Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa Tanah Apartemen Mewah

Lahan yang menjadi lokasi apartemen mewah perusahaan Sugianto Kusuma alias Aguan bermasalah. Badan Pertanahan Nasional dituding mengabaikan putusan pengadilan.

25 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Apartemen District 8 di Jalan Senopati, Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu. /TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas lahan seluas lima hektare itu berdiri gedung perkantoran dan apartemen mewah setinggi 44 lantai. Gedung District 8 Phase II di Jalan Senopati Nomor 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tersebut dibangun PT Sumber Cipta Griya Utama. Perusahaan ini merupakan anak usaha Agung Sedayu Group, milik taipan Sugianto Kusuma alias -Aguan.

Sejak setengah tahun lalu, Ombudsman Republik Indonesia mengawasi keberadaan lahan beserta gedung tersebut. Musababnya adalah ada pihak lain yang melapor ke Ombudsman sebagai pemilik yang sah atas lahan itu. “Laporannya bahwa Badan Pertanahan Nasional menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan lahan tersebut,” ujar Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Siregar, Rabu pekan lalu.

Pelapor sengketa tanah ini adalah Timotius Kambu, pengacara ahli waris Hertje Suripatty, Hands Williand A. Suripatty. Setelah menerima laporan tersebut, Om-budsman mempertemukan pelapor dengan perwakilan Kantor Wilayah Pertanahan DKI Jakarta dan Kantor Pertanahan Jakarta Selatan.

Hasil pertemuan adalah Ombudsman meminta BPN tidak memperpanjang hak atas Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 525/Senayan sampai ada -penyelesaian terhadap tanah. HGB Nomor 525 merupakan bukti kepemilikan atas tanah yang di atasnya berdiri bangunan District 8 tersebut. “Kami meminta agar dikembalikan ke status quo dulu,” ucap Alamsyah.

Ombudsman juga sudah meminta keterangan beberapa orang dari BPN, pemerintah kecamatan, dan pelapor. Sedangkan PT Sumber Cipta Griya Utama belum dimintai keterangan dengan alasan perusahaan tersebut tidak terlibat langsung dalam persoalan.

Menurut Alamsyah, lembaganya masih harus mengumpulkan bukti dan keterangan dari berbagai pihak sebelum mengambil kesimpulan. “Kami mempelajari dulu keterangan para pihak dan dokumen-dokumen yang ada,” ujarnya.

Timotius Kambu mengakui sudah menerima berita acara pertemuan yang dibuat Ombudsman. Ia mengatakan ahli waris Hertje Suripatty menerima kesepakatan itu dan meminta BPN ikut mematuhinya. “Semua pihak harus mematuhinya sampai ada penyelesaian,” katanya.

Menurut Timotius, persoalan tanah itu sudah berlangsung puluhan tahun, jauh sebelum ia mengadu ke Ombudsman. -Mulanya ia yang mewakili Hands Williand A. Suripatty melapor ke Kantor Pertanahan Jakarta Selatan dan BPN DKI Jakarta, dua tahun lalu. Hands meminta BPN membatalkan HGB Nomor 525/Senayan yang diberikan kepada Sumber Cipta Griya -Utama.

Hands mengatakan dia adalah pihak yang berhak memiliki tanah tersebut berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 232/Pdt.P/2003/PN Jak-Sel tanggal 2 September 2003. Isi penetapan ini adalah menetapkan Hertje Suripatty, orang tua Hands, sebagai pemegang hak prioritas untuk mengajukan permohonan hak atas tanah Eigendom Verponding Blok I EE Eg Nomor 1684 Kaveling 96, 97, dan 98 seluas lima hektare di Jalan Senopati Nomor 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tanah eigendom verponding yang dimaksud pengadilan ini sekarang berubah menjadi HGB 525/Senayan.

Apartemen District 8 di Jalan Senopati, Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu. /TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Penetapan pengadilan tersebut mengacu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 755 K/Pdt/1996, yang menguatkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1990. Isinya menyebutkan Hertje adalah orang yang berhak mendapat prioritas di tanah Eigondom Verponding Nomor 1684 tersebut. Di dalam penetapan ini juga diuraikan secara gamblang kronologi Hertje mendapat hak prioritas. Ternyata ia awalnya sebagai penggarap tanah di lokasi tersebut pada 1966.

Cerita ini berawal ketika Hertje menjadi penghuni asrama yang berdiri di atas lahan tersebut, 52 tahun silam. Pemilik asrama adalah Yayasan Perlindungan Purba Wisesa, yang memperoleh hak penggunaan tanah selama 30 tahun (1952-1982) dari pemerintah. Setelah kontrak pemakaian tanah habis, Yayasan Purba Wisesa tidak memperpanjang hak penggunaan tanah tersebut karena lembaga nirlaba ini telah bubar. Hertje lantas memohon ke Kantor Pertanahan dan pengadilan agar diberi prioritas memiliki tanah itu secara sah, pada 22 November 1990. Pengadilan mengabulkannya.

Merujuk pada penetapan pengadilan, Kantor Pertanahan mengukur tanah sesuai dengan permohonan Hertje sekaligus menerbitkan surat keterangan pendaftaran tanah atas nama Hertje pada 1990. Setelah lahan diukur, Kantor Pertanahan tak kunjung menerbitkan sertifikat tanah atas nama Hertje. “Justru yang terjadi BPN menerbitkan HGB untuk orang lain,” tutur Timotius Kambu. Menurut Timotius, di sinilah letak persoalan tanah itu karena Kementerian Agraria/BPN tiba-tiba memberikan HGB kepada PT Sumber Cipta Griya Utama selama 20 tahun pada 23 Maret 1999.

Anggota Staf Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan BPN DKI Jakarta, Sugiyanto, tak bersedia menjawab konfirmasi Tempo lewat surat dan pesan WhatsApp. Ia menyarankan Tempo bertanya kepada Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta Dewi Masitoh. Tapi Dewi juga tak membalas surat elektronik Tempo. Sesuai dengan surat Kantor Pertanahan Jakarta Selatan pada 19 September tahun lalu, Kantor Pertanahan mengaku telah memblokir HGB 525 pada 17 September 2018.

Berbekal surat Kantor Pertanahan tersebut, Timotius meminta BPN DKI Jakarta Selatan membatalkan HGB 525/Senayan dan menerbitkan sertifikat atas nama Hertje Suripatty atau ahli warisnya. Pada 14 Januari lalu, BPN menjawab permintaan Timotius dengan menyarankan ia menggugat ke pengadilan.

Pengacara Agung Sedayu Group, Lenny M. Poluan, mengatakan belum mengetahui laporan Timotius ke Ombudsman. Lenny menilai ahli waris Hertje tidak memiliki iktikad baik karena baru mengklaim kepemilikan tanah, sedangkan penetapan pengadilan terbit 15 tahun yang lalu.

Ia juga menanggapi penetapan pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2003. Menurut Lenny, penetapan tersebut diajukan secara sepihak tanpa melibatkan kliennya. “Penetapan itu tidak dapat diajukan eksekusi karena bukan putusan pengadilan, sehingga untuk menentukan kepemilikan harus melalui prosedur gugatan,” katanya, Kamis pekan lalu.

Lenny juga mengatakan penetapan pengadilan ini terkesan janggal karena masih mengakui pemberlakuan eigendom verponding pada 2003. Padahal, sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, tanah eigendom seharusnya dikonversi. Lenny pun menyoal sikap Ombudsman yang meminta BPN memblokir HGB 525/Senayan, karena ia merasa kliennya sebagai pemilik sah tanah tersebut. “Dasar pemblokiran harus jelas dengan bukti kepemilikan yang sah secara hukum. Apabila tidak, seharusnya blokir tersebut dicabut,” ucap Lenny.

Di tengah saling klaim pemilik tanah HGB 525/Senayan ini, Sumber Cipta Griya Utama justru mendapatkan perpanjangan HGB dari Kementerian Agraria. Perpanjangan HGB tersebut berlaku selama 20 tahun, sampai 5 Mei 2039. “PT Sumber Cipta Griya Utama melakukan permohonan perpanjangan SHGB dan telah selesai sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Lenny.

Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Siregar mengaku belum memperoleh informasi perpanjangan sertifikat tersebut. “Kami belum mendapat informasinya,” katanya.

RUSMAN PARAQBUEQ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus