Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, gencatan senjata perang dagang Cina-Amerika Serikat akan berakhir pada 2 Maret 2019. Pekan ini, dua negosiator utama kedua negara, Liu He dan Robert Lighthizer, bertemu di Washington, DC. Kalau negosiasi itu buntu, pasar finansial pasti bergolak.
Perundingan itu bakal ketat karena Amerika sebenarnya menggunakan perang dagang untuk menuntut banyak hal dari Cina, tidak sekadar memaksa Cina membeli lebih banyak produk Amerika. Persoalannya beragam, dari transfer teknologi, perlindungan hak cipta, sulitnya perizinan untuk perusahaan Amerika, hingga subsidi terselubung kepada korporasi Cina yang umumnya memang terafiliasi dengan negara. Singkatnya, Amerika menuntut Cina merombak besar-besaran model ekonomi yang selama ini terbukti ampuh membuatnya bangkit dari negeri pariah menjadi ekonomi terbesar kedua dunia dalam waktu kurang dari 30 tahun.
Nyaris mustahil Cina akan mengabulkan berbagai tuntutan yang begitu mendasar. Namun, mengingat akibatnya begitu luas dan dapat melukai ekonomi Amerika dan Cina jika perang dagang meledak, keduanya memang harus berkompromi.
KURS
Adapun tenggat kedua, yang tak kalah genting, adalah batas waktu keluarnya Inggris dari Uni Eropa, 29 Maret. Sampai pekan lalu, belum ada kejelasan bagaimana nanti tata kelola hubungan ekonomi antara Inggris dan Uni Eropa setelah Inggris tidak lagi menjadi anggota.
Jika Inggris, ibarat pasangan yang minggat, harus keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan, lalu lintas barang dan jasa antara Uni Eropa dan Inggris bakal tersendat. Ekonomi yang macet berpotensi menimbulkan kekisruhan yang tak terbayangkan di Inggris dan bahkan seluruh Eropa. Dampaknya pada pasar finansial global sungguh tak terperikan.
Sementara dua tenggat ini merangkak kian dekat, pasar finansial di Indonesia justru mendapat berkat. Perang dagang dan minggatnya Inggris dari Uni Eropa membuat muram prospek pertumbuhan ekonomi di Amerika dan Eropa. Walhasil, kemungkinan naiknya bunga The Federal Reserve makin kecil. Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi, pekan lalu, juga mengirim sinyal sama. Analis memperkirakan bunga ECB baru naik pada 2020.
Prospek tidak naiknya bunga The Fed ataupun ECB membuat aset-aset finansial dalam rupiah kembali menarik perhatian investor. Dana investasi portofolio kembali deras mengalir masuk. Investor asing, per 23 Januari 2019, memiliki surat berharga negara senilai Rp 901,9 triliun dari total Rp 2.426 triliun yang kini tersedia di pasar. Awal tahun lalu, nilai kepemilikan asing itu masih Rp 815 triliun.
Di pasar saham, yang tahun lalu mengalami “perdarahan” keluarnya dana asing, kini ada aliran masuk yang cukup deras. Sejak awal 2019, tercatat pembelian bersih oleh investor asing senilai Rp 11,1 triliun. Harga saham pun melompat. Indeks harga saham gabungan naik 4,69 persen hanya dalam tempo 25 hari hingga Jumat siang pekan lalu.
Rentetannya, kurs rupiah ikut menguat. Sejak awal tahun, nilai rupiah naik 2,21 persen terhadap dolar Amerika Serikat. Aliran masuk dana portofolio kembali menjadi bantalan defisit neraca transaksi berjalan.
Masalahnya, jika ekonomi global benar-benar terpuruk karena dua hal tadi, persoalan Indonesia tidak akan selesai dengan masuknya investasi portofolio. Harga komoditas dan ekspor Indonesia bisa anjlok, membuat defisit neraca transaksi berjalan kian lebar. Sangat mungkin pula, jika perang dagang meledak dan Inggris keluar dari Uni Eropa secara berantakan, aliran dana investasi akan kembali berubah arah mencari tempat aman.
Standard & Poor's
Rating BBB- Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating BBB Outlook Stable
YOPIE HIDAYAT Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo