Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jongkie Sugiarto sedikit lebih lega. Penantian Wakil Presiden Komisaris PT Hyundai Motor Indonesia itu selama delapan tahun mulai menampakkan hasil setelah rencana investasi induk perusahaannya, PT Hyundai Motor Company asal Korea Selatan, akan mewujud dalam waktu dekat. “Sampai berbusa mulut saya ajak mereka segera berinvestasi di sini. Akhirnya jadi juga,” kata Jongkie, Rabu malam pekan lalu.
Sudah lama Jongkie berupaya meyakinkan manajemen Hyundai di Negeri Ginseng untuk segera membangun pabrik di Indonesia. Ia mempromosikan potensi pasar mobil di Tanah Air yang tren penjualannya makin meningkat, yang sepanjang tahun lalu menyentuh angka 1,15 juta kendaraan.
Selain membeberkan potensi pasar, Jongkie menawarkan kesempatan bagi Hyundai untuk menggenjot ekspor dari pabrik di Indonesia. Namun setiap tahun usulnya selalu mentok, tak ada gaungnya. “Mereka cuma jawab, ‘Oke, kami pelajari’,” ucapnya. Belakangan, Jongkie melanjutkan, tim dari Korea Selatan menggelar studi mandiri tanpa melibatkan tim Hyundai di Jakarta. “Kami menyediakan data saja.”
Kepastian Hyundai berinvestasi di Indonesia muncul semester kedua tahun lalu. Medio September 2018, Hyundai Motor Company menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Perjanjian ini oleh-oleh kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Korea Selatan, yang sekaligus menghadiri forum bisnis di sana. Selain perjanjian dengan Hyundai Motor Company, Jokowi membawa pulang kesepakatan bisnis senilai US$ 6,2 miliar (sekitar Rp 81,7 triliun).
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Hyundai akan berinvestasi sampai US$ 1 miliar untuk membangun pabrik mobil berkapasitas produksi 250 ribu unit, termasuk mobil listrik. “Angka pastinya belum kami tanyakan, tergantung kapasitasnya,” tutur Luhut, Senin dua pekan lalu. Pabrik ini rencananya dibangun di Karawang, Bekasi, atau Purwakarta, Jawa Barat. Kawasan tersebut dekat dengan fasilitas transportasi internasional seperti Bandar Udara Kertajati di Majalengka dan Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat.
Luhut pun bertemu dengan manajemen Hyundai Motor Cina pada pertengahan Desember 2018. Pembicaraan mulai mengerucut pada detail investasi, seperti kapasitas produksi pabrik mobil dan sasaran ekspor. Dengan adanya perjanjian perdagangan bebas, produk Hyundai buatan Jawa Barat bisa dikirim ke Australia, juga negara di pantai timur Afrika seperti Kenya dan Mozambik.
Dalam pertemuan itu muncul pula pembahasan mengenai komitmen pemerintah terhadap izin investasi, ketersediaan infrastruktur, dan berbagai insentif. Saat dimintai konfirmasi, juru bicara Hyundai Motor Company untuk Indonesia, K.S. Lee, mengatakan detail rencana investasi Hyundai di Indonesia belum diputuskan. Selama ini Hyundai memang belum memiliki pabrik di Asia Tenggara. Tempat perakitan berada di Vietnam. “Kami masih mempelajari- bagaimana meluncurkan model investasi kami di pasar Asia,” kata Lee, Kamis pekan lalu.
Pengurangan bahan bakar fosil diperkirakan bisa menghemat devisa sekitar Rp 798 triliun. Selain itu, penggunaan kendaraan bertenaga listrik akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030.
Lee juga tidak menjawab saat ditanyai tentang target produksi apabila investasinya benar mencapai US$ 1 miliar. “Belum ada yang fixed.” Pejabat pemerintah yang mengetahui ihwal investasi ini mengungkapkan, Hyundai sempat meminta PT LG masuk lebih dulu untuk memproduksi baterai mobil listrik di Indonesia. Belakangan, kata pejabat itu, tanpa LG pun kepastian investasi Hyundai akan diumumkan pada semester pertama tahun ini.
Rencana Hyundai itu berbarengan dengan program pemerintah mengembangkan industri kendaraan listrik untuk menekan impor bahan bakar minyak dan gas. Sebab, neraca perdagangan migas nasional sepanjang Januari-November 2018 tercatat defisit US$ 12,15 miliar atau sekitar Rp 175 triliun. Pengurangan bahan bakar fosil diperkirakan bisa menghemat devisa sekitar Rp 798 triliun. Selain itu, penggunaan kendaraan bertenaga listrik akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030.
Kementerian Perindustrian menargetkan populasi mobil listrik di dalam negeri tembus 400 ribu unit pada 2025. “Pada tahun itu juga dibidik 2 juta unit populasi motor listrik,” ucap Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Hyundai berkali-kali mempertimbangkan ketersediaan suplai baterai, jumlah stasiun pengisian listrik umum, kemampuan tenaga kerja, lokasi operasi, akses keuangan, dan nilai tukar rupiah sebelum memproduksi mobil listrik di Indonesia. Hyundai juga menunggu peraturan presiden tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik untuk transportasi jalan disahkan.
Menurut Jongkie Sugiarto, rencana pengembangan kendaraan rendah emisi karbon tak akan mulus tanpa komitmen pemerintah menjamin ketersediaan infrastruktur dan insentif perpajakan. Tanpa dua hal itu, harga kendaraan listrik diperkirakan tak terjangkau oleh konsumen Indonesia. “Jadi harga harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat kita,” katanya. “Nah, harga tersebut tergantung jenis dan struktur perpajakannya.”
Airlangga mengatakan pemerintah akan memberikan insentif secara bertahap untuk kendaraan bermotor listrik. Pada tahap awal, akan diberlakukan bea masuk nol persen dan penurunan pajak penjualan atas barang mewah. Saat dihubungi, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika tak dapat memberikan keterangan lebih rinci tentang rancangan peraturan presiden tersebut dengan alasan sedang berada di luar negeri. Adapun Kementerian Energi akan memberikan insentif penambahan daya di rumah yang terdapat kendaraan listrik.
Selain Hyundai, Mitsubishi menjajaki rencana produksi mobil listrik di Tanah Air sejak tahun lalu. Mitsubishi menghibahkan delapan unit Outlander PHEV dan dua unit i-MiEV kepada pemerintah. Mobil ini dipakai sebagai obyek penelitian, seperti yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dalam membangun stasiun pengisian listrik umum.
Juru bicara Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia, Bambang Kristiawan, mengatakan, dari dua jenis mobil listrik yang telah dipasarkan di 55 negara, hanya Outlander PHEV jenis plug-in hybrid yang diperkirakan cocok untuk pasar Indonesia. Daya listrik mobil ini bisa bersumber dari bahan bakar minyak. “Karena infrastruktur pengisian daya belum sepenuhnya terbangun,” ujar Bambang.
Mulai tahun ini, rencananya sepeda motor listrik produk lokal, Garansindo Electric Scooter ITS atau Gesits, akan diproduksi secara massal. Targetnya mencapai 60 ribu unit per tahun. Gesits bisa digeber hingga kecepatan 120 kilometer per jam dengan daya tahan baterai maksimal tiga jam. Jika habis, baterai bisa diisi ulang di stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina.
Sementara itu, produsen Wuling masih menunggu pemerintah menerbitkan regulasi yang pas untuk memasarkan mobil listriknya, E100, di Indonesia. Produsen asal Cina ini sebetulnya pernah memamerkan E100 dalam pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show 2018 di Tangerang, Banten. Manajer Operasi PT Automobil Jaya Mandiri (dealer Wuling Jawa Tengah) Buddy Kurniawan mengatakan keringanan pajak bisa mendorong industri kendaraan dengan emisi karbon rendah lebih bergairah. “Makanya kita lihat nanti saja bagaimana regulasinya,” tuturnya.
PUTRI ADITYOWATI, RETNO SULISTYOWATI, CAESAR AKBAR, ANDEBAR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo