Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI MATA bank asing, tingkat pendapatan bunga bersih perbankan Indonesia ibarat gula pemanis ekspansi. Rata-rata selisih pendapatan dari bunga deposito dan bunga kredit mencapai empat persen. Sedangkan di negara lain hanya dua persen. Tak mengherankan jika hampir setiap tahun ada bank asing yang membeli saham bank lokal. "Tak ada net interest margin yang lebih tinggi dari kita," kata Direktur Investa Saran MandiriHans Kwee, Kamis pekan lalu. "Ini sangat menarik investor."
Selama lima tahun terakhir, perbankan asing berbondong-bondong memborong saham perbankan lokal. Setelah mencicip manisnya hasil investasi, mereka memasang target menjadi pemegang saham mayoritas. Bank-bank ini melihat potensi pertumbuhan bisnis yang cukup besar lantaran tingkat penetrasi perbankan Indonesia terbilang rendah.
Yang teranyar, Bank Mitsubishi UFJ Financial Group Inc (MUFG) mengumumkan akuisisi terhadap Bank Danamon tepat sepekan sebelum tutup tahun 2017. Bank terbesar asal Jepang ini akan mengambil alih saham mayoritas Danamon dengan total kepemilikan hingga 73,8 persen. "Kami harap Bank Danamon menjadi kunci dalam pertumbuhan MUFG di kawasan Asia sehingga kami bisa tumbuh bersama," kata tim komunikasi MUFG kepada Tempo, Jumat pekan lalu, melalui pernyataan tertulis.
Mitsubishi bukan bank asing pertama yang menguasai saham bank lokal. Pesaingnya, Bank Sumitomo Mitsui Financial Group (SMFG), lebih dulu membeli 40 persen saham Bank Tabungan Pensiunan Nasional secara bertahap sepanjang 2013-2015. Bank dengan aset terbesar kedua di Jepang itu mengucurkan US$ 1,52 miliar untuk mendanai akuisisi tersebut. Adapun lembaga keuangan J Trust Co Ltd membeli 99 persen saham PT Bank Mutiara-dulu Bank Century-seharga Rp 4,41 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan pada November 2014.
Hans menilai aksi perbankan Jepang mencaplok bank lokal merupakan hal lumrah. Ruang gerak bank-bank di Negeri Matahari Terbit semakin terbatas setelah bank sentral Jepang memangkas suku bunga acuan menjadi minus 0,1 persen. Nilai tukar yen pun tak banyak bergerak. Hanya, mereka tertolong oleh biaya dana murah. "Dengan cost of fund murah, dana yang dibawa ke Indonesia untuk penyaluran kredit pasti untung," ucap Hans.
Head of Business Development dan Analis PT First Asia Capital David Sutyanto mengatakan Indonesia menjadi kawasan incaran bagi investor asing lantaran memiliki potensi pertumbuhan ekonomi cukup besar. Di antara negara G20, Indonesia berada di urutan ketiga setelah Cina dan India, sedangkan di ASEAN hanya kalah oleh Filipina dan Vietnam. Bukan hanya Jepang yang tertarik pada peluang ini. Perbankan Cina dan Korea Selatan ikut melakukan penetrasi. "Sayangnya, Cina belum banyak mau berekspansi. Jepang lebih familier dengan Indonesia," kata David.
Masuknya saham bank Cina di bank lokal dipelopori oleh Bank ICBC, yang membeli 90 persen saham Bank Halim pada 2007. Akhir 2016, China Construction Bank juga mengambil alih saham mayoritas Bank Windu. Aksi korporasi ini diikuti proses merger Bank Anda ke Bank Windu sehingga mereka berganti nama menjadi China Construction Bank Indonesia.
Dari Korea Selatan, Bank Shinhan ikut membeli 40 persen saham mayoritas Bank Metro Express seharga Rp 700 miliar. Bank Shinhan juga mengantongi 75 persen saham Bank Centratama Nasional. Ada pula Bank Woori yang mengambil alih saham mayoritas Bank Himpunan Saudara. Setelah merger pada 2015, mereka berganti nama menjadi Bank Woori Saudara.
Sebagian besar bank asing lebih tertarik mengambil alih saham bank umum kelompok usaha (BUKU) 1-3 daripada BUKU 4. Investor akan membeli saham murah dari BUKU 1, kemudian mengembangkannya menjadi bank besar. "Akuisisi idealnya sedang-sedang saja. Begitu mereka beli, bank bisa naik kelas," kata David. Adapun kinerja perbankan yang menjadi sasaran rupanya tak menjadi syarat utama. Yang terpenting, menurut David, banknya sehat.
Mistubishi UFJ Financial Group, misalnya, telah mendirikan kantor cabang di Jakarta 50 tahun lalu. Bank ini aktif memberikan pembiayaan untuk proyek light rail transit di Palembang. Selama bertahun-tahun mengikuti kinerja keuangan Bank Danamon, Mitsubishi mantap mengakuisisi bank tersebut untuk memperkuat bisnis retail mereka.
Tak ingin kalah oleh rencana Mitsubishi, Sumitomo berancang-ancang menambah porsi sahamnya di Bank Tabungan Pensiunan Nasional lebih dari 40 persen. Sumitomo harus mengantongi izin Otoritas Jasa Keuangan untuk mencapai target tersebut. "Kami ingin memegang mayoritas di masa depan," kata Chief Executive Officer SMFG Takeshi Kunibe kepada Reuters, Senin dua pekan lalu. Sumitomo optimistis akan mengakuisisi sebanyak mungkin bank komersial Asia di luar Jepang. "Kami sudah melakukan bisnis grosir di banyak negara dan ingin membangun bisnis retail di wilayah yang populasi kelas menengahnya diharapkan tumbuh," ucap Takeshi.
Otoritas Jasa Keuangan menyambut rencana akuisisi bank asing. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Heru Kristiyana mengatakan, dengan pendapatan bunga dan rasio profitabilitas banktinggi serta rasio kredit macet rendah, akan makin banyak bank asing yang tertarik membeli saham mayoritas bank lokal. "Tanpa kami panggil pun mereka datang," ujar Heru.
Lewat Peraturan OJK Nomor 56 Tahun 2016 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum, otoritas hanya membatasi batas maksimal jumlah kepemilikan saham yang dapat dikuasai lembaga jasa keuangan. "Yang penting ada manfaat ekonomi bagi kita," tuturnya. Heru yakin akuisisi ini akan menambah modal bank untuk memperluas penyaluran kredit, meningkatkan infrastruktur dan teknologi, serta memperbarui manajemen.
Putri Adityowati
Langkah Pasti Mitsubishi
MENJADI pemegang saham mayoritas Bank Danamon adalah ambisi Bank Mitsubishi UFJ Financial Group Inc (MUFG). Mitsubishi berencana membeli saham Danamon hingga 73,8 persen dari Asia Financial Indonesia. Danamon dipilih karena memiliki platform bisnis waralaba yang sejalan dengan rencana bisnis Mitsubishi. Rencana ini pertama kali terungkap pada November 2017. Sejak itu, saham Danamon sempat melonjak hingga Rp 5.725 per lembar.
Rekam jejak Danamon di sektor retail usaha kecil dan menengah, termasuk dalam pembiayaan kendaraan bermotor, dinilai moncer oleh Mitsubishi. Total kredit yang disalurkan per akhir 2017 mencapai US$ 9,3 juta. "Danamon terkenal dengan bisnis yang sehat dan waralaba yang menguntungkan," kata Chief Executive Officer MUFG Wilayah Asia dan Oseania Takayoshi Futae saat konferensi pers di kantornya dua pekan lalu. Restrukturisasi aktif atas kredit bermasalah yang ditangani Bank Danamon juga menjadi portofolio yang menarik bagi Mitsubishi.
Mitsubishi telah membayar Rp 15,9 triliun untuk membeli 19,9 persen saham Danamon. Pada tahap ini, Asia Financial masih menjadi pemegang saham mayoritas. Proses berikutnya, Mitsubishi akan mengajukan persetujuan pembelian 20,1 persen tambahan saham kepada Otoritas Jasa Keuangan agar total sahamnya menjadi 40 persen. Proses ini akan selesai pada triwulan ketiga tahun ini. Selanjutnya, Mitsubishi berencana mengajukan izin kembali kepada Otoritas Jasa Keuangan agar akuisisi saham bisa lebih dari 73,8 persen. "Melihat besarnya bank ini, saya yakin izin akuisisi Mitsubishi di Danamon berhasil," ucap analis PT First Asia Capital, David Sutyanto.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Heru Kristiyana mengatakan Mitsubishi tak perlu mengajukan izin saat akuisisi tahap pertama. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 56 pasal 6 tentang Kepemilikan Bank Umum mengatur kewajiban pengajuan izin jika akuisisi melebihi dari 25 persen dari modal bank. "Jadi kemarin hanya aksi korporasi, sekadar lapor tak perlu izin," kata Heru. Hingga saat ini, otoritas belum mendapatkan laporan tertulis dari Mitsubishi.
Otoritas tak menjamin akan mengeluarkan kartu hijau atas akuisisi saham mayoritas Bank Danamon oleh Mitsubishi. Sebab, saat ini Mitsubishi masih memegang 75 persen saham Bank Nusantara Parahyangan. OJK mendorong Mitsubishi menggabungkan Bank Danamon dengan Bank Nusantara Parahyangan agar tak tersandung aturan kepemilikan tunggal perbankan. "Kami dorong merger agar ada sinergi bisnis dan kuat dari sisi modal," ujar Heru.
Putri Adityowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo