Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman memprediksi tahun depan akan terjadi kenaikan harga di industri makanan dan minuman karena beberapa faktor. Salah satu penyebabnya adalah resesi yang disebut-sebut bakal terjadi pada tahun 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Persediaan masih oke, cuma masalahnya memang harga. Saya perkirakan harga-harga tahun depan akan meningkat 5 sampai 7 persen," kata Adhi saat ditemui di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang pada Rabu, 19 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktor yang mempengaruhi kenaikan harga itu adalah situasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina maupun Cina dan Taiwan yang belum menentu. Ia menilai perang akan mempengaruhi sektor pertanian maupun energi. Konflik Cina dan Taiwan pun sempat membuat pengiriman bahan pangan agak terlambat bahan makanan pangan, seperti asam sitrat, biji-bijian, dan bawang.
"Tapi dengan gangguan itu, kita untung karena kita punya hubungan bayak negara," ucapnya. Contohnya, kata dia, soal gandum. Ukraina yang tadinya memasok 16 hingga 17 persen ke Indonesia pada 2021, pada 2022 hampir tersisa 5 ribu ton saja. Beruntungnya, Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang baik dengan negara-negara penghasil gandum lainnya seperti Australia, Argentina, Amerika, dan India.
Menurut Adhi, yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah mendorong subtitusi atau alternatif pengganti bahan pokok yang selama ini konsumsi dalam negerinya cukup tinggi. Misalnya beras dan gandum. Di sisi lain, pemerintah perlu juga mewaspadai dan mengantisipasi komoditas biji-bijian dan bawang karena harganya akan tinggi.
Ia semakin yakin akan prediksinya, terlebih kenaikan harga BBM hampir berpengaruh kepada kenaikan harga makanan dan minuman. "Nah kita akan review harga akhir tahun ini atau awal tahun. Perkiraan saya tetap kamungkinan akan naik 5 sampai 7 persen," ucap Adhi.
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim Indonesia telah melakukan pengendalian inflasi dengan cukup baik. Ia merujuk pada level inflasi saat ini yang berada di level 5,9 persen.
Selanjutnya: Airlangga klaim Indonesia punya daya tahan cukup terhadap krisis pangan.
Menurut Airlangga, langkah pemerintah sudah tepat, yakni mendorong kolaborasi antara Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
Langkah lain yang dinilai berhasil adalah meningkatkan resiliensi Indonesia terhadap ancaman resesi global, penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk tematik ketahanan pangan. Ditambah pemanfaatan 2 persen Dana Transfer Umum (DTU) untuk membantu sektor transportasi dan tambahan perlindungan sosial.
Airlangga menyatakan telah memprioritaskan ketahanan pangan dengan menjaga ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga-harga pangan. Ia pun menilai Indonesia beruntung karena produksi beras dalam negeri selama tiga tahun terakhir mencapai 31 juta ton.
Selain itu, ia pun mengklaim Indonesia memiliki daya tahan yang cukup terhadap krisis pangan. "Karena dalam 3 tahun terakhir juga kita tidak melakukan impor beras," katanya. Di sisi lain, menurut dia, Indonesia juga relatif tidak mengimpor jagung dan bahkan mengalami surplus jagung selama beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, sejumlah lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2023 ketika terjadi resesi akan berada pada kisaran 2,3 persen hingga 2,9 persen. Proyeksi tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dunia untuk tahun 2022 yang berada pada kisaran 2,8 persen hingga 3,2 persen. Hal itu terjadi lantaran adanya ketidakpastian akibat the perfect storm.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini