Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira meminta pemerintah mengubah indikator target keberhasilan investasi pasca-terkuaknya skandal penyimpangan data tingkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB). Sebelumnya pemerintah menargetkan Indonesia masuk 40 besar peringkat kemudahan investasi berdasarkan skor EODB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Misalnya indikator perbaikan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang saat ini masih berada di atas level enam,” ujar Bhima dalam pesan pendek pada Sabtu, 18 September 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Bhima, ICOR bisa menjadi perbandingan efisiensi investasi antar-negara yang cukup relevan. Selain itu, Indonesia pun dapat mengacu pada indikator lain untuk memperbaiki iklim investasinya, seperti perbaikan ongkos logistik nasional yang masih berada di level 23,5.
Indikator labor productivity atau produktivitas tenaga kerja, ujar Bhima, juga tidak kalah penting untuk meningkatkan daya saing investasi Indonesia. “Tanpa EODB sebenarnya banyak indikator lain yang bisa dijadikan benchmark dalam menarik investasi khususnya investasi langsung,” tutur Bhima.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan skor atau peringkat kemudahan investasi yang dikeluarkan oleh EODB tak memiliki dampak langsung terhadap permodalan di Indonesia. Musababnya, investor tidak akan melihat perbaikan peringkat suatu negara saat akan menanamkan investasi, tapi kondisi langsung yang dirasakan di lapangan.
“Yang dibutuhkan investor bukan perbaikan peringkat. Mereka butuhkan kemudahan yang riil di lapangan. Bukan di peringkat,” tutur Piter. Piter mengemukakan, saat ini pemerintah dapat berfokus memperbaiki iklim investasi tanpa mengacu pada indikator peringkat lembaga internasional.
Bank Dunia sebelumnya mengumumkan telah menyetop sementara laporan kemudahan berusaha akibat adanya dugaan skandal yang melibatkan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF). Skandal disinyalir terjadi pada 2018-2020 menurut keterangan resmi Bank Dunia.
"Setelah penyimpangan data Doing Business 2018 dan 2020 dilaporkan secara internal pada Juni 2020, manajemen Bank Dunia menghentikan sementara laporan Doing Business berikutnya dan memulai serangkaian tinjauan dan audit atas laporan dan metodologinya," tulis Bank Dunia pada Jumat, 17 September 2021.
Bank Dunia mengendus adanya permasalahan etika dan akuntabilitas yang dilakukan oleh mantan pejabat lembaga internasional itu danmelakukan evaluasi. Manajemen juga menggelar audit atas laporan-laporan EODB.
Setelah meninjau semua informasi yang dihimpun tentang EODB, Bank Dunia memutuskan mengambil kebijakan menghentikan laporan dan akan menyusun metode anyar untuk mengukur peringkat kemudahan berusaha selanjutnya.
"Grup Bank Dunia tetap berkomitmen kuat untuk memajukan peran sektor swasta dalam pembangunan dan memberikan dukungan untuk membuat peraturan yang mendukung hal ini. Ke depan, kami akan mengerjakan pendekatan baru untuk menilai iklim bisnis dan investasi," tulis Bank Dunia.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA