P[LIH menjadi wartawan atau pegawai negeri? Pertanyaan itu kini menghinggapi benak banyak pegawai negeri. Penyebabnya: surat edaran Mentei Dalam Negeri kepada para gubernur dan bupati diseluruh Indonesia 18 Januari lalu. Di situ antara lain tertera, "Pada prinsipnya pegawai negeri tidak diperkenankan merangkap sebagai wartawan." Padahal, selama ini cukup banyak pegawai negeri -- terutama di daerah -- yang merangkap menjadi wartawan. Malah banyak di antara mereka yang menjadi pimpinan PWI cabang. Di lingkungan Departemen Penerangan misalnya, banyak karyawan di bagin Pemberitaan RRI dan TVRI yang melakukan tugas sebagai wartawan. Di beberapa surat kabar yang dekat dengan pemerintah atau pemerintah daerah, sebagian besar wartawannya malah berstatus sebagai negeri. Namun, tampaknya tidak semua mereka bakal terkena larangan tersebut. Yang jelas tersenggol rupanya karyawaan Departemen Dalam Negeri. Surat edaran yang ditandatangani Sekjen Departemen Dalam Negeri Aswismarmo tersebut sebenarnya masih membuka peluang buat pegawai negeri merangkap sebagai wartawan. Sebab, di situ juga dinyatakan, "Sepanjang ada tenaga pegawai negeri dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas kewartawanan, lebih dulu diperlukan izin dari atasan yang berwenang." Instruksi itu sendiri sebenarnya hanya bagian dari petunjuk kepada para kepala daerah untuk hanya melayani wartawan yang anggota PWI, yang dikeluarkan dalam upaya mendukung PWI menertibkan anggotanya. Sebuah sumber di Departemen Dalam Negeri menjelaskan, larangan itu lebih bersifat preventif. "Pegawai negeri sebagai abdi negara yang banyak mengetahui dan menyimpan rahasia negara, kalau merangkap profesi lain, dikhawatirkan akan tergoda menyampaikan informasi yang seharusnya dirahasiakan, disengaja atau tidak." Ketentuan itu rupanya juga dikaitkan dengan displin pegawai negeri. "Bayangkan, kalau pada saat yang bersamaan ia harus mengerjakan tugas sebagai pegawai negeri dan wartawan. Mana yang harus didahulukan?" kata sumber yang sama. Para pegawai negeri yang merangkap bekerja sebagai wartawan kebanyakan bekerja di bagian hubungan masyarakat. Umumnya mereka merasa senang dengan kerja rangkap ini. "Terus terang, menjadi wartawan Korpri itu enak, dapat gaji dobel, dan disegani di kalangan pegawai negeri lainnya," ujar seorang staf humas di suatu pemda kabupaten di Jawa Tengah, yang merangkap bekerja sebagai wartawan Suara Merdeka. Menurut dia, biaya operasional untuk reporting hampir nol, karena setiap bupati ada acara, ia diikutsertakan. Yang lebih menggembirakan, "Jika Bapak Bupati berkenan, atau instansi lainnya di pemda merasa dipromosikan, tak henti-hentinya saya disalami. Enaknya lagi, hubungan dengan atasan lancar." Ia mengakui, sebagai wartawan ia tidak bersikap profesional, karena hanya memberitakan yang baik-baik saja. "Saya memang wartawan humas," tuturnya. Bila diharuskan memilih, ia memilih tetap menjadi pegawai negeri ketimbang menjadi wartawan. "Untuk jaminan masa depan, karena pegawai negeri bisa mendapat pensiun," katanya. Sikap serupa juga diambil H.S.A. Jussacc, Kepala Humas Pemda Provinsi Jawa Barat yang merangkap Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, dan Penanggung Jawab harian Bandung Pos. "Kalau tidak boleh menjadi wartawan, ya berhenti saja. Apa susahnya," katanya. Bandung Pos yang mempunyai oplah sekitar 15 ribu dikenal sebagai media milik Pemda Provinsi Ja-Bar. "Saya ditugasi Gubernur Ja-Bar sebelumnya, Aang Kunaefi, mengelola media itu," ujar Jussacc yang juga menjadi anggota Fraksi Karya DPRD Provinsi Ja-Bar. Meski berstatus pegawai negeri, Jussacc mengaku masih bisa menulis berita yang obyektif. "Kami tidak rikuh meliput berita yang menyangkut pemda, asal tentu saja dalam batas-batas tidak merusakkan wibawa pemda dan mengganggu stabilitas dan kelancaran pembangunan," katanya. Jussacc menyambut baik instruksi Mendagri itu, dan menduga sasarannya terutama pada reporter. "Selama ini banyak reporter yang merangkap pegawai negeri meninggalkan tugasnya sebagai pegawai negeri," ucapnya. Tidak semua pegawai negeri-wartawan ingin meninggalkan dunia jurnalistik. Yayat Hendrayana, 43, wartawan Pikiran Rakyat Bandung yang juga memimpin dwimingguan Galura (berbahasa Sunda), menyambut gembira instruksi itu. "Saya akan bisa benar-benar lepas dari status pegawai negeri dan bisa seratus persen mencurahkan perhatian pada dunia jurnalistik," ujar Yayat, yang masih tercatat sebagai pegawai Kota Madya Bandung golonan II C itu. Yayat, yang merangkap Sekretaris Fraksi Karya DPRD Kota Madya Bandung, saat ini juga menjabat Ketua PWI Ja-Bar. Ia mengaku telah berkali-kali mengajukan pengunduran diri sebagai pegawai pemda, tapi selalu ditolak. Setiap bulan ia masih menerima gaji pegawai negerinya. Bila instruksi Mendagri masih memberi peluang buat perangkapan jabatan, sikap Pemda Ja-Teng lebih tegas. Tiga tahun lalu, 2 Maret 1983, Sekwilda Ja-Teng atas nama Gubernur Soepardjo Rustam (waktu itu) menginstruksikan pada semua bupati dan wali kota di provinsinya, agar para pegawai negeri yang bertugas di bagian humas dilarang melakukan tugas sebagai wartawan. Mereka yang melanggar peraturan ini diancam dengan sanksi. Namun, tampaknya instruksi ini tidak sepenuhnya dilaksanakan, karena ternyata masih banyak petugas humas yang merangkap wartawan. PWI tampaknya tidak terpengaruh instruksi itu. PWI menentukan, tidak ada batasan untuk menjadi wartawan, termasuk pegawai negeri. "Sepanjang pegawai negeri tersebut mendapat izin atasan yang berwenang," kata Zulharman Said, Ketua Umum PWI Pusat. Siapa saja bisa menjadi wartawan, asal bertanggung jawab, dan memperoleh kepercayaan dari pemimpin redaksinya. Kepercayaan itu berupa pengangkatan dan penunjukan sebagai wartawan. "Untuk PWI, legalitas menjadi wartawan bersumber pada pemimpin redaksi," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini