Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga kelompok penyelundup sisik tenggiling ditangkap di kota berbeda.
Jumlah sisik tenggiling yang diperdagangkan mencapai ratusan kilogram.
Populasi tenggiling di hutan menurun drastis.
TIM Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuntuti mobil Daihatsu Luxio berkelir putih dengan pelat nomor KB-1**9-H* yang ditengarai membawa penjual sisik tenggiling pada Rabu malam, 7 Juni lalu. Sebagian personel mengekor dengan mengendarai sepeda motor. Sisanya menyuruk di mobil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah berputar-putar di Pontianak, Kalimantan Barat, mobil Luxio berhenti di salah satu hotel di Jalan Imam Bonjol. Tim KLHK menerima informasi hotel tersebut menjadi lokasi transaksi penjualan sisik tenggiling. Menjelang tengah malam, pengendara menurunkan isi mobil. “Di dalam mobil kami temukan sisik tenggiling,” kata Kepala Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah Kalimantan David Muhammad, Selasa, 27 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada malam itu, mereka menangkap pemilik mobil yang berinisial FAP, 31 tahun, dan rekannya MR, 31 tahun. Keduanya tercatat sebagai warga Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Di dalam mobil, tim KLHK menemukan 20 kilogram sisik tenggiling yang terbungkus dalam empat karung.
Suasana konferensi pers pengungkapan kasus perdagangan sisik tenggiling di Kantor SPORC Kalbar di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, 15 Juni 2023/Istimewa
Dari pengakuan tersangka, sisik tersebut diperoleh dari seorang penadah berinisial MND, 47 tahun, warga Kabupaten Sambas. Tim langsung menuju rumah kediaman MND. Mereka menempuh perjalanan darat dari Pontianak ke Sambas selama hampir enam jam. “Di rumah itu kami juga menemukan 37 kilogram sisik tenggiling,” ujar David.
Penangkapan tak hanya menyasar sindikat penyelundup di Kalimantan Barat. Pada hari yang sama, tim KLHK menggelar operasi serupa di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Operasi yang melibatkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan itu meringkus AF, 42 tahun, warga Jalan Prona III, Kelurahan Pemurus Baru, Kecamatan Banjarmasin Selatan.
AF adalah anggota sindikat yang terhubung dengan R, 41 tahun, yang ditangkap petugas Bea-Cukai pada 17 Mei lalu. Penangkapan itu bermula ketika petugas sedang berpatroli di Jalan Dayung Raya, Telaga Biru, Banjarmasin Barat. “Awalnya tim kami sedang melakukan operasi cukai rokok, tanpa sengaja menemukan sisik tenggiling,” ujar Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Sudiro.
Sisik tenggiling yang disita dari sindikat pemburu usai ditangkap Bareskrim Polri di Medan, Sumatera Utara/Istimewa
Saat itu R terlihat gugup saat didatangi petugas. Ternyata ia menyimpan delapan kardus sisik tenggiling di dalam mobilnya. Beratnya mencapai 360 kilogram. Bea-Cukai langsung mengirim barang ilegal tersebut ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah Kalimantan. Dari hasil interogasi, diketahui R kerap membantu AF mengumpulkan sisik tenggiling dari para pengepul.
R dan AF kini mendekam di rumah tahanan Kepolisian Resor Kota Banjarmasin. Mereka terancam hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta sesuai dengan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. David Muhammad menerangkan, sindikat Banjarmasin dan Pontianak memang tak terkait. Namun keduanya terhubung dengan seorang penadah besar di Pulau Jawa. “Masih kami telusuri,” tutur David.
KLHK dan Kepolisian RI tengah gencar memburu sindikat penyelundup sisik tenggiling dalam beberapa bulan terakhir. Tenggiling (Manis javanica) adalah spesies yang dilindungi dan terdaftar di Appendix 1 dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tanaman Liar Terancam Punah atau CITES. Perburuannya masih masif karena nilai ekonominya yang tinggi. Harga daging dan sisiknya bisa mencapai tiga sampai empat kali lipat lebih mahal saat berada di tangan penadah.
Kajian tim KLHK menyebutkan valuasi sisik tenggiling bisa berlipat sepuluh kali menjadi Rp 50 juta per kilogram di pasar gelap internasional. Hewan nokturnal itu banyak diminati di Cina dan Vietnam. Sebab, di negara tersebut konsumsi daging tenggiling dilegalkan sejak 2007. Sementara itu, sisiknya digunakan sebagai bahan dasar obat-obatan.
Habitat tenggiling tersebar di Pulau Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Hewan ini merupakan predator alami kawanan semut. Biasanya perburuan tenggiling marak saat peralihan musim hujan ke kemarau. Di masa itu, daun-daun meranggas dan mengundang semut. Hewan ini berfungsi membasmi semut yang bisa menjadi hama untuk beberapa jenis tanaman seperti kelapa sawit.
Indonesia menjadi salah satu negara pemasok tenggiling ke Cina. Organisasi pemerhati lingkungan, Flight, menyebutkan tenggiling diselundupkan ke Cina melalui Serawak dan Sabah, Malaysia. Sebagian sindikat turut memanfaatkan jalur tikus di Senaning dan Lubok Antu. “Mereka yang tak memiliki koneksi dengan pembeli di Cina umumnya menjual lewat pengepul besar yang tinggal di Tebedu, Serawak,” ucap juru bicara Flight, Nabila Fatma.
Ada juga yang masuk lewat pintu resmi. Sindikat penyelundup kerap lolos dari pantauan petugas karena menyamarkan kiriman bersama ikan dan hasil bumi lain, seperti lada dan kopi.
Penelitian organisasi pemerhati lingkungan lain, Traffic, menyebutkan sebanyak 16.061 ekor tenggiling menjadi korban perburuan selama 2010-2015. Perburuan itu dilakukan untuk memenuhi permintaan di pasar Cina, Vietnam, Malaysia, Laos, Filipina, hingga Amerika Serikat.
Cina adalah negara konsumen tenggiling paling besar di dunia. Dalam catatan Traffic, Negeri Tirai Bambu sedikitnya mengimpor 34,9 ton daging dan 26,6 ton sisik tenggiling. Pasokan paling banyak berasal dari Indonesia. Masyarakat Cina masih meyakini mitos bahwa tenggiling memiliki zat afrodisiak untuk mengatasi ejakulasi dini.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK Sustyo Iriyono menjelaskan, populasi tenggiling kian menyusut akibat perburuan liar. “Para pemburu dan penadah sering menggunakan moda transportasi laut sebagai jalur penyelundupan,” ujarnya.
Mereka kerap menggunakan pelabuhan transit di Pontianak, Surabaya, dan Medan sebelum menjual tenggiling ke luar negeri. Di Medan, petugas pernah membongkar sindikat perdagangan tenggiling ketika menggerebek kompleks pergudangan Niaga Malindo I pada 23 April 2015. Di tempat itu, polisi menyita 95 tenggiling hidup dan 77 kilogram sisik tenggiling. Hewan dilindungi itu rencananya dikirim ke Cina dan Malaysia lewat Pelabuhan Belawan.
Pelakunya adalah seorang pengusaha bernama Soemiarto Budiman alias Abeng. Ia sudah dihukum 18 bulan penjara dan denda Rp 50 juta oleh Pengadilan Negeri Medan. Dalam persidangan, Abeng mengaku pernah mengirim 10 ton daging dan sisik tenggiling menggunakan jalur udara dan laut. Ia menyamarkan barang selundupannya dengan cara mencampur daging dan sisik tenggiling bersama ikan beku, cumi, dan tiram.
Abeng menghirup udara bebas pada 2017. Belakangan, namanya kembali menjadi sorotan ketika tim KLHK menggagalkan rencana penyelundupan satu ton sisik tenggiling di kompleks pergudangan 77 Titi Papan, Medan Belawan, pada Juni 2017. Petugas mensinyalir sisik itu berasal dari seseorang berinisial SDM yang tengah menjadi buron. Nama SDM turut muncul dalam persidangan Abeng.
Jaringan bisnis Abeng muncul dalam liputan investigasi Tempo berjudul “Manis-Pahit Tenggiling Kita” pada edisi 8 Juli 2017. Artikel itu mengungkap sindikat penyelundupan Abeng terhubung dengan pengusaha minuman beralkohol dan pengusaha ekspor hasil laut. Hubungan mereka terungkap dari lalu lintas transaksi keuangan mereka.
Baca: Liputan Investigasi Jaringan Penyelundup Sisik Tenggiling
Salah seorang di antaranya adalah Edy Soerja Sutanto, warga Jalan Tilak, Medan. Ia pernah menerima transfer sebesar Rp 31 miliar dari pengusaha yang berjejaring dengan Abeng. Uang itu lalu mengalir ke sejumlah pengepul tenggiling. Kepada Tempo pada waktu itu, Edy membantah kabar tentang adanya aliran uang dan dugaan keterlibatannya dengan jaringan Abeng. Ia juga mengaku tak mengenal nama-nama orang yang terindikasi masuk jaringan bisnis Abeng.
Kini nama Edy muncul lagi. Tim penyidik Badan Reserse Kriminal Umum Polri menangkap Edy ketika hendak bertransaksi dengan seorang pembeli sisik tenggiling di depan gerai restoran cepat saji di kawasan pertokoan Asia Mega Mas, Medan, pada Kamis, 8 Juni lalu. “Ada tiga tersangka, salah satunya dia,” ujar Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris Besar Indra Lutrianto.
Operasi penangkapan berawal ketika polisi mendeteksi rencana transaksi sisik tenggiling dari tangan dua pengepul berinisial AS dan AR. Keduanya merupakan penghubung antara Edy dan pembeli sisik tenggiling.
Seekor tenggiling yang terluka akibat jaring pemburu berhasil diselamatkan oleh warga dan diserahkan ke Balai KSDA Yogyakarta, November 2022/bksdajogja.org
Sebelum transaksi berlangsung, keduanya sempat menyambangi rumah kediaman Edy lain yang beralamat di Jalan Sutrisno. Rumah itu berjarak sekitar dua kilometer dari kawasan pertokoan Asia Mega Mas, Medan. “AS dan AR adalah orang yang biasa digunakan Edy sebagai perantara dalam bisnis tersebut,” kata Indra.
Saat menangkap ketiganya, polisi turut menggeledah mobil yang ditumpangi ketiga tersangka. Polisi menemukan delapan kilogram sisik tenggiling dan lima paruh burung rangkong. Edy sempat berusaha melarikan diri. Ia ditangkap ketika hendak masuk mobil yang diparkir tak jauh dari lokasi penangkapan AS dan AR.
Rupanya, sisik tenggiling yang mereka bawa hanya sampel dari total 282 kilogram sisik yang hendak dijual. Sisanya masih tersimpan di rumah Edy. Pelaksana harian Kepala Unit III Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Komisaris Hari Suhendar, yang memimpin operasi itu, langsung mendatangi rumah Edy dan menyita semua sisik tenggiling. Semuanya tersimpan dalam karung di area garasi yang dipenuhi tumpukan kardus. “Total ada sembilan karung,” tutur Hari.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan ulah sindikat yang beroperasi di Pontianak, Banjarmasin, dan Medan sudah menyebabkan ribuan tenggiling mati. Untuk mengumpulkan satu kilogram sisik tenggiling, sedikitnya para pemburu harus mendapatkan empat ekor tenggiling. Total kerugian negara akibat perburuan ilegal itu ditaksir mencapai Rp 140 miliar. “Itu belum termasuk hitungan nilai kerugian ekologis,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Saling Kepul Sisik Tenggiling"