Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Cerita Mafia Asuransi

Komplotan mafia asuransi diadili di PN Ambon. 5 terdakwa dituntut 5 sampai 20 th penjara. Pelaku Utama Benny Mulyanto. Yang lainnya, Made Ratmana, jhon wuryadi & pengusaha india. 2 korban tak berdosa dibunuh.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARINGAN mafia asuransi yang melibatkan empat orang pengusaha -- dua warga negara India seorang perwira menengah Polri, dan seorang dokter kehakiman semakin terang. Komplotan itu, menurut jaksa terbukti telah membunuh dua orang korban untuk menggaet santunan asuransi US$2,8 juta (Rp4,8 milyar) dan 500 ribu franc (Rp145 juta). Sebab itu, dalam sidang di Pengadilan Negeri Ambon pekan lalu, jaksa menuntut lima dari empat belas terdakwa dengan hukuman 7 tahun sampai 20 tahun penjara. Satu-satunya terdakwa yang mendapat tuntutan maksimal 20 tahun adalah pengusaha pompa bensin Yogyakarta, Benny Mulyanto, yang memodali kejahatan itu bersama tiga pengusaha India di kota itu, Ashok Punjabi, Haresh Manwani, dan Vijay Mulani -- ketiganya belum disidangkan. Selain ketiga orang itu, tersangka Mayor Pol. Drs. Made Ratmara, Kasubdit Serse Umum merangkap Komandan Provost di Polda Maluku, juga masih akan disidangkan di Mahkamah Militer Ambon. Menurut Jaksa, adalah Benny Mulyanto, Januari 1987, yang menawarkan ide jahat itu kepada ketiga pengusaha keturunan India tadi. Mereka sepakat menanggung dana bersama-sama. Benny 40 persen, sisanya ditanggung ketiga orang tersebut. Sementara itu, Benny mencari orang yang akan diasuransikan. Terpilih Dwi Suroso, karyawan Benny sendiri, yang kemudian diubah namanya menjadi Bambang Wicaksono. Selain itu, Benny juga meminta bantuan Mayor Made Ratmara dan seorang dokter kehakiman yang juga dosen FK UGM, dr. John Wuryadi, untuk mengamankan operasi itu dan mengurus surat keterangan kematian korban. Seorang komplotan Benny, Gregorius Ustanto, menyulap Dwi Sursoso menjadi Bambang Wicaksono. Untuk itu, Ustanto mengusahakan KTP baru atas nama Bambang dan sekaligus memasukkan nama tersebut di dalam kartu keluarganya. Selain mendapat nama baru, "Bambang" juga disulap menjadi orang kaya dan ketua Yayasan Sosial dan Pendidikan Karya Bhakti Wicaksono. Dengan status baru dan jaminan ketiga pengusaha India tadi, Dwi atau Bambang diasuransikan ke Vita Life Insurance, PT Asuransi New Hamsphire Agung, PT Maskapai Asuransi Nasuha, The Great Eastern Life Insurance Company Ltd., dan pada Winterthur Life Insurance -- dengan total pertanggungan 2,8 juta dolar AS dan 500 ribu franc. Karena Bambang tak punya keluarga, dibuat pula akta notaris yang menunjuk Benny Mulyanto, selaku wakil ketua yayasan, sebagai ahli waris. Rencana pun dimatangkan. Untuk itu Made khusus datang ke Yogya. Dalam sebuah rapat di kota itu, Made mengucapkan tekad: "Siapa pun yang mundur atau berhenti akan mati. The show must go on," katanya. Dari komplotan, ia menerima biaya operasinal Rp50 juta serta sebuah mobil Toyota Corolla DX. Sementara itu, anggota komplotan lainnya, Kadaryono alias Haryo, mendapat seorang calon korban, Untung, seorang tukang semir di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Pada November 1987, Haryo bersama Bambang membawa anak malang itu ke Ambon. Di situ kelompok Made, yang terdiri dari Tata, Bernadus Kakiay, dan Abraham Sapacua, mengeksekusi Untung di Laut Seram. Mayatnya ditenggelamkan. Tapi beberapa hari kemudian, ketika akan diambil, mayat itu hilang. Mungkin terbawa arus. Gagal dengan korban pertama, komplotan tersebut mencari korban baru. Seorang lelaki buta huruf, Sukir, asal Muntilan, Jawa Tengah, diberangkatkan pula ke Ambon. Tapi ia lolos dari maut. Di perahu, ketika disuruh meminum tiga buah pil obat antimabuk -- yang sebenarnya valium -- Sukir hanya menelan sebuah. Sisanya dia buang. Berkat kecerdikan itu ia selamat, dan malah dipulangkan ke Jawa. Setelah dua kali gagal, komplotan itu kembali menyusun strategi baru di Hotel Sahid Garden Yogyakarta. Salah seorang di antara mereka, dr. John, mengusulkan agar Dwi Suroso alias Bambang Wicaksono saja yang dilenyapkan. Tapi Benny tak setuju. Sebab itu, terpaksa dicari korban baru. Pilihan jatuh kepada Yusak Susilo, anak penjual bakmi di Solo. Yusak, yang hanya berpendidikan kelas III SD itu, diterbangkan ke Ambon. Di situ, setelah dompetnya diisi KTP Bambang, pada 4 Januari 1977, ia dibawa dengan speedboat ke tengah laut dan dibunuh. Mayatnya ditenggelamkan dengan batu pemberat di laut Tetunate, Seram Barat, Maluku Tengah. Pada hari kelima, mayat korban yang telah membusuk diambil lagi dan diletakkan di pantai dekat Desa Tetunate. Maksudnya, agar mayat ditemukan penduduk dan disangka seolah-olah korban mati tenggelam. Polisi yang memerika kasus itu, sebelum mayat dikuburkan, mengirimkan paru-paru korban ke Labkrim Ujungpandang. Beberapa hari kemudian, Gregorius Ustanto, disertai Mayor Made Ratmara, datang ke Seram dan mengurus visum kematian Bambang dari puskesmas serta polisi setempat. Berdasarkan surat itu, Benny mengajukan klaim asuransi atas nama Bambang. Pihak asuransi tak sebodoh itu. Kecurigaan atas kematian Bambang itu mereka laporkan ke Mabes Polri. Seorang perwira penyidik dari Mabes Polri, Mayor Drs. Alex Bambang Riatmodjo, S.H., diam-diam berangkat ke Ambon untuk mengusut kasus itu. Temuan Alex, Maret lalu, menggemparkan. Cerita kematian Bambang itu ternyata hanya skenario para mafia. Panjang mayat Bambang, ketika dibongkar lagi, ternyata 160 cm. Padahal, pada data asuransi, tinggi Bambang tercatat 155 cm. Belakangan hasil Labkrim Ujungpandang memastikan bahwa korban mati bukan karena tenggelam. Komplotan mafia asuransi itu pun digulung Mabes Polri. Tapi Vijay Mulani, Hares Manwani (keduanya warga negara India), dan Ashok Punjabi keburu kabur ke negeri leluhur mereka, India. Baru tiga bulan kemudian, didampingi Pengacara Amir Syamsuddin, mereka menyerahkan diri ke Mabes Polri. Pengacara Amir Syamsuddin membantah ketiga kliennya mengetahui rencana pembunuhan itu. "Mereka merencanakan manipulasi asuransi dengan mencari mayat, bukan membunuh," kata Amir. Tak hanya klien Amir yang berniat cuci tangan dalam kasus itu. Pada persidangan pekan lalu, dr. John juga membantah keterlibatnya. Ia, katanya, baru tahu Yusak dan Untung menjadi korban pembunuhan setelah ia diperiksa Mabes Polri. Tapi ketua majelis hakim, Poerwanto, menganggap John sebagai orang yang munafik dan tak memperlihatkan intelektualitasnya sebagai dokter kehakiman. Sebab, katanya, di sidang terungkap bahwa Johnlah yang mengusulkan agar Dwi Suroso alias Bambang Wicaksono dikorbankan. Kasus ini semakin terang setelah Made Ratmara didengar kesaksiannya. "Saya akan menjelaskan sejelas-jelasnya, supaya jangan ada yang munafik kepada Tuhan dan bangsa. Kita harus konsekuen," ujar Made di persidangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus