Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersengat Setrum Baterai Tiongkok

Pemain global berdatangan memburu nikel dan kobalt Indonesia. Peluang Aneka Tambang membentuk perusahaan patungan yang menggarap penghiliran nikel kembali terbuka. Meramaikan kompetisi pasar baterai mobil listrik dunia.

25 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah./nickelmines.com.au

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pesisir Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, tiba-tiba menjadi miniatur industri mobil listrik dunia, awal Januari ini. Pada tanggal 11, sebuah perusahaan patungan global menggelar seremoni pembangunan fasilitas produksi senyawa nikel dan kobalt di kompleks Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Nikel dan kobalt adalah bahan baku utama katoda baterai mobil listrik. “Pabrik ini baru tahap pertama. Nanti ada tahap kedua,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator Kemaritiman Ridwan Jamaluddin, Kamis pekan lalu.

Perusahaan patungan itu adalah PT QMB New Energy Materials (QMB). Penyokong perusahaan patungan berasal dari berbagai entitas bisnis. Tsingshan Holding Group, pemegang saham mayoritas IMIP yang berasal dari Cina, menguasai 28,5 persen saham tidak langsung lewat New Horizon dan IMIP. Pemodal nasional, Bintang Delapan Investama, kebagian 2,5 persen melalui IMIP. Produsen material baterai isi ulang asal Cina, GEM (Jingmen) New Material, punya 36 persen saham. Adapun produsen baterai mobil listrik terbesar dunia, Guangdong Brunp Recycling Technology (CATL), memiliki 25 persen saham di QMB.

Mereka pemain papan atas di pasar baterai mobil listrik. MarketScreener mencatat, pendapatan GEM dari bisnis material baterai sebesar 5,532 miliar yuan atau Rp 11,528 triliun (dengan kurs Rp 2.083) pada 2017. Menurut data manajer investasi global, CLSA, pangsa pasar baterai CATL di pasar mobil listrik global mencapai 17,8 persen. CATL selama ini menyuplai baterai untuk Yutong, Geely, dan Jinlong, tiga pemimpin pasar mobil listrik Cina. CATL masih unggul atas Panasonic, yang menyuplai Tesla, VW, Toyota, dan Ford, juga LG Chemical, yang memasok Hyundai, VW, GM, Ford, serta Volvo.

Menteri Koordinator Kemaritiman Maritim Luhut Binsar Pandjaitan saat peletakan batu pertama pembangunan pabrik baterai mobil listrik PT QMB./Ridwan Dj

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan datang dalam seremoni itu. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto juga terbang ke Morowali. Mereka berdua, bersama bos-bos penyokong QMB, memencet tombol seremoni megaproyek senilai US$ 700 juta tersebut. Menurut Ridwan, Kementerian juga mengajak Budi Gunadi Sadikin, bos PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum)—holding badan usaha milik negara sektor pertambangan. “Kami kenalkan dengan konsorsium dan bicara tentang kemungkinan peluang kerja sama,” ujar Ridwan.

Kabar berdirinya fasilitas produksi komponen baterai mobil listrik ini kencang sejak akhir September tahun lalu. Para penyokong QMB mengumumkan rencana tersebut. Salah satunya Hanwa, pedagang nikel asal Jepang. Hanwa kebagian 8 persen saham di perusahaan patungan. Dalam keterangan tertulisnya, Hanwa menyebutkan fasilitas itu dibangun untuk menyuplai kebutuhan pasar utama baterai mobil listrik Cina.

Presiden Direktur IMIP Alexander Barus mengakui produksi QMB nantinya ditujukan untuk pasar ekspor, terutama Cina. Pasar domestik belum terbentuk. Alex juga mengakui sudah ada perjanjian jual-beli hasil produksi QMB yang diteken para pemegang saham. Namun Alex enggan mengungkap pembagiannya. “Yang pasti perjanjian offtaker-nya sudah,” tutur Alex, -Jumat pekan lalu. 

Pemain kunci baterai isi ulang (lithium-ion battery/LIB), baik untuk mobil setrum maupun perangkat elektronik, sudah lama mengincar cadangan nikel, kobalt, dan mangan milik Indonesia. Terutama tambang-tambang yang kandungan kobaltnya cukup tinggi. Saat ini tambang nikel yang diketahui punya kadar kobalt tinggi adalah Blok Weda di Halmahera, Maluku Utara. “Di Weda itu kandungan nikelnya 1,4 persen, sementara kobaltnya 0,1 persen,” kata Yoseph Swamidharma, geologis anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia, di Jakarta, Selasa pekan lalu.

CLSA mencatat, sebagian baterai mobil listrik saat ini menggunakan komposisi katoda nikel-kobalt-mangan 532 (NCM 532), yaitu 50 persen nikel, 30 persen kobalt, dan 20 persen mangan. Salah satunya BYD, produsen mobil listrik Cina. Adapun CATL, LG Chemical, dan Samsung SDI memproduksi baterai katoda NCM 622 (60 persen nikel, 20 persen kobalt, dan 20 persen mangan). Sedangkan Panasonic memproduksi baterai katoda NCA (nikel-kobalt-aluminium) untuk Tesla. Kini sebagian besar produsen mulai menyiapkan katoda NCM 811 (80 persen nikel, 10 persen kobalt, dan 10 persen mangan). Inovasi ini bertujuan terus memangkas konsumsi kobalt, yang cadangannya sangat terbatas dan mahal. 

Menurut Swamidharma, tambang nikel selain Blok Weda memiliki kandungan kobalt di bawah 0,1 persen. Swami-dharma sempat menjadi manajer eksplorasi Blok Weda sampai 2010. Kongsi tiga perusahaan, yakni Eramet (Prancis), Mitsubishi Corporation (Jepang), dan Aneka Tambang atau Antam (Indonesia), awalnya mengantongi kontrak karya blok atas nama PT Weda Bay Nickel (WBN). Eramet dan Mitsubishi berkongsi di Strand Minerals Pte Ltd, masing-masing 66,6 persen dan 33,4 persen. Strand inilah yang menguasai 90 persen saham WBN. Sisanya dimiliki Antam. Pada 2016, Mitsubishi melepas semua sahamnya kepada Eramet. 

Saat itu pemerintah terus mendorong Eramet segera membangun fasilitas pemurnian bijih nikel. Untuk membuat smelter, perusahaan butuh tambahan modal. Eramet kemudian meminta Antam menambah porsi saham mereka di Weda sampai 60 persen. Menurut Swamidharma, permintaan Eramet tak bersambut. Kala itu Antam masih berdiri sendiri. Holding BUMN tambang di bawah Inalum belum terbentuk. “Padahal valuasi Weda masih US$ 2 miliar,” ujar Swamidharma. 

Sampai kemudian pada Juni 2017, Tsingshan datang membawa uang. Eramet melepas 57 persen sahamnya di Strand kepada Tsingshan, yang membuat raksasa baja dunia itu menguasai saham mayoritas WBN menjadi 51 persen. Saham Eramet di WBN lewat Strand tinggal 38,7 persen, sementara Antam tetap 10 persen. “Pasokan dari Weda inilah kunci operasi fasilitas yang baru saja groundbreaking di Morowali kemarin,” ucap Swamidharma. 

Namun Alexander Barus menerangkan, QMB tidak hanya bergantung pada pasok-an Weda. Fasilitas produksi mereka terbuka untuk pasokan dari aneka blok tambang nikel. Sebab, Alex, menambahkan, bahan baku pengolahannya adalah nikel laterit, yang selama ini dianggap overburden.- “Dulu itu dibuang-buang.”

Antam, Alex melanjutkan, adalah salah satu pemilik deposit nikel laterit terbesar di Indonesia. Riset terdahulu menunjukkan bahwa Pomalaa, salah satu blok nikel Antam, merupakan kawasan kaya laterit nikel. Dua blok lain, Sorowako dan Bahodopi, juga surga nikel. Dua blok terakhir adalah wilayah kontrak karya PT Vale Indonesia, perusahaan yang 20 persen sahamnya akan dibeli Inalum.

Seorang pejabat di Kementerian Koordinator Kemaritiman mengungkapkan, bos Inalum, Budi Sadikin, sudah tiga bulan terakhir mempelajari peluang Antam melakukan penghiliran tambang nikel untuk baterai isi ulang. Selama ini penghiliran tambang nikel Antam hanya sampai feronikel, salah satu komponen baja tahan karat.

 

Sumber Tambang Baterai Listrik

Saat peresmian QMB, awal Januari lalu, peluang Antam itu terbuka. Seorang pejabat yang hadir dalam peresmian mengatakan salah satu perusahaan konsultan bisnis global mendekati Budi, lalu memperkenalkannya kepada Chairman Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited Xuehua Chen.

Huayou inilah yang sedang dijajaki Inalum untuk merealisasi mimpi holding membentuk perusahaan patungan yang menggarap penghiliran nikel. Huayou adalah raksasa kobalt dunia. Pasokan perusahaan banyak berasal dari Kongo, pemilik 60 persen cadangan kobalt di perut bumi.

Saat dimintai konfirmasi perihal rencana kerja sama dengan Huayou, Budi menjawab diplomatis. Menurut dia, Inalum memahami nilai strategis pengembangan program penghiliran industri Nickel Class-1 sebagai bahan baku baterai mobil listrik. “Inalum akan menyiapkan anggaran yang cukup untuk mengamankan penguasaan cadangan strategis nikel dan bekerja sama dengan pemilik teknologi hilirisasi industri Nickel Class-1 dunia,” tutur Budi, Jumat pekan lalu.

Kabar rencana kerja sama Huayou dengan Inalum itu menarik perhatian Swami-dharma. Akhir tahun lalu, Swamid-harma bertandang ke kantor pusat Huayou di Zhejiang, Cina. “Saya juga mengajak mereka bekerja sama,” kata Swamidharma, yang saat ini ditugasi mengembangkan bisnis mineral Grup Salim. “Tapi mereka tidak mau.”

Bila ikhtiar itu terwujud, kerja sama Inalum dan Huayou akan makin meramaikan industri baterai isi ulang nasional. Sebelum investasi patungan QMB, tahun lalu Menteri Luhut meminta LG Chemical masuk bersamaan dengan permintaannya kepada Hyundai agar membangun pabrik di Indonesia.

Menurut Alexander Barus, untuk investasi membangun pabrik baterai atau komponen baterai, investor mesti punya tiga modal. Pertama, pembeli pasti alias pasar. Kedua, kemampuan teknologi. Terakhir, kantong tebal. “Kebetulan Cina sudah punya semua,” ujarnya. “Tapi, kalau pasar mobil listrik domestik sudah jadi, kita sudah punya modal bersaing.” 

Industri mobil nasional memang masih menunggu gerak pemerintah. Pemerintah berencana menerbitkan peraturan presiden tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik untuk angkutan jalan. “Kita belum bisa melakukan apa pun sebelum ada aturan mobil listrik yang jelas,” kata Alex, yang juga bos PT Sokonindo Automobile, produsen mobil DFSK.

Presiden Joko Widodo sudah menggelar rapat kabinet terbatas membahas percepatan ini tiga hari setelah seremoni di Morowali. Semua berharap peraturan presiden itu membuat pasar mobil listrik kita bisa segera berlari.

KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI, PUTRI ADITYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus