Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Februari 1996, saat peluncuran buku biografi Siapa Sudi Saya Dongengi, Boediardjo (1921-1997) mengingatkan keluarbiasaan seni pahat batu Candi Borobudur. Mantan Menteri Penerangan yang pernah menjabat Direktur PT Taman Wisata Borobudur-Prambanan itu berkata, "Gambaran patung dan relief Candi Borobudur menunjukkan kepada kita betapa keterampilan akan menjelma menjadi aura besar apabila semua diberangkatkan dari keyakinan kepada Yang Mahatinggi. Di Borobudur, orang-orang Amerika sampai ndeprok (duduk bersila) lantaran takjub."
Padahal, menurut dia, mereka sudah kadung terbius oleh pahatan Gunung Rushmore di kawasan Keystone, Dakota, Amerika Serikat, bikinan Gutzon Borglum pada 1941. Sebuah pahatan empat wajah presiden terpenting Amerika, yaitu George Washington, Thomas Jefferson, Theodore Roosevelt, dan Abraham Lincoln. "Tapi apakah kedahsyatan patung dan relief buah hubungan manusia dengan Yang Mahatinggi hanya di Borobudur? Saya rasa tidak," ujarnya.
Perkataan "saya rasa tidak" itu terbukti oleh kenyataan di Dazu (baca: ta-cu), yang saya kunjungi pada pengujung 2017. Dazu adalah kota kabupaten di Provinsi Sichuan, Cina. Posisinya 163 kilometer di sebelah barat Kota Chongqing atau 271 kilometer di sebelah timur Chengdu, ibu kota Sichuan.
Di wilayah nan luas ini, terdapat kawasan perbukitan. Di dinding bukit-bukit itu, seperti Bukit Shimen, Bukit Shizuan, Bukit Nan, Bukit Bei, dan Bukit Baoding, terdapat puluhan ribu pahatan kuno dengan kualitas menakjubkan.
Pahatan batu di bukit Dazu adalah obyek lihatan yang cukup dikenal masyarakat lokal sejak dulu. Kepopuleran ini menyebabkan bukan hanya pencinta seni dan penelaah budaya yang datang ke sana, tapi juga pengunjung dari level mana saja. Akibatnya, situs yang diluhurkan tersebut acap dijamah tangan jail sehingga terancam kerusakan.
Dari kekhawatiran itulah Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) tergugah untuk memperhatikan. Sampai akhirnya pada Desember 1999 mereka mengeluarkan surat penetapan pahat batu di bukit Dazu sebagai "cagar alam dan cagar budaya yang harus dilindungi". Surat tersebut menguatkan hasrat pemerintah Cina untuk mengkonservasi dan merestorasi sejumlah bagian. Sampai akhirnya beberapa tahun lalu pemerintah mempromosikannya sebagai obyek budaya dan seni internasional.
Boleh dibilang pahatan di semua bukit mengagumkan. Namun, seandainya diwajibkan memilih satu, kaki akan mengarah ke Bukit Baoding atau Baodingshan (shan artinya bukit atau gunung). Apalagi bukit ini tampaknya paling disiapkan untuk pencinta budaya mancanegara.
Untuk menuju Baodingshan, kita harus naik ke dataran yang agak tinggi dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Sampai akhirnya menjumpai bagian puncak bukit yang formatnya datar dan melebar. Puncak atau kepala bukit itu ditumbuhi aneka pepohonan. Pada bagian bawah kepala bukit, terdapat dinding batu yang bentuknya melingkar seperti sabuk. Sabuk dinding itu memiliki panjang ratusan meter dengan tinggi 20-30 meter. Pada bagian lingkar dinding batu inilah pahatan dibuat.
Ketika menyaksikan ini, ingatan memang segera melayang ke relief Candi Borobudur. Bedanya, relief Borobudur dipahat di lempeng batu dalam ukuran beraturan, sedangkan pahatan di bukit Dazu tergubah dalam gaya dan format bebas. Maka relief dan patung sejengkalan tangan bisa hadir berdampingan dengan yang segede truk tronton, seperti tampak pada pahatan Buddha tidur, "Nirvana Sakyamuni". Sementara di Borobudur semua relief dan patung berbentuk benda lepas yang diinstal pada arsitektur candi, di Baodingshan jadi bagian bukit yang menyatu alami.
Di satu dinding lebar Baodingshan, terpahat kisah Liubenzun, master Tantri Buddhisme dari Sichuan era ujung Dinasti Tang. Sang Guru digambarkan sedang menanamkan ajaran surgawi kepada raja, negarawan, bangsawan, penggawa, sampai rakyat jelata. Kisah "Sepuluh Langkah Berbudi Luhur" itu diceritakan lewat relief ratusan figur berpola realisme sempurna dalam ukuran 20 sentimeter sampai 2 meter. Semua pahatan yang semula diberi warna ini (sekarang sudah luntur dengan menyisakan nuansa maroon, biru, dan putih) dipayungi bentangan kepala bukit. Di bagian bawah kepala bukit itu, terpahat "kain tipis" yang bergelombang tertiup angin. Dan "kain tipis" itu membentang panjang sepanjang lingkar bukit.
Pada dinding lain, tampak relief yang menggambarkan para hakim dan juri keadilan akhirat sedang duduk berjajar. Para dewa hukum ini terlihat teliti bertanya, tekun mendengarkan, tenang mempertimbangkan, dengan posisi duduk di belakang meja. Buku-buku tebal menjadi panduannya. Di bawah relief para hakim, terlihatlah mereka yang sudah divonis berdosa. Dari perampok, penyebar hoax, pengadu domba, penghasut politik, sampai koruptor. Gambaran neraka penyiksaan ditampilkan sempurna dalam pahatan, sehingga terasa mengerikan. Syahdan relief dan patung jajaran ini dikerjakan selama 170 tahun, pada awal Dinasti Song sampai memasuki Dinasti Yuan.
Sedangkan di bentangan dinding batu, terdapat banyak lubang gua atau grotto. Berbagai gua yang berkedalaman 4-10 meter itu dijadikan "rumah persinggahan" para musafir Buddha. Lalu, di dalam rumah, terdapat pahatan berbagai patung dan relief yang menggambarkan biksu berbicara, dengan umat yang khusyuk mendengarkan. Termasuk aneka relief simbol ajaran. Pahatan di gua-gua ini kemudian terkenal sebagai seni amat khas. Dunia internasional menyebut Chinese Grotto Arts (Pahatan Gua Cina).
Banyak gua yang "memaksa" siapa saja untuk memasuki dan menghayati. Namun yang menjadi titik perhatian adalah Gua Dafowan. Sebab, di gua ini terpahat relief Kwan Im (Dewi Welas Asih, yang di khazanah Buddha Jawa disebut Avalokitesvara) dengan 1.000 tangan dalam ukuran tinggi menjulang. Untuk melayani para pendoa serta pemerhati budaya masa kini, gua dan relief "Kwan Im 1.000 Tangan" kreasi seniman Dinasti Song Selatan itu dibikin resik kinclong keemasan. Di depan relief, ditaruh bantal lantai untuk bersujud bagi siapa saja yang ingin memohon, dari mana pun asalnya serta agama apa pun yang dianutnya. Biasanya, yang dimohon adalah kesehatan yang baik, tuntunan agar hati dan pikiran terus lurus, serta rezeki yang cukup.
Pahatan di segenap bukit Dazu mulai dikerjakan pada kurun 650, era Dinasti Tang (618-906). Ide yang brilian ini kemudian dilanjutkan generasi berikutnya. Namun "festival seni pahat agama" ini tidak berkelanjutan dengan mulus. Pada 755, terjadi pemberontakan besar sejumlah suku, yang kemudian merebak dalam bentuk perampokan sehingga relief dan jajaran patung di situ banyak yang rusak. Lantaran untuk memperbaiki dan memulai pembuatan pahatan baru memerlukan rasa aman, proyek itu dihentikan dalam tempo lama. Padahal, pada 700-800, Dinasti Tang sangat banyak melahirkan seniman terampil.
Empat dasawarsa sebelum Dinasti Tang berakhir, penggarapan pahat bukit kembali diteruskan, untuk kemudian tak henti digarap pada era Lima Dinasti (906-960). Para ahli seni dan sejarawan melihat jajaran relief dan patung yang berkualitas sangat bagus banyak dikerjakan para seniman era Dinasti Song Selatan (1127-1279), seperti yang ditampakkan di Baodingshan.
Namun sayang, setelah Dinasti Song berakhir, bukit batu di kawasan Dazu boleh dipahat siapa saja yang merasa bisa sehingga yang istimewa sampai yang buruk rupa tampil bersama-sama. Bahkan para pemahat boleh memberangkatkan ciptaannya dari kitab agama dan kepercayaan apa saja. Dengan demikian, pahatan di bukit-bukit itu bukan hanya tentang Buddhisme yang muncul, tapi juga Konghucuisme dan Taoisme. Atau gabungan dari ketiganya. Maka terbentuklah 75 situs di situ, yang menyajikan tak kurang dari 50 ribu pahatan relief dan patung dengan sekitar 100 ribu inskripsi yang tertatah di batu.
Banyak yang bertanya, mengapa bukit-bukit di Dazu banyak menghadiahkan seni pahat batu. Hou Renzhi, guru besar kebudayaan dari Universitas Beijing, menjawab, kawasan Dazu yang subur dijunjung sebagai anugerah besar pada era Dinasti Tang sampai Song. Anugerah itu lantas dikelola sepenuhnya menjadi kemakmuran. Dan kemakmuran mendorong terbitnya semangat dan rasa syukur. Semangat dan rasa syukur itulah yang melahirkan seniman, pencipta karya luhur. Ya, seperti di Borobudur.
Agus Dermawan T. | Pengamat Seni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo