Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Tak Terantuk Dua Kali

Sengketa deposito Rp 1 triliun milik Timor Putra Nasional di Bank Mandiri belum hendak berujung. Buntut pahit obral BPPN yang amburadul.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan penting itu tak terlalu lama dibuat, setelah selembar salinan perintah transfer yang dikirim via faksimile ini sampai di tangan Sugiharto. Dengan cekatan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini mengontak Menteri Keuangan Jusuf Anwar, yang menjabat Ketua Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (TP-BPPN).

"Apakah Bapak aware bahwa ada upaya melakukan transfer dana giro dan bilyet deposito ini?" Sugiharto bercerita tentang pembicaraannya dengan Jusuf pada Kamis dua pekan lalu itu. Sebagai Wakil Ketua Tim Pemberesan, Sugiharto merasa wajib menempatkan Jusuf sebagai orang pertama yang harus ia mintai klarifikasinya. Menurut dia, uang atas nama PT Timor Putra Nasional (TPN) yang tersimpan di brankas PT Bank Mandiri itu hanya bisa cair atas persetujuan Menteri Keuangan.

Semenit kemudian, telepon Sugiharto sudah tersambung ke Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Berikutnya adalah Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar. Dan terakhir, ia juga menghubungi Menteri Hukum dan Perundang-undangan Hamid Awaluddin, yang tengah berada di Helsinki, Finlandia—berunding dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka. "Mereka terkejut. Semuanya secara aklamasi mengatakan agar dicoba ditahan dan diklarifikasi dulu apa perintah transfer itu," kata Sugiharto. Pemindahan deposito dan giro senilai Rp 1,027 triliun dan US$ 3.975 itu pun batal.

Masih menurut Sugiharto, persoalan ini bahkan mendapat perhatian dalam sidang kabinet, yang kemudian menugasinya untuk meneliti lebih jauh. Langkah cepat itu, katanya, dilakukan demi menyelamatkan uang negara. "PT Timor masih punya utang kepada negara, setiap sen duit yang ada mestinya dipakai untuk melunasinya," katanya.

Tapi rupanya niat mulia saja tak cukup, terlebih menyangkut uang begitu besar. Atas tindakannya itu, Sugiharto menuai gugatan. Senin pekan lalu, PT Timor yang merasa dirugikan mendatangi markas Polda Metro Jaya. Diwakili direkturnya, Budi Haryono, mereka menuding komisaris dan direksi Bank Mandiri bersama Menteri Negara BUMN telah melakukan tindak pidana penggelapan dengan menghalangi pencairan dana, sehingga merugikan PT Timor Rp 1,274 miliar.

Boleh jadi gugatan ini akan menjadi pengantar bagi babak baru sengketa. Tapi, kisah ruwet deposito dan giro milik perusahaan yang semasa Soeharto berkuasa mendapat konsesi mengimpor mobil Kia dari Korea dengan aneka fasilitas itu sebenarnya bisa dilacak sejak jauh hari.

Cerita berawal dari penerbitan letter of credit (L/C) oleh Bank Bumi Daya untuk perusahaan milik Hutomo Mandala Putra itu pada 1998, yang ternyata nyangkut karena tak bisa dilunasi. Fasilitas pembayaran untuk perdagangan internasional inilah yang kemudian dikonversi menjadi kredit. Dan untuk melunasinya, hasil penjualan mobil Timor ditampung di bank itu.

Bergabungnya Bank Bumi Daya ke dalam Bank Mandiri pada tahun berikutnya dengan sendirinya membawa serta urusan kredit macet, yang selanjutnya diserahkan hak tagihnya kepada BPPN sebagai "dokter" perbankan yang dibentuk pemerintah di awal krisis. Bersamaan dengan itu, diserahkan pula 85 bilyet deposito, dan proses restrukturisasi ditetapkan melalui nota kesepakatan antara BPPN dan Timor pada akhir September 2000.

Tapi, sampai batas tiga bulan setelah itu, ternyata tak ada tindak lanjut apa pun yang berarti. Bukan hanya krisis yang mendera Timor, tidak adanya lagi dukungan kekuasaan di belakangnya akibat jatuhnya rezim Soeharto pun memunculkan masalah baru. Berbagai fasilitas yang diperoleh Timor dihapuskan, salah satunya fasilitas bebas bea masuk. Muncullah kemudian tagihan pajak senilai Rp 1 triliun yang langsung diikuti penyitaan deposito mereka di Mandiri oleh Kantor Pajak.

Keadaan tak membaik sampai Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) memutuskan menjual piutang Timor Putra Nasional senilai Rp 4,05 triliun itu pada 20 Maret 2003. Sampai dijual, Timor tak tersentuh restrukturisasi. Karena itu, melalui program penjualan aset kredit ketiga sebulan kemudian, piutang ini hanya laku diobral 10 persen alias cuma Rp 445 miliar. Pembelinya adalah PT Vista Bella Pratama, yang menurut beberapa sumber di BPPN dan Departemen Keuangan dikendalikan oleh seorang pengusaha media nasional.

Tahun berganti dan keputusan Mahkamah Agung (MA) pun ternyata turut berubah. Pada 15 Juli tahun lalu, lembaga peradilan tertinggi ini membuat keputusan baru yang memenangkan gugatan PT Timor. Isi keputusan sekaligus membatalkan keputusan MA sebelumnya pada 13 November 2000—yang dijadikan dasar Direktorat Jenderal Pajak melakukan penyitaan uang Timor di Mandiri. Direktur Jenderal Pajak, Hadi Purnomo, mengaku tak bisa berbuat apa-apa menghadapi keputusan itu.

Pihaknya masih tetap menghitung pajak PT Timor pada 2002 sebagai tunggakan. Tapi, demi menghormati hukum, pada 27 Januari lalu Ditjen Pajak mencabut pemblokiran dan surat paksa yang mereka terbitkan atas rekening Timor di Mandiri, sekaligus menyerahkan 55 lembar bilyet deposito asli kepada PT Timor. Dengan demikian, masih ada 30 lembar bilyet lagi yang tersisa di Mandiri sebagai bank penampung.

Timor, yang sudah di atas angin, agaknya tak hendak serta-merta meminta balik seluruh duitnya dalam sekali pukul. Pada awal Desember mereka berkirim surat ke Tim Pemberesan. Isinya meminta penjelasan mengenai rekening atas nama PT Timor Distributor Nasional (TDI) yang dulu termasuk yang di-cessie-kan.

Surat dibalas I Nyoman Sender sebagai Wakil Koordinator Pelaksana Tim Pemberesan pada 14 Desember, dan ditujukan kepada Bank Mandiri. Sender menyatakan bahwa deposito milik Timor Distribusi bukan merupakan jaminan Timor Putra Nasional, dan tak ditemukan sita pajak di dalamnya. Karena itu, penanganan selanjutnya sepenuhnya merupakan urusan Mandiri dan pemilik deposito. Dana milik TDI ini akhirnya dapat dicairkan.

Berbekal preseden ini, PT Timor beranggapan bahwa hal yang sama mestinya berlaku pula bagi dana mereka yang lain di bank milik pemerintah itu. Sehingga, ketika Mandiri tak juga melakukan pencairan, mereka melapor ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan—yang kemudian melayangkan somasi kepada Mandiri pada 5 April. Pengadilan memberi batas waktu sampai 13 April kepada direksi Mandiri untuk hadir di pengadilan.

Selang tiga hari setelah somasi itu Direktur Utama Mandiri, Edward Cornelis William Neloe, bersurat kepada Harry Sukadis sebagai pejabat sementara Koordinator Pelaksana Tim Pemberesan. Malang bagi Neloe, balasan yang didapat hanya sehari sebelum tenggat yang diberikan pengadilan itu tak memberikan kepastian apa pun mengenai sikap yang harus diambil menghadapi somasi PT Timor. Dengan alasan belum bisa bertemu Menteri Keuangan untuk meminta pengarahan, Harry meminta agar Mandiri "mengupayakan langkah terbaik bagi penyelesaian masalah ini".

Pada saat kepepet itulah Neloe meminta bantuan Lucas, pengacara yang turut menangani kasus Mandiri yang berhadapan dengan PT Great River International. Atas nasihat Lucas, hari itu juga Neloe bersama Direktur dan Sekretaris Perusahaan Nimrod Sitorus menandatangani surat permohonan konsinyasi kepada pengadilan. Mereka memilih menyerahkan seluruh dana PT Timor kepada pengadilan—untuk selanjutnya diserahkan kepada pemiliknya. "Mandiri harus menjaga integritasnya dengan tidak menahan dana yang bukan miliknya," kata Lucas kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Aksi Neloe mentransfer dana inilah yang dapat dicegah Sugiharto, yang kini tengah meminta fatwa kepada MA untuk mengatasi sengketa ini. "Kami juga mengirim surat kepada Bank Mandiri," ujar Sugiharto usai bertemu Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset, Mohamad Syahrial, dan Harry Sukadis, Selasa pekan lalu.

Ada yang mengatakan bahwa kegagalan transfer itu turut dibantu oleh sabotase dari dalam Mandiri. Tetapi seorang sumber Tempo yang mengetahui seluk-beluk teknologi perbankan mengatakan, kemungkinan tidak berjalannya transfer itu lebih disebabkan oleh jumlahnya yang sangat besar. "Ada sistem alert yang otomatis bekerja jika ada transaksi di atas nilai tertentu. Ini untuk keamanan saja," katanya.

Untuk sementara, uang itu memang aman di brankas, tapi tidak demikian dengan posisi Neloe yang boleh jadi semakin di ujung tanduk. Apalagi Sugiharto, sebagai juragan, mulai menghubungkan masalah ini, dan kasus-kasus kredit macet lain di Mandiri yang tengah gencar diusut Kejaksaan Agung atas laporan Badan Pemeriksa Keuangan, dengan rencana rapat umum pemegang saham yang kemungkinan mengagendakan pergantian direksi pada 16 Mei mendatang.

Ironisnya, yang justru sudah pasti tak bisa diamankan akibat gencarnya pemberitaan miring tentang bank nasional terbesar ini adalah harga saham mereka yang semakin terjun bebas di lantai bursa. Pada penutupan perdagangan Jumat pekan lalu, saham bank ini terkoreksi di posisi Rp 1.600 per lembar. Bandingkan dengan nilai puncak pada 6 Januari lalu di level 2.050. Dengan jumlah saham bank nasional terbesar ini 20 miliar lembar, kapitalisasi yang melayang dalam beberapa bulan ini saja sudah mencapai Rp 9 triliun lebih.

Kepanikan pasar akibat berita miring itu dapat dimaklumi. Obat untuk mengatasinya hanyalah dengan mengembalikan kepercayaan mereka bahwa pengelolaan bank ini dilakukan dengan profesional dan hati-hati.

Y. Tomi Aryanto, Angelus Tito Sianipar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus