DUA bulan sesudah latihan perang di Teluk Sidra, Januari silam, Armada VI Amerika kembali memasuki perairan terlarang itu Ahad pekan lalu. Dalihnya: latihan perang-perangan lagi. Tiga kapal induk USS Saratoga, Coral Sea, dan America mendekati ambang sengketa dan beberapa jam kemudian sejumlah pesawat tempur sudah melewati "garis maut" imajiner ciptaan pemimpin Libya Muammar Qadhafi. Terentang antara Kota Misratah di sisi timur dan Kota Benghazi di sisi barat Teluk Sidra, garis yang merupakan tapal batas air dan udara itu menandai wilayah kedaulatan Libya. Penerobosannya dengan sengaja tak bisa lain berarti perang. Dan memang itulah yang diingini Amerika, terutama sejak November 1985 ketika Uni Soviet memasang sejumlah rudal SAM-5 (SA-5) di sana. Januari lalu, Qadhafi sengaja berdiri di geladak kapal patroli untuk menegaskan perlawanannya terhadap Amerika, tapi pekan lalu ia menggempur musuh perkasa itu dengan tembakan rudal SAM-5. Tipe rudal jarak jauh yang mempunyai daya jangkau 300 km ini ternyata tidak pas untuk medan seluas 320 km2. Lalu dicoba rudal SA-2 jarak dekat, tapi ini pun gagal. Sumber-sumber AS memperkirakan ada 6-10 rudal yang ditembakkan Libya, tapi Menteri Pertahanan Caspar Weinberger memastikan jumlahnya tidak lebih dari enam. Sebagai tindakan balasan, pihak AS menembakkan rudal Harpoon dari pesawat tempur An-6 ke arah sebuah kapal patroli Libya. Digasak oleh rudal udara ke darat itu kapal segera terbakar dan tenggelam. Sasaran lain adalah tempat peluncur SAM-5, yang digempur rudal HARM pada hari itu juga. Dan Amerika mencatat kemenangan ketiga ketika sebuah kapal patroli Libya dikuburkan lagi ke kancah Sidra. Keesokan harinya perang modern itu kembali diungguli AS dengan menghancurkan dua kapal patroli dan menembaki instalasi radar Libya. Maka, Qadhafi pun bersumpah, "Jika Amerika meningkatkan peperangan, kami siap melayani mereka di mana saja di dunia." Ditegaskannya, "sekarang ini waktu perang, waktu konfrontasi. Ingat, Teluk Sidra itu punya kami.' Amerika bukan tidak tahu klaim Qadhafi yang sejak tahun 1973 menetapkan bahwa seluruh perairan Teluk Sidra yang merentang seluas 320 km2 merupakan wilayah Libya. Ini berarti Libya bukan lagi menerapkan garis laut sejauh 12 mil tapi 24 mil. Sampai kini klaim Libya tidak mendapat pengakuan internasional, tapi sebegitu jauh cuma Amerika -- pemerintahan Reagan khususnya -- yang gemar memancing-mancing ketegangan di kawasan itu. Tampaknya Washington puas dengan hasil pancingan pekan lalu. Tatkala masyarakat dunia bersiap-siap menyambut kejutan lain dari perang rudal ini, tiba-tiba saja Amerika menarik mundur Armada VI, Kamis silam. Presiden Ronald Reagan menyampaikan pujian kepada satuan tugas yang mencakup 45 kapal dan 250 pesawat tempur itu dan "kalau perlu aksi-aksi serupa bisa dilanjutkan kapan saja." Apa maksudnya? Sejak mula harus diakui bahwa Libya bukan lawan yang pantas untuk sebuah armada Amerika. Pertempuran sangat tidak seimbang. Bagaikan Goliath dan David, AS seumpama raksasa yang menurut Senator Mark Hartfield telah terlibat dalam permainan anak-anak dengan Libya. "Saya tidak mengerti apa yang ingin kita buktikan dengan mempertaruhkan jiwa tentara Amerika," kata senator dari Oregon itu. Pentagon tentu tidak sependapat dengan Hartfield. Bentrokan Sidra kabarnya sengaja direncanakan, terutama karena Washington mendengar adanya ancaman Libya terhadap warga Amerika di Timur Tengah dan Eropa Selatan. Tak pelak lagi, Qadhafi harus diberi pelajaran. Sekalipun begitu, beberapa pengamat bertanya mengapa Reagan tidak lebih dulu meminta persetujuan Kongres sebelum perang dilancarkan ? Dante Fascell malah memastikan tindakan pemerintahan Reagan sudah melanggar Resolusi Kekuatan Perang dari tahun 1973. Melihat situasi Sidra, Ketua Komite Luar Negeri Dewan Perwakilan AS ini berpendapat, perang lawan Libya itu bisa saja meningkat dan membahayakan. Manakala rakyat Libya melampiaskan sakit hati mereka dengan menggambarkan Reagan sebagai Dracula ataupun Tarzan -- sedangkan Menlu Shultz dan Menhan Weinberger masing-masing sebagai monyet -- di Amerika, banyak orang berlomba-lomba menemukakan analisa mereka. Kalangan militer, misalnya, yakin sekali bahwa insiden Sidra hanya satu arena uji coba untuk persenjataan teknologi canggih yang sangat tinggi biayanya. Komando Staf Gabungan Laksamana William Crowe mengatakan hasil yang dicapai sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sejumlah perwira senior bicara lebih spesifik. Menurut mereka, kedua rudal jelajah udara ke darat Harpoon senilai US$ 625.000 dan HARM seharga US$ 219.000 telah mencatat prestasi gemilang hingga biaya pembuatannya yang begitu besar tidak terbuang percuma. Di samping itu sebagian pengamat condong menghubungkan serangan AS dengan dendam kesumat Reagan terhadap Qadhafi. Dendam itu yang berkibar-kibar sejak penyerangan kembar ke bandar udara Roma dan Wina, Desember 1985, agaknya cuma terobati kalau pemimpin Libya ini diberi pelajaran tata krama internasional. Sekalipun begitu, banyak yang berpendapat sasaran itu tidak tercapai. Di mata mereka kekalahan Libya justru telah melambungkan Qadhafi sebagai pahlawan bagi rakyatnya. Dunia Arab bersimpati kepadanya, sedangkan Moskow menunjukkan rasa setia kawan. Dalam perang Sidra, menurut Gorbachev, Amerika sudah memperagakan watak banditnya. Ia mengisyaratkan supaya AS undur kalau tidak, Soviet juga akan membangun armada yang kuat di Laut Tengah. Sementara itu, para pemlkir di dunia Arab menilai, petualangan AS di Sidra semata-mata dimaksudkan mencari peluang agar bisa mengetahui data ketahanan dan keampuhan rudal Soviet SAM-5. Washington tergoda untuk mengetes rudal itu, lalu berdasar data teknis yang diperoleh kemudian akan membuat senjata penangkisnya. Isma Sawitri Laporan A. Dahana (Hawaii) & P. Nasution (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini