Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Giliran Guru Mengejar Murid

Pertamina mulai dilampaui para pesaingnya; tidak lincah mengambil keputusan strategis.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap orang yang pernah berkunjung ke Kuala Lumpur, Malaysia, tentu tak melupakan Menara Kembar Petronas yang menjulang di pusat kota. Bangunan setinggi 452 meter itu kebanggaan warga Malaysia—sekaligus simbol kejayaan Petroliam Nasional Berhad (Petronas), perusahaan minyak dan gas milik negeri jiran itu.

Saat ini, perusahaan yang berdiri pada 1974 itu tengah mengenyam sukses. Padahal, jauh sebelum memetik sukses, Petronas acap "berguru" kepada Pertamina. Selanjutnya, prestasi sang murid terus menanjak hingga kini. Bahkan Direktur Utama PT Pertamina (persero) Widya Purnama tak bosan menjadikannya sebagai tolok ukur keberhasilan.

Kini, situasinya memang sudah berbalik. Pertaminalah yang harus mengejar Petronas. "Saya akan membawa Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia mengalahkan Petronas," kata Widya setelah diangkat menjadi direktur utama ada pertengahan tahun lalu. Tekad ini masih terus diucapkannya dalam setiap kesempatan, bahkan ketika rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pertamina pantas "panas hati". Sejak mengalami kesulitan keuangan akibat arus kas yang negatif, perusahaan ini seperti mundur teratur. Sebaliknya, perusahaan minyak yang pernah mengikuti jejaknya—seperti Petronas—justru kian moncer. Bisnis minyaknya merambah ke Suriah, Turkmenistan, Iran, Pakistan, Cina, Vietnam, Myanmar, Algeria, Libya, Tunisia, Sudan, dan Angola.

Menurut analisis EIA, lembaga internasional yang khusus menganalisis bisnis energi, aktifnya bisnis Petronas di luar negeri dipicu oleh kian tipisnya cadangan minyak mentah di Malaysia. Saat ini, cadangan yang tersisa hanya sekitar 3 miliar barel, atau turun 1,3 miliar barel sejak 1996. Dalam jangka panjang, bisnis eksplorasi dan produksi di luar negeri sebetulnya diharapkan bakal menutup penurunan itu.

Toh, sekarang pun usaha ini mendulang hasil yang tak sedikit. Operasi di luar negeri setidaknya meliputi sepertiga dari pendapatan Petronas. Selebihnya, kinerja hulu ditopang pola kemitraan, di antaranya dengan ExxonMobil, Shell, dan Amerada Hess.

Walhasil, produksi minyak mentah Malaysia malah meningkat mencapai 750 ribu barel per hari tahun lalu. Padahal, dua tahun sebelumnya, produksinya hanya 699 ribu barel per hari. Peningkatan itu disumbang oleh pengeboran minyak lepas pantai, yang membuahkan produksi gas alam cair setara 80 ribu barel minyak per hari.

Pada 2003, Petronas mampu mencatat penjualan setara Rp 203,6 triliun dan memetik laba sebelum pajak sekitar Rp 67,2 triliun. Bandingkan dengan Pertamina yang pada saat yang sama membukukan penjualan Rp 206,5 triliun dan laba sebelum pajak dan bagian pemerintah cuma Rp 4,3 triliun.

Namun, keberhasilan ini disikapi dengan bijak. Laju konsumsi bahan bakar minyak justru menurun menjadi sekitar 544 ribu barel per hari. Penyebabnya, pemerintah Malaysia mendorong penggunaan gas alam hingga satu triliun kaki kubik. Akibatnya, negara ini masih mampu menjadi net exportir—karena jumlah ekspor minyak lebih besar daripada impornya—hingga 321 ribu barel per hari.

Meski bukan produsen terbesar, Petronas juga meniti peruntungan di bisnis gas alam. Cadangan gas yang dimiliki adalah 75 triliun kaki kubik, dengan total produksi sekitar 1,7 triliun kaki kubik pada 2002. Bersama Petroleum Authority of Thailand (PTT), Petronas mengelola lapangan gas paling potensial di kawasan Teluk Thailand. Kerja sama ini berlanjut dalam pembangunan jaringan pipa yang menghubungkan kedua negara.

Kontribusi ekspor Malaysia di dunia dapat mencapai 14 persen. Namun, untuk rencana jangka panjang, Malaysia pun membangun pusat pengolahan gas alam cair (LNG) terbesar di dunia, di lapangan Bintulu. Kapasitas fasilitas pengolahannya mencapai 23 juta metrik ton (setara dengan 1,1 triliun kaki kubik) per tahun. Sebagian besar produksi LNG dari fasilitas ini akan dijual melalui kontrak untuk penggunaan di Jepang. Bahkan, pada Agustus tahun lalu, ditandatangani pula kontrak selama 15 tahun untuk pasokan ke Inggris.

Jejaring bisnis itu masih berlanjut karena Malaysia mengekspor pula 150 juta kaki kubik gas per hari ke Singapura melalui pipa. Padahal, negara ini ternyata juga mengimpor gas dari Indonesia. Pada April 2001, Petronas menandatangani kesepakatan dengan Pertamina untuk impor gas dari ladang gas lepas pantai di Blok West Natuna, yang dikelola ConocoPhilips.

Menurut EIA, sepak terjang Malaysia ini menunjukkan ambisi negara itu untuk menjadi pusat persinggahan (hub) lalu lintas pasokan gas alam di Asia Tenggara. Jalan untuk mewujudkan itu kian terbuka karena jaringan pipa sudah semakin lengkap pada pertengahan tahun lalu.

Sebagai pesaing, tindak-tanduk perusahaan minyak negara tetangga itu memang patut diawasi. Tapi, bagaimana dengan perusahaan swasta di negeri sendiri? Para pengamat perminyakan menilai, PT Medco Energy International bisa menjadi pesaing serius bagi Pertamina. "Medco bisa melebihi Pertamina," kata Effendi Situmorang, pengamat per-minyakan.

Perusahaan yang dikuasai oleh keluarga Panigoro ini memang mengundang perhatian pelaku pasar luar negeri. Setelah berhasil mengakuisisi Novus Petroleum Limited (Novus) di Australia dan menjual beberapa blok minyaknya, perusahaan ini berencana menjual 40 persen sahamnya pada Juli mendatang. Penjualan ini akan dilakukan melalui mekanisme penawaran saham kedua (secondary offering) di Bursa Saham London.

Padahal, awal tahun ini, keluarga Panigoro baru saja berhasil kembali menguasai perusahaan yang berdiri sejak 1980 itu melalui pengambilalihan 59,9 persen saham New Links—sebelumnya dimiliki PTTEP Thailand dan Credit Suise First Boston. Panigoro kini pemegang saham pengendali tidak langsung melalui New Links, yakni 85,51 persen.

Menurut Presiden Direktur Medco Energy Hilmi Panigoro, seperti dikutip Dow Jones, penjualan saham itu diharapkan bisa menghimpun dana sekitar US$ 1,5 miliar. Sebagian untuk membayar utang, sebagian lagi untuk ekspansi usaha. Medco menargetkan produksinya akan meningkat 10 persen menjadi 154 ribu barel per hari tahun ini—bandingkan dengan Pertamina yang 142 ribu barel.

Effendi menilai, dinamika bisnis yang ditunjukkan Petronas dan Medco Energy sangat lazim di dunia perminyakan. Suatu perusahaan minyak akan semakin mantap posisinya jika mampu menguasai dan menyatukan sektor hulu dan hilir. Itulah yang terjadi pada raksasa minyak dunia seperti BP, Shell, atau ExxonMobil.

Sebaliknya, jika suatu perusahaan besar berkukuh untuk bertahan sendirian, lambat laun dia akan dicaplok perusahaan lain. Effendi mencontohkan akuisisi Unocal oleh ChevronTexaco belum lama ini. Sayangnya, tren ini tidak bisa diikuti oleh Pertamina di era Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi terbaru. "Sektor hulu dan hilir justru menjadi unit usaha yang terpisah. Indonesia malah berbalik arah."

Pola jual-beli saham di pasar dunia juga merupakan suatu cara untuk menghimpun modal kerja dalam waktu singkat. Inilah yang membedakan Medco Energy dengan Pertamina. Kelebihan lainnya: "Medco memiliki sistem yang tidak rumit dan relatif bersih dari perilaku birokrat," ujar Effendi.

Struktur Pertamina yang terlalu besar dengan prosedur berbelit-belit membuat perusahaan tidak lincah dalam mengambil keputusan strategis. Menurut Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone, perusahaan sulit efisien karena setiap kegiatan di sektor hilir dijamin penggantiannya oleh pemerintah. "Kapal tanker memperbaiki baling-balingnya pun akan diganti pemerintah."

Toh, pengamat lain, Kurtubi, menganggap pergantian undang-undanglah yang memandulkan Pertamina secara perlahan-lahan. Padahal, sistem yang dirumuskan dalam undang-undang lama diadopsi oleh Malaysia dan diterapkan pada Petronas. Sistem ini, kata Kurtubi, dilaksanakan secara konsisten, dan Petronas kini jauh di atas Pertamina.

Sementara itu, Direktur Hulu Hari Kustoro menampik anggapan bahwa Pertamina bakal kalah bersaing dengan perusahaan lain. Buktinya, perusahaan berlambang kuda laut itu masih menduduki peringkat kedua sebagai produsen minyak dan penghasil gas terbesar nomor tiga di Indonesia.

Lagi pula, meski produksi Pertamina rata-rata hanya 100 ribu barel, jumlah itu bisa dipertahankan selama berpuluh tahun. "Industri minyak dan gas seharusnya dilihat dalam kacamata jangka panjang," kilahnya. Bagaimanapun, data sudah menunjukkan betapa Petronas dan Medco jauh lebih lincah ketimbang Pertamina. Tak perlu mencari contoh lain seperti BP atau ExxonMobil.

Dara Meutia Uning

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus