Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank sentral di seluruh dunia masih akan menaikkan bunga.
Inflasi tinggi menyeret dunia ke jurang resesi.
Indonesia masih baik-baik saja meski rentan terpapar kondisi ekonomi global.
SINYAL buruk kembali muncul dari pertemuan pemimpin bank sentral negara maju di Sintra, Portugal, pekan lalu. Mereka kompak melempar isyarat yang mencemaskan pasar: kenaikan suku bunga akan terus terjadi di sisa tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank sentral memang tak punya pilihan selain menaikkan suku bunga karena tingkat inflasi jauh di atas target. Padahal suku bunga sudah naik tinggi sejak tahun lalu. “Kebijakan itu restriktif, tapi tetap tak cukup restriktif dan belum berlangsung cukup lama,” demikian Ketua The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, Jerome Powell, menyampaikan pandangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai catatan, tingkat inflasi tahunan di Amerika Serikat mencapai 4 persen, dua kali lipat di atas target The Fed. Kebijakan bunga tinggi yang seharusnya mampu menurunkan angka inflasi ternyata majal. Sementara itu, mengendalikan inflasi merupakan mandat utama bank sentral. Jadi mereka harus menaikkan bunga demi memerangi inflasi meski, ibarat obat keras, tingginya suku bunga punya efek buruk, yaitu menggencet pertumbuhan ekonomi
Para analis yakin, jika bunga masih naik lagi tahun ini, ekonomi negara maju akan jatuh ke dalam resesi, bahkan bisa terjerumus ke dalam krisis finansial yang berdampak parah dan lama.
Masalah inflasi memang berjangkit di mana-mana. Bukan cuma The Fed, bank sentral lain, seperti Bank of England dan Bank Sentral Eropa, mungkin harus menaikkan bunga beberapa kali lagi di semester kedua tahun ini. Tingkat inflasi tahunan di Inggris mencapai 8,7 persen, lebih dari dua kali lipat angka inflasi Amerika Serikat. Adapun tingkat inflasi tahunan Zona Euro sebesar 6,1 persen.
Angka inflasi yang tinggi di negara-negara besar, selain berisiko memicu resesi ekonomi dunia, membawa risiko bagi Indonesia. Jika ekonomi dunia mendadak berhenti tumbuh, perdagangan antarnegara akan ikut melambat sehingga menekan harga-harga komoditas ekspor Indonesia.
Memburuknya sentimen pasar serta meningkatnya risiko penularan krisis ke semua penjuru, sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah, selalu memicu keluarnya dana dari negara berkembang. Karena itulah rupiah akan terpapar risiko anjloknya nilai tukar.
Dalam hal inflasi, Indonesia juga belum sepenuhnya bebas dari ancaman. Meski tingkat inflasi tahunan per Mei 2023 sudah menurun menjadi 4 persen, dari 5,51 persen di akhir tahun lalu, masih tampak gejolak naik-turun yang amat tajam jika kita melihat angka inflasi bulanan. Angka inflasi sebesar 4 persen juga merupakan batas atas target Bank Indonesia, sebesar 3 plus-minus 1 persen.
Sepintas kondisi ini relatif aman, tapi masih berada di zona rentan. Dalam situasi seperti ini, kecil kemungkinan BI akan mengadopsi kebijakan moneter yang lebih longgar atau menurunkan suku bunga. Analis di pasar memperkirakan BI akan tetap menahan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate di level 5,75 persen hingga akhir tahun.
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan menyarankan BI tidak ragu-ragu dan segera menaikkan bunga jika melihat ada gelagat kenaikan angka inflasi di luar perkiraan. Itulah salah satu butir laporan IMF tentang Indonesia yang terbit pekan lalu. Intinya, laporan itu memberi saran: BI justru harus tetap mempertahankan bias kebijakan moneter ke arah yang lebih ketat.
Kesimpulannya, ekonomi Indonesia memang masih baik-baik saja. Masih ada peluang bertumbuh hingga 5 persen pada tahun ini. Namun keadaan ekonomi global yang begitu rentan menimbulkan risiko besar sehingga BI harus mengambil posisi kebijakan moneter yang netral: tidak kontraktif, tapi juga tak bisa ekspansif. Walhasil, korporasi belum bisa berharap akan ada ekspansi moneter yang dapat menurunkan biaya modal secara signifikan.
Toh, di tengah kerentanan akibat inflasi dan suku bunga, ada satu faktor positif yang bisa menambah daya dorong pertumbuhan ekonomi. Siklus politik di Indonesia akan mulai menghangat di semester kedua 2023. Ada tenggat pendaftaran calon presiden pada Oktober. Kampanye juga mulai bergulir pada akhir tahun. Dana politik akan mengalir deras ke ekonomi Indonesia yang pada gilirannya dapat memicu konsumsi masyarakat. Lumayan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo