Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengkritisi Bank Dunia atau World Bank yang tidak lagi menerbitkan Ease of Doing Business Index atau indeks kemudahan berusaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata Bahlil, Bank Dunia sudah 2 tahun tidak menerbitkan indeks EoDB tersebut. Menurutnya, indeks tersebut tidak lagi diterbitkan Bank Dunia karena ada permaianan yang dilakukan oleh orang-orang yang dia sebut hantu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi kita pikir World Bank tidak bisa lagi aneh-aneh, ternyata ada aneh-anehnya juga. Jadi barang ini ternyata seperti hantu, dapat dirasakan enggak bisa dipegang," kata Bahlil di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2022.
Menurut Bahlil, Indeks EoDB yang menggambarkan kemudahan berinvestasi itu kini menjadi permasalahaan di internal Bank Dunia karena ada beberapa negara yang melakukan hal-hal di luar kewajaran. Akibatnya indeks tersebut dianggap tidak lagi objektif.
"Jadi ada beberapa negara yang coba untuk melakukan gerakan tambahan sehingga tidak objektif, maka kemudian diputuskan untuk dihentikan," kata dia.
Maka dari itu, untuk mengukur bagaiaman kemudahan berinvestasi di Indonesia kini, terutama setelah adanya Undang-undang Cipta Kerja, Bahlil mengatakan, bisa merujuk pada penilaian yang dilakukan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD).
Berdasarkan penilaian UNCTAD, Bahlil mengatakan, reformasi regulasi untuk kemudahan melakukan investasi dan kini Indonesia hanya terpaut satu poin dari Singapura. Singapura diberikan nilai 18 oleh UNCTAD sedangkan Indonesia 19.
"Indonesia di Asia Tenggara itu nilainya anya 1 poin di bawah Singapur, jadi Singapur poinnya 19, Indonesia poinnya 18, ini terjadi karena output dan implementasi Undang-undang Cipta Kerja," ucap Bahlil.
Selain itu, Bahlil melanjutkan, UNCTAD juga telah menganggap bahwa aliran modal asing atau foreign direct investment yang paling banyak masuk di negara-negara kawasan Asia Tenggara adalah di Singapura dan Indonesia.
"FDI di Asia Tenggara itu di Singapur nomor 1 dan nomor 2 Indonesia, jadi bukan Vietnam. Singapura lebih banyak sektor jasa keuangan, Indonesia dari sektor riil," kata Bahlil.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.