, Ronald menyoroti perlunya struktur yang jelas dalam pengelolaan dana serta transparansi dalam pelaksanaannya.
Dia menekankan apabila pengelolaannya tidak jelas, ada risiko hilangnya kepercayaan dari pengusaha. Ronald menyarankan agar ada pengawasan dari pihak independen, termasuk pengurus koperasi atau holding tertentu yang memiliki sistem audit yang baik. “Kepercayaan dari pengusaha atau praktisi itu sangat penting, sangat dibutuhkan untuk bisa bekerja sama dengan pemerintah. Ini supaya bisa menciptakan movement yang baik ini,” ucapnya.
Ia juga menambahkan aspek tata kelola akan berpengaruh terhadap keberlanjutan program. Jika terjadi penyimpangan dalam pendanaan atau distribusi MBG, dikhawatirkan dapat menurunkan minat pengusaha untuk ikut serta.
Apindo menilai program MBG berpotensi besar menggerakkan ekonomi nasional, terutama bagi UMKM. Namun, Ronald mengingatkan kebijakan itu harus diterapkan dengan sistem yang berkelanjutan agar tidak hanya menjadi proyek jangka pendek. “Jika program ini dikelola dengan baik, efeknya bisa sangat luas, bukan hanya meningkatkan gizi anak-anak tetapi juga mendorong industri pangan lokal dan UMKM naik kelas. Namun, tanpa tata kelola yang jelas, program ini bisa menghadapi kendala besar,” katanya.
Apindo juga menyoroti kebijakan ekonomi sering berubah seiring pergantian pemerintahan. Sehingga pemerintah harus memastikan keberlanjutan program ini agar manfaatnya tetap terasa dalam jangka panjang. “Indonesia punya target pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun. Jika program seperti MBG bisa dijalankan dengan pengawasan yang baik, kolaborasi dengan dunia usaha akan semakin kuat dan membantu mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut,” tutur dia.
Direktur Celios Bhima Yudhistira (kanan) dan Country Director for Indonesia at Greenpeace Leonard Simanjuntak dalam kegiatan diskusi Rapor 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran di Cikini, Jakarta, 23 Januari 2025. Tempo/Awab MZ Elbashir
Di sisi lain, makan bergizi gratis juga dikhawatirkan akan menjadi program yang rawan inefisiensi dan kebocoran anggaran. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan dengan alokasi anggaran awal Rp 71 triliun, potensi kerugian akibat buruknya pengelolaan mencapai Rp 8,5 triliun. Jika anggaran membengkak hingga Rp 400 triliun, maka potensi loss bisa melampaui Rp 40 triliun. “Ini program dengan anggaran raksasa yang tidak disiapkan secara optimal. Pengadaan barang dan jasa terlambat, transparansi minim, dan logistiknya sentralistik sehingga memperbesar biaya distribusi,” ujar Bhima.
Celios mengidentifikasi beberapa faktor utama yang membuat MBG rentan terhadap kebocoran anggaran. Salah satunya adalah sistem logistik yang sentralistik dan tidak memberdayakan pemasok lokal.
Seharusnya MBG memanfaatkan pangan lokal dan UMKM yang dekat dengan sekolah untuk menekan biaya logistik. “Tapi ini justru dikonsolidasikan ke dapur umum, yang akhirnya memperbesar biaya pengiriman makanan ke sekolah-sekolah,” kata Bhima.
Di samping itu, buruknya pengawasan dan proses pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan juga menjadi sumber potensi kebocoran. Bahkan, Bhima menyebut adanya indikasi bahwa sebagian dana MBG dikelola secara tidak resmi menggunakan uang pribadi pejabat. “Ini salah satu program dengan anggaran besar yang risiko korupsinya paling tinggi dalam lima tahun ke depan,” tegasnya.
Untuk menghindari pemborosan dan meningkatkan efektivitas MBG, Celios memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah misalnya dengan memberdayakan sekolah dan UMKM lokal. Komite sekolah dan ekosistem pengusaha di sekitar sekolah, seperti pemilik kantin dan UMKM, harus diberi prioritas dalam pengelolaan MBG. Pemerintah tidak perlu menyerahkan kontrol ke dapur umum, apalagi sampai dikelola oleh militer.
Selain itu, Bhima juga menyarankan agar pemerintah mendorong dominasi pangan lokal. “Program MBG harus berbasis pada bahan pangan lokal, bukan didominasi oleh pasokan dari luar daerah yang memperbesar biaya distribusi,” ucapnya.
Dia turut merekomendasikan agar program tersebut menggunakan skema individual targeting. Menurut Bhima, tidak semua siswa harus menerima MBG secara gratis. Sekolah yang tergolong elit atau dengan siswa yang berasal dari keluarga mampu dapat diwajibkan membayar iuran untuk MBG, sementara siswa dari keluarga tidak mampu tetap mendapatkan subsidi penuh. “Skema ini sudah diterapkan di Jepang dan terbukti efektif,” kata dia.
Daripada mengalokasikan anggaran besar untuk cakupan nasional, MBG seharusnya ditargetkan ke daerah-daerah pinggiran dengan harga pangan tinggi dan tingkat gizi buruk yang parah.
Tanpa perubahan kebijakan yang signifikan, Bhima memperingatkan bahwa MBG berisiko menjadi proyek besar yang tidak hanya boros, tetapi juga rentan disalahgunakan. “Jika terus dijalankan seperti sekarang, bukan tidak mungkin program ini justru menjadi skandal anggaran terbesar dalam sejarah pemerintahan.”