Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bahaya Usul Sri Mulyani Mengutak-atik Anggaran Pendidikan

Menteri Keuangan mengusulkan rasio anggaran pendidikan berdasarkan pendapatan negara. Demi program unggulan Prabowo Subianto.

9 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sri Mulyani mengusulkan agar sumber anggaran pendidikan diubah dari sebelumnya mengacu pada belanja negara menjadi mengacu pada pendapatan negara.

  • Rencana perubahan sumber anggaran pendidikan itu ditolak keras banyak pihak karena dianggap mengakali konstitusi dan diduga untuk memuluskan program ambisius Prabowo.

  • Tanpa perubahan sumber pun, realisasi anggaran pendidikan terus turun beberapa tahun belakangan ini.

KEMENTERIAN Keuangan berencana mengkaji ulang formulasi wajib anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kepada Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan agar sumber anggaran pendidikan diubah dari sebelumnya mengacu pada belanja negara menjadi mengacu pada pendapatan negara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Belanja itu banyak ketidakpastian. Itu anggaran pendidikan jadi kocak, naik-turun gitu," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Rabu, 4 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Mulyani berencana menggunakan cadangan anggaran pendidikan untuk membiayai empat program Quick Win yang dibuat presiden terpilih Prabowo Subianto. Empat program itu akan memakan kas negara sebesar Rp 113 triliun. Alokasi terbesarnya untuk program makan bergizi gratis yang menghabiskan anggaran Rp 71 triliun. 

Karena itu, Sri Mulyani akan mengatur ulang komposisi belanja kementerian dan lembaga. Ia menyebutkan cadangan belanja negara akan turun Rp 28,39 triliun. Selain itu, cadangan anggaran pendidikan turun Rp 66,85 triliun dan cadangan transfer ke daerah turun Rp 14,38 triliun. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategi Yustinus Prastowo menyatakan hingga kini belum ada pembahasan lanjutan sejak ide perubahan mandatory spending pendidikan tersebut muncul. Menurut dia, rencana perubahan formula anggaran pendidikan dicetuskan untuk membangun diskursus bersama.

"Ini upaya yang sangat awal menjaga sustainabilitas dan fleksibilitas APBN, serta mengantisipasi dinamika-dinamika di masa mendatang," ujar Prastowo kepada Tempo, Ahad, 8 September 2024.

Namun Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menolak usulan Sri Mulyani itu. Dalam acara diskusi bertajuk "Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan" yang digelar di Jakarta pada Sabtu, 7 September 2024, Huda menyatakan bahwa mandatory spending 20 persen anggaran pendidikan tetap harus bersumber dari belanja APBN. Sebab, jika mengacu pada anggaran pendapatan, ia memperkirakan anggaran pendidikan bisa turun hingga Rp 130 triliun. 

Rencana itu juga menuai penolakan keras dari sejumlah serikat guru. Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti menuturkan, tanpa perubahan pun, anggaran negara yang betul-betul mengalir untuk bidang pendidikan sudah susut. "Kalau anggaran negara untuk pendidikan makin kecil lagi, ini akan berbahaya untuk jalannya pendidikan," kata Retno ketika dihubungi pada Ahad, 8 September 2024. 

Retno menyebutkan, dari total anggaran pendidikan pada 2024 sebesar Rp 665,02 triliun, hanya sekitar Rp 59 triliun yang dialokasikan untuk dana biaya operasional sekolah (BOS). Alokasi dana pendidikan justru paling banyak untuk transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp 346,55 triliun atau 52 persen dari total nilai anggaran. 

Padahal, kata Retno, dana BOS digunakan untuk hampir semua kegiatan operasional sekolah, seperti kegiatan siswa, gaji guru honorer, gaji pelatih, ekstrakurikuler, buku, hingga tagihan listrik, air, dan telepon. BOS juga satu-satunya sumber dana bagi sekolah negeri karena dilarang memungut biaya dari para siswa. Akibatnya, penyusutan dana BOS akan sangat terasa bagi sekolah negeri. 

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim pun menolak rencana perubahan formulasi anggaran pendidikan. "Ide Menteri Keuangan Sri Mulyani ini justru berpotensi inkonstitusional dan terkesan mengakali konstitusi," tutur Satriwan lewat keterangan resmi. Dia menilai rencana itu melanggar Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 berbunyi, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional."

Satriwan juga khawatir rencana perubahan formulasi anggaran pendidikan tidak memperbaiki realisasi dana pendidikan yang belakangan terus merosot tiap tahun. Selama lima tahun terakhir, realisasi anggaran pendidikan tidak pernah mencapai 100 persen.

Pada 2019 atau tahun pertama periode kedua pemerintahan Joko Widodo, misalnya, realisasi anggaran pendidikan tercatat sebesar 93,48 persen dari alokasi anggaran. Saat Covid-19 melanda Indonesia pada 2020, realisasinya menurun ke angka 93,09 persen dan realisasi anggaran pendidikan pada 2021 turun menjadi 87,2 persen. Kemudian, pada 2022, realisasinya turun lebih dalam ke 77,3 persen dan naik tipis pada 2023 ke 79,56 persen. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR membahas penetapan postur sementara RUU APBN Tahun Anggaran 2025, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 4 September 2024. ANTARA/Dhemas Reviyanto

Selain itu, alokasi anggaran pendidikan ini tidak semuanya dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Anggaran pendidikan itu juga mengalir ke kementerian lain, seperti untuk sekolah kedinasan yang angkanya mencapai Rp 32,85 triliun atau jauh lebih besar dari anggaran untuk perguruan tinggi yang hanya Rp 7 triliun. 

Menurut Satriwan, kebijakan anggaran tersebut sebetulnya bertentangan dengan amanat Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN, tidak termasuk biaya pendidikan kedinasan. 

Sementara itu, ekonom dari Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, menyatakan, meskipun secara harfiah tidak disebutkan anggaran pendidikan dari penerimaan ataupun belanja, bukan berarti pemerintah bisa menciptakan asumsi sendiri. "Saya tidak suka cara pemerintah saat ini dan ke depan mengakali undang-undang bahkan UUD untuk bisa memasukkan kepentingan mereka," ucapnya.

Karena itu, menurut Nailul, pemerintah seharusnya menghitung anggaran pendidikan dari APBN dari saat penyusunan, bukan dari outlook ataupun APBN Perubahan. Sebab, besaran anggaran pendidikan ada kemungkinan akan lebih rendah jika dihitung dari belanja outlook atau APBN Perubahan. 

Nailul juga menduga pemerintahan sedang mengutak-atik penghitungan anggaran agar mandatory spending yang merupakan amanat UUD 1945 terlihat sudah terpenuhi. Dengan begitu, akan tercipta ruang bagi pemerintahan Prabowo menjalankan program ambisiusnya, seperti makan bergizi gratis hingga giant sea wall. "Jadi memang tujuannya ke sana," tuturnya. 

Padahal, menurut Nailul, kebutuhan pendanaan pendidikan masih sangat besar. Di antaranya untuk renovasi gedung sekolah negeri agar layak digunakan atau meningkatkan kesejahteraan guru agar tidak terjerat pinjaman online ilegal. 

Jika dana pendidikan berkurang, menurut dia, sekolah negeri tidak lagi menjadi pilihan utama masyarakat karena tak berkualitas. Implikasinya, inflasi di sektor pendidikan naik, terutama untuk sekolah dasar. "Jangan sampai pengurangan besaran dana pendidikan menjadi batu sandungan menuju Indonesia Emas 2045," kata Nailul.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji berpendapat rencana mengkaji ulang formula mandatory spending merupakan akal-akalan pemerintah menurunkan anggaran pendidikan. Terlebih, keuangan negara saat ini mengalami defisit. Dalam rancangan APBN 2025 yang ditetapkan Jokowi, defisit anggaran dipatok sebesar Rp 616,18 triliun atau 2,53 persen dari produk domestik bruto. 

Kondisi tersebut menandakan besaran pendapatan negara lebih kecil ketimbang belanja negara. "Kalau pendapatan yang dijadikan acuan, tentu nasib besaran porsi anggaran pendidikan nasional kian mengenaskan karena ikut merosot," ujar Ubaid.  

Sementara itu, pengamat hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyebutkan sangat sulit untuk tidak mencurigai rencana ini sebagai upaya mengganggu pos anggaran pendidikan demi merealisasi janji kampanye Prabowo. Apalagi wacana ini muncul pada akhir masa jabatan Jokowi dan menjelang pelantikan Prabowo. 

Herdiansyah curiga rencana pemerintah ini bertujuan mengacak-acak perintah konstitusi berupa mandatory spending. "Tidak ada alasan yang rasional dan memadai di baliknya," katanya kepada Tempo, Ahad, 5 September 2024. 

Adapun Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengaku tidak tahu ihwal usulan Sri Mulyani untuk mengubah sumber anggaran wajib dana pendidikan tersebut. "Saya tidak diajak bicara mengenai itu," ucapnya ketika dihubungi kemarin.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus