Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemberantasan Korupsi sedang laris. Belum juga pemeriksaan atas dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) kelar, lembaga tersebut sudah mendapat order untuk menyelidiki dugaan kasus korupsi di Pertamina. Adalah Komite Pemberantasan Korupsi Pertamina (KPKP), sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang meminta KPK meneliti berkas-berkas yang mereka kirim mengenai tender pembelian minyak mentah yang diduga tidak beres.
Sebagian besar berkas tersebut merupakan hasil kerja tim Satuan Pengawasan Internal (SPI) Pertamina sendiri. Mereka mengaudit proses tender pembelian minyak mentah untuk rencana pengapalan (ship to ship/STS) April 2005 pada Februari lalu. Tender itu sudah selesai pada 22 Maret lalu. Hasil pemeriksaan sementara tim menemukan adanya ketidakwajaran dalam proses pembelian, pengadaan, dan pemilihan minyak mentah.
Akibatnya, Pertamina berpotensi menderita kerugian US$ 983,58 ribu (Rp 9,18 miliar) per bulan. Kalau mengacu pada harga pasar, kerugian Pertamina bisa berlipat menjadi US$ 11,04 juta (Rp 103,16 miliar). Cerita tender bermula dari masuknya 31 pemasok yang mengajukan penawaran pada 15 Februari 2005. Lewat seleksi total harga nominal atau market price buyer estimation (MPBE), terpilih sembilan jenis minyak mentah (lihat tabel).
Namun, karena ada keberatan dari Unit Pengolahan V Pertamina Balikpapan—yang akan mengolah minyak mentah itu menjadi BBM—jenis sarir akhirnya ditukar dengan tapis. Pengelola Kilang Balikpapan khawatir jika tetap menggunakan sarir akan menghasilkan lebih banyak low sulphur waxy residue (LSWR).
Sampai di sini, tender masih berlangsung mulus. Tapi, setelah sembilan jenis minyak dipilih, tim tender masih mengajukan hasil tersebut kepada Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo untuk dipertimbangkan atau dievaluasi ulang. Padahal, pemilihan jenis minyak yang hendak dibeli sudah menggunakan program GRTMPS (generalized refining transportation marketing planning system) yang membuat penyeleksian berlangsung tanpa campur tangan manusia.
Direktur Pengolahan Pertamina kemudian meminta tim tender mengadakan seleksi ulang. Kali ini, tim tender diminta memasukkan minyak mentah jenis panyu. Padahal, minyak yang akan dipasok oleh InterOil Petroleum ini tidak lolos dalam seleksi sebelumnya. Menurut Suroso, seperti ditulis dalam laporan hasil audit yang diperoleh Tempo, harga panyu (US$ 45,27 per barel) lebih murah ketimbang sarir (US$ 49,03), meskipun keduanya tergolong sejenis.
Dalam evaluasi, demikian laporan itu, ditemukan adanya perubahan penetapan harga dasar pada jenis panyu, baik yang ditujukan kepada Manajer Niaga Minyak Mentah maupun Kepala Divisi Perencanaan dan Ekonomi Kilang. Harga dasar menggunakan prediksi Desember 2004, seharusnya April 2005. Kejanggalan ini memaksa dilakukannya pengujian ulang dengan membandingkan harga panyu dengan bunga kekwa.
Hasilnya, ”Optimasi panyu lebih rendah ketimbang bunga kekwa (berdasarkan harga yang ditetapkan pada rapat tender), sehingga secara margin terjadi potensi kerugian bagi Pertamina US$ 983,58 ribu (Rp 9,18 miliar) per bulan,” demikian ditulis tim audit. Kalau berdasarkan harga pasar, potensi kerugian menjulang hingga US$ 11,04 juta. Artinya, harga panyu tak lagi murah.
Menurut laporan itu, ketidakwajaran proses pembelian berpangkal pada tidak konsistennya tim tender dalam melakukan seleksi awal. Mereka masih memasukkan jenis minyak mentah yang tidak lolos MPBE, sehingga menjadi salah satu pemicu ”keributan” yang dilakukan pemasok lainnya yang gagal masuk seleksi. Lalu, lemahnya kewenangan tim tender, sampai-sampai masih harus meminta persetujuan Direktur Pengolahan Pertamina.
Menurut tim audit, persetujuan itu dapat membuka peluang dan rawan terhadap terjadinya perubahan pemenang tender atas permintaan kepentingan pihak-pihak tertentu. Tim tersebut merekomendasikan agar direksi Pertamina memberi perhatian serius karena ketidakwajaran dalam proses tender dapat menjadi beban dan mengurangi keuntungan perusahaan. Juga, perlu dilakukan uji tuntas (due diligence) terhadap semua pemasok lebih dulu.
Kepala SPI Pertamina, Budi Luhur Djatmiko, mengatakan hingga kini proses pemeriksaan lanjutan belum rampung menyusul adanya tanggapan tertulis dari tim tender atas hasil audit sementara. Dia belum bisa memastikan apakah hasil final akan sama persis dengan temuan pemeriksaan sementara, yaitu adanya penyimpangan dalam pembelian minyak mentah. ”Kami masih mengolah data dan dalam penelitian,” kata Budi.
Direktur Pengolahan Pertamina, Suroso Atmomartoyo, serta-merta membantah dirinya meminta jenis panyu dimasukkan dalam seleksi ulang. ”Di tim tender ada pemutus akhir, mereka yang menetapkan hasilnya,” ujarnya. Menurut Suroso, semua langkah dan kebijakan yang diambil tim sudah sesuai dan mengacu pada berita acara tender. Tim tender melakukan hitung-hitungan terlebih dahulu pada setiap jenis minyak mentah, lalu mengecek ulang.
Suroso menjelaskan, pilihan jatuh ke minyak mentah panyu karena harganya jauh lebih murah ketimbang bunga kekwa. Harga panyu hanya US$ 45,7 per barel, bunga kekwa di kisaran US$ 50. Dia menduga terjadi salah perhitungan dalam pengujian, sehingga optimasi minyak mentah pilihan tim tender lebih rendah dibandingkan dengan jenis lainnya. ”Kepastiannya, tunggu klarifikasi dari tim tender dulu,” kata Suroso.
Penelitian yang dilakukan Komite Pemberantasan Korupsi Pertamina berdasarkan laporan itu malah menemukan adanya praktek kongkalikong antara Pertamina dan salah satu pemasok. ”Mayoritas minyak mentah dipasok oleh satu perusahaan, yaitu Global Energy,” kata Koordinator KPKP, Hans Suta Widhya.
Menurut Hans, perusahaan asal Amerika Serikat itu memakai beberapa nama perusahaan dalam setiap tender, yaitu Supreme Energy, InterOil, Mercure, dan Finance Resources. Contohnya, dalam tender Februari lalu, Pertamina membeli delapan kargo, lima di antaranya milik Global Energy: InterOil (satu kargo), Supreme (dua), Finance (dua). Tender November 2004, enam kargo yang dibeli, tiga di antaranya juga dipasok perusahaan itu.
Padahal, kata Hans, berdasarkan harga di pasar, semua kargo yang diambil dari Global Energy terhitung mahal dibandingkan dengan yang lain. Misalnya minyak mentah jenis cossack dan tapis, yang jelas-jelas harganya lebih murah daripada tipe sejenis yang dimenangi milik InterOil dan Supreme. Namun, yang murah diabaikan dengan alasan tidak lolos MPBE. ”Ada permainan dalam tender,” katanya.
Temuan KPKP ini, menurut Hans, sudah dilaporkan ke KPK pada awal April lalu. Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, mengatakan data-data yang dikirim oleh LSM itu masih dikaji oleh timnya. ”Belum masuk tahap penyelidikan,” katanya. Menurut Erry, KPK perlu waktu karena harus menggabungkannya dengan laporan-laporan masyarakat juga tentang Pertamina yang masuk sebelumnya.
Suroso Atmomartoyo mengaku tidak pernah mendengar nama Global Energy. Berbagai perusahaan yang disebut-sebut KPKP berada di belakang Global Energy adalah tidak benar. ”Nama pemiliknya saja beda, bisa dilihat dari dokumen penawaran mereka,” kata Suroso tanpa merinci nama-nama pemegang saham itu dengan alasan lupa. Jadi, Suroso menambahkan, para pemasok ini tidak terkait satu dengan lainnya.
Menurut Suroso, tidak ada kongkalikong antara Pertamina dan pemasok, terutama dengan perusahaan yang disebut-sebut milik Global Energy. Proses pembelian dilakukan secara transparan. Tim tender saat seleksi hanya melihat harga yang ditawarkan, tidak mengintip nama pemasok. ”Yang termurah dan terbaik yang menang,” katanya. Memang, ada protes dari dua importir atas hasil tender. Tapi, begitu dijelaskan, mereka menerima dan memahami keputusan Pertamina.
Menteri Negara BUMN Sugiharto mengaku belum bisa banyak berkomentar soal temuan tim audit itu. Dia punya alasan: belum menerima laporan rinci hasil pemeriksaan. Hanya, katanya, dia sudah meminta Dewan Komisaris Pertamina mengawasi segala kebijakan yang dibuat jajaran direksi terkait pengadaan minyak mentah impor. ”Komisaris yang harus mengawasi hal-hal yang sifatnya mikro seperti itu,” kata Sugiharto.
Stepanus S. Kurniawan, Yura Syahrul, Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo