SEPASANG suami-istri bersitegang. Di Pasar Swalayan Permata Hijau, Jakarta V Selatan, sang istri memaksa beli susu Dancow. Suaminya melarang dan minta diganti dengan susu Frisian Flag. "Jangan beli yang meragukan," kata si suami. Tak hanya itu. Mereka juga mengganti Indomie dengan Supermie. Di Gelael Dago, Bandung, banyak pembeli lari ke susu cap Bendera, Sarimie, dan Supermie. Sementara itu, di banyak kota, pembeli kecap mengalihkan sasarannya pada kecap cap Korma, cap Penjual Sate, atau cap Lombok. Aksi boikot dan arus ganti makanan itu merupakan reaksi terhadap isu lemak babi yang meletup belakangan ini. Semuanya bersumber dari penelitian Dr. Ir. H. Tri Susanto, M.App.Sc., dosen Teknologi Pangan Universitas Brawijaya, Malang. Tri dan sejumlah mahasiswanya mencatat ada 34 jenis makanan dan minuman yang memakai gelatin, shortening, lari (minyak babi), dan alkohol. Gelatin adalah protein yang berasal dari rebusan organ hewan, termasuk kulit dan tulang babi. Dengan gelatin, sirop dan kecap menjadi emulsif, merata kekentalannya tanpa mengendap. Permen, agar-agar, cokelat, jely, dan es krim memerlukannya agar tetap kenyal dan lembut. Sementara itu, shortening adalah semacam margarin yang bisa dibikin dari lemak hewan atau tumbuhan, antara lain untuk mempergurih roti, kue biskuit, dan crackers. Untuk ini, di Indonesia banyak dipakai minyak sawit (TEMPO, 5 November 1988). Repotnya, pengkajian Tri dipalsukan orang. Daftar makanan dan minuman -- yang pernah dimuat di buletin Senat Fakultas Peternakan Unbraw Canopy edisi Januari 1988 itu -- bertambah menjadi 63 merk. Beberapa produk yang sedang laris juga ada di daftar palsu, termasuk Dancow, Klim, Indomie, kecap ABC, dan kecap Bango. Lalu pertengahan Oktober lalu, beberapa koran memuat daftar yang sudah diperpanjang itu. Juga muncul selebaran yang bahkan mencantumkan ke-63 produk itu sebagai barang "haram". Heboh. Padahal, Tri sendiri tak memastikan ke-34 produk itu mengandung babi. Ia menyebutnya syubhat alias meragukan. Alhasil, isu terlanjur merebak kesana-kemari. Akibatnya, penjualan beberapa produk menurun drastis, mirip pemboikotan tembakau di Iran seabad silam. Produsen Indomie, PT Sanmaru Food Manufacturing (SFM), dihajar jotosan yang lumayan keras. Pekan lalu, salah satu pabrik Sanmaru di Talang Kelapa, Palembang, mengurangi giliran kerja 500 karyawan mereka, dari 3 kali sehari menjadi 2 kali. Jam kerja pun dikurangi. Ini berarti, 200 pegawai harian lepas boleh bersantai-santai. Padahal, biasanya mereka mampu membuat 20 ribu dos (isi 40 bungkus) sehari. Tapi penjualannya seret. Antara tanggal 20 dan 25 Oktober lalu, produk di salah satu (dari lima) pabrik Indomie itu turun hingga 3.500 dos saja sehari. Di Jakarta, Hendy Rusli, Direktur Utama SFM yang setiap bulannya menghasilkan 40 juta bungkus mi kering dengan berbagai rasa ini, mengatakan pada TEMPO bahwa secara umum penjualan mereka turun 20-30 persen. Malah, di beberapa daerah Sumatera sampai Oktober lalu penjualan turun 50 persen. Di sebuah daerah di Aceh, pengiriman Indomie macet berhubung mobil mereka dilempari penduduk setempat. Di pabrik kecap ABC, para pekerja pulang 3 jam lebih awal. Lembur pun tak ada lagi. Menurut Kepala Bagian Pemasaran PT ABC Central Food Industry, Vincent, produksi dan pemasaran kecap ABC turun 40%-50%. Itu pengamatan jangka pendek. "Untuk jangka panjang, kami belum bisa memberikan kepastian," kata Vincent pada Ardian T. Gesuri dari TEPO. Normalnya, ABC memproduksi 200 ribu liter kecap sebulan, terdiri dari berbagai kemasan produk dan rasa. Kecap Bango tertimpa musibah yng sama. Pemasaran kecap yang didirikan Tjoa Pit Boen pada 1928 ini, menurut direkturnya, Eppy Kartadinata, sempat anjlok 20%. Pada kondisi normal, Bango membuat 150-200 lusin botol seari. "Akibatnya, stok kecap sempat menumpuk di gudang sampai 1.000 lusin," kata Dady, Kepala Produksi Bango. Padahal, di hari-hari normal, stok hanya 300-an lusin sehari. Dancow juga kena getahnya. Pada hari pertama dan kedua, tak sekaleng pun Dancow terjual di Jakarta. Tiga distributor mereka tak segan-segan ingin mengembalikan stok dan menunda order. Menurut Anthony F. Walker, Presiden Direktur PT Food Specialities Indonesia (Nestle) -- yang antara lain memproduksi Dancow, Milo, susu cap Nona -- sampai 1 November lalu, penjualan mereka tinggal 24%. Belakangan, para produsen makanan itu berpromosi mati-matian. Antara lain mereka membuat iklan, selebaran, pamflet, dan mengundang ulama meninjau pabrik mereka. Maksudnya satu: agar konsumen percaya produk itu tak mengandung babi. Untuk iklan saja, Dancow diperkirakan merogoh kocek sampai sekitar Rp340 juta. Ternyata, ada juga hasilnya. Pada 5 November lalu, penjualan Dancow melesat jadi 67% dari penjualan normal. "Saya yakin, 2-3 pekan lagi penjualan sudah kembali normal," ujar Walker. Belakangan, Nestle malah memberi hadiah kaset lagu anak-anak pada setiap pembelian Dancow. Kecap Bango juga memetik hasil. Belakangan, stok di gudang Bango turun, menjadi sekitar 600 lusin. Perbaikan penjualan juga tampak, seperti di pasar swalayan Hero Mampang Prapatan, Jakarta. Menurut Krisnanto W., Store Manager di situ, penjualan Dancow, misalnya, naik dari 60 kaleng pada periode ramainya isu babi (21-30 Oktober) menjadi 480 kaleng pada periode pascapengumuman pemerintah (30 Oktober sampai 13 November). "Sebelum isu, penjualan Dancow mencapai 900 kaleng," katanya pada G. Sugrahetty dari TEMPO. Adapun kecap ABC dan cap Bango, yang semula turun dari 40 dos dan 47 dos (masing-masing isi 12 botol) menjadi 5 dos dan 5 dos (ketika isu ramai), kini naik lagi menjadi 20 dos dan 28 dos. Sejauh ini baru merekalah yang membantah dan memberikan reaksi. Beberapa produk yang masuk daftar asli, seperti biskuit Regal, Nissin, cokelat Nik-Nak, permen Mentos, dan Polo, entah mengapa sampai pekan ini belum terdengar beritanya. Begitu pula sabun colek yang kabarnya lolos dari campuran lemak babi. Syaiq Basri dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini