GETAH penjualan saham Indomobil masih bermuncratan ke mana-mana. Kini, giliran majalah Kapital yang terkena imbasnya. Pada 1 Januari lalu, majalah berita ekonomi terbitan Jakarta itu ternyata telah diadukan ke Mahkamah Agung. Yang melayangkan surat pengaduan adalah David Tobing, kuasa hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tuduhannya sungguh sebuah aib: Kapital dituduh telah memperdagangkan berita untuk menghantam kredibilitas KPPU.
David tak sembarang melapor. Sebagai bukti, dalam suratnya ia melampirkan seberkas dokumen bertajuk "Proposal Cover Story Menggugat KPPU" yang langsung diteken Syahmuharnis selaku Wakil Pemimpin Redaksi Kapital. Selain itu, juga disertakan Kapital terbitan Agustus 2002, yang diyakini David merupakan realisasi dari proposal itu. Ketika itu, majalah bulanan bertiras 15-30 ribu eksemplar ini memuat laporan sampul (cover story) berjudul "Lembaga Anti-Monopoli Terancam Bangkrut". Isinya berkisah tentang para pengusaha yang ramai-ramai menggugat KPPU ke pengadilan.
"Kami menduga ini bagian dari persekongkolan untuk mendiskreditkan KPPU," kata David. "Kami tidak ingin pembentukan opini publik seperti ini mempengaruhi putusan hakim." Ketika proposal itu disusun, perkara Indomobil memang masih diperiksa majelis kasasi Mahkamah Agung.
Agustus lalu itu, KPPU baru mengajukan memori kasasi. Badan antimonopoli ini mengajukan keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatalkan keputusan mereka sebelumnya, yang menyatakan telah terjadi persekongkolan dalam tender penjualan saham PT Indomobil Sukses Makmur Tbk. senilai Rp 625 miliar di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pihak-pihak yang dinyatakan ikut terlibat adalah sejumlah perusahaan besar seperti PT Trimegah Securities selaku penasihat keuangan investor, PT Cipta Sarana Duta Perkasa selaku investor, PT Deloitte & Touche FAS sebagai penasihat keuangan BPPN dalam transaksi ini, dan PT Holdiko Perkasa, perusahaan penampung aset eks Grup Salim yang diserahkan ke negara.
Melibatkan berbagai korporat gemuk seperti itu, ditambah lagi dengan membaca proposal Kapital, Harnis?begitu Syahmuharnis disapa?memang jadi seperti seorang penjual yang sedang menawarkan jasa. Misalnya, ditulis dalam proposal itu, "Sebagai media massa beroplah cukup besar... Kapital bisa menjadi wahana efektif dan efisien untuk membantu para pihak dalam 'perang opini' ini."
Tak cuma itu. Di bagian tujuan, ia juga terang-terangan berpromosi bahwa pembuatan liputan itu adalah untuk "mementahkan berbagai keputusan KPPU" dan "membangun opini publik bahwa transaksi Indomobil sah, tidak menyalahi prosedur apa pun".
Satu paket dengan itu, juga diuraikan secara terperinci format penulisan, narasumber yang akan diwawancarai, sampai jadwal kerja?mulai dari peliputan, pencetakan, hingga promosi. Tak lupa, pun dijanjikan bahwa 2.500-3.000 eksemplar Kapital edisi itu akan dibagikan gratis ke anggota parlemen, kantor pusat enam partai besar, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, MA, anggota kabinet, dan berbagai pihak lain, termasuk kalangan perguruan tinggi. Pokoknya, ibarat di warung indomi, ini menu komplet pakai telor-kornet.
Dan tentu saja ini bukan kerja bakti yang hanya berakhir dengan ucapan terima kasih. Di proposalnya, Harnis juga terang-terang mencantumkan "harga". Tertulis di situ, biaya pendukung yang diperlukan adalah Rp 130 juta (separuh dari total biaya cetak Kapital,/I> tiap edisinya).
Harnis mengaku memang telah menyusun proposal itu. Tapi ia menyanggah anggapan telah menabrak kaidah jurnalistik yang paling prinsipiil: memperjualbelikan berita bagi kepentingan pihak tertentu. "Kami hanya ingin membuat pemberitaan yang berimbang, yang bisa menampung aspirasi berbagai pihak terkait," katanya.
Menurut dia, selama ini pemberitaan media dalam kasus Indomobil?meminjam kritik Presiden Megawati?terkesan jomplang, dan amat didominasi informasi dari sisi KPPU saja. Karena itulah ia merasa perlu menurunkan liputan yang juga menampung pendapat para pengusaha secara lebih obyektif. Itu pun disajikannya secara berimbang. Dari 11 halaman tulisan yang diturunkan, tak satu pun yang memojokkan KPPU.
Lagi pula, katanya berkilah lagi, "Proposal itu hanya gagasan internal, dan eksekusinya dilakukan sesuai dengan kaidah jurnalistik. Jadi, tidak ada salahnya kami tawarkan kemungkinan bantuan dari berbagai pihak terkait." Bantuan yang dimaksud, masih kata Harnis, adalah seperti pemasangan iklan dan pembelian majalahnya dalam jumlah tertentu.
Entah apa ada kaitannya dengan bantuan yang dimaksud Harnis, di Kapital edisi itu memang muncul satu halaman iklan Trimegah. Tapi Direktur Trimegah, Pieter Tanuri, membantah itu terkait dengan proposal Harnis. Menurut dia, perusahaannya tak hanya beriklan di Kapital, tapi juga di banyak media lain. "Apakah dengan memasang iklan, kami bisa seenaknya menentukan isi berita? Wartawan kan paling susah diatur," kata Pieter. Senada dengan Pieter, Harnis mengatakan, jauh sebelum edisi KPPU diterbitkan, Trimegah memang sudah punya komitmen beriklan di Kapital setahun penuh.
Dan ternyata, tak cuma KPPU yang dibuat gerah dengan sepak terjang Harnis. Proposal itu kini juga memantik pertentangan di tubuh Kapital sendiri. Nasir Tamara, yang pada Agustus lalu masih menjabat Pemimpin Redaksi Kapital, jelas-jelas menyatakan ketidaksetujuannya. Menurut Nasir, proposal itu dibuat tanpa setahu dia dan mencemarkan profesi wartawan. "Saya sangat keberatan dan menolak cara seperti itu. Ini bukan cara-cara jurnalistik," katanya. Ia mengaku bersyukur KPPU menelanjangi praktek yang mestinya diharamkan para juru warta itu. "Biar jadi pengetahuan umum, supaya pers bisa berbenah diri," ujarnya lagi.
Tak cuma Nasir yang protes. Menurut sumber TEMPO di Kapital yang gerah dengan praktek semacam ini, banyak awak lain seperti dirinya yang juga kecewa. Terlebih lagi, menurut dia, proposal model begini bukan sekali itu saja terjadi. Sebelumnya, proyek laporan sampul serupa pernah dilakukan untuk mengangkat citra perusahaan tertentu. "Semacam kegiatan kehumasan-lah," katanya. Tarifnya bervariasi, dari Rp 50 juta hingga Rp 80 juta untuk sekali tampil. Dan hasilnya ternyata tak pernah masuk ke kas Kapital.
Lagi-lagi, kabar miring itu dibantah Harnis. "Itu tuduhan dari orang yang tidak suka saya," katanya. "Silakan tanya ke pihak-pihak yang pernah dijadikan cover story, apa pernah mereka memberi imbalan atas pemberitaan kami."
Di luar soal bantah-berbantah itu, di mata Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, mencuatnya persoalan ini penting untuk membuka diskusi tentang status media. Sebagai sebuah media pers, proposal Harnis jelas merupakan sesuatu yang tak lazim. Semestinya, sebuah lembaga pers harus mandiri, dengan membiayai semua ongkos produksinya sendiri. Kalau sudah minta biaya cetak kiri-kanan, kemudian isinya mempromosikan pihak tertentu, media semacam itu, menurut Atma, mestinya berubah status menjadi media promosi internal saja. Lebih lagi, kalau isinya sudah konfrontatif, partisan, dan memihak golongan tertentu, kategori media promosi pun tak lagi bisa dipakai. Karena, kata Atma lagi, "Itu biasanya dilakukan oleh pamflet."
Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini