Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Risiko Greenwashing Ekonomi Hijau

Praktik greenwashing meningkat di industri keuangan. Indonesia belum punya aturan untuk menangkal aksi tipu-tipu itu. 

2 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lembaga keuangan rentan melakukan praktik greenwashing.

  • Perusahaan melakukan greenwashing untuk menipu investor dan konsumen.

  • Indonesia belum memiliki aturan penangkal greenwashing.

NADA bicara Desiree Fixler naik-turun saat berbicara tentang praktik greenwashing DWS. Fixler adalah mantan eksekutif yang menangani aspek keberlanjutan di DWS, perusahaan keuangan di Frankfurt, Jerman, yang mengelola aset 821 miliar euro atau Rp 13.416 triliun. "Apakah masih ada kehidupan setelah aku mengungkap ini?" katanya dengan suara tercekat saat mengungkap kejadian dua tahun lalu itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fixler berbicara dalam forum yang digelar Asia Research & Engagement di Singapura, dua pekan lalu. Dia tampil dalam sesi video konferensi dari rumahnya di London, Inggris. Dari sana, Fixler mereka-ulang bagaimana DWS, anak usaha Deutsche Bank, mengklaim inisiatif pembiayaan ekonomi hijau secara berlebihan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fixler dipecat pada 11 Maret 2021 setelah mengungkap praktik lancung perusahaan tempatnya bekerja kepada media asal Amerika Serikat, Wall Street Journal (WSJ). Pada 1 Agustus 2021, WSJ menerbitkan laporan "Fired Executive Says Deutsche Bank’s DWS Overstated Sustainable-Investing Efforts" yang kemudian mengguncang Eropa. "Dua hari setelah laporan terbit, aku menerima pesan dari agen federal Amerika Serikat (FBI) untuk menjadi saksi sukarela dalam investigasi terhadap DWS," ujar Fixler.

Kasus ini bermula dari laporan tahunan DWS pada 2020. Perusahaan itu mengklaim investasi dari separuh aset kelolaannya sebesar 459 miliar euro atau Rp 7.507 triliun telah melalui proses integrasi dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola atau environment, social, and governance (ESG). Termasuk 0 persen untuk sektor bisnis kontroversial seperti batu bara.

Fixler mengingatkan Asoka Wöhrmann, Kepala Eksekutif DWS saat itu, soal risiko klaim yang tak berdasar. "Angka ini akan diaudit dan kita tidak bisa mempertanggungjawabkannya," kata Fixler. Tapi dia malah dipecat, sehari sebelum DWS merilis laporan itu, dengan alasan tidak becus. 

Akibat laporan Fixler, Kantor Investigasi Kriminal Jerman (BKA) menyelisik DWS pada 2022. Enam otoritas di Jerman dan Amerika Serikat menyelidiki dugaan greenwashing. Pasar turut bereaksi. Asoka Wöhrmann pun turun dari jabatannya. Begitu juga Ketua Dewan Komisaris DWS Karl von Rohr.

Sean Tseng menjelaskan hasil laporan tentang praktik greenwashing di industri keuangan Asia di Bursa Efek Singapura, 21 Juni 2023. Dok. ARE

Praktik greenwashing menjadi ancaman di tengah tren pembiayaan hijau atau berwawasan lingkungan (green financing). Banyak perusahaan pengelola aset dan bank yang memoles citra sebagai penyedia green financing agar bisa menarik nasabah atau konsumen. Misalnya dengan klaim sudah tidak lagi mendanai proyek batu bara atau perkebunan yang merusak lingkungan. Tapi nyatanya mereka masih mendanai bisnis semacam itu secara terselubung. 

Laporan Client Earth bersama Asia Investor Group on Climate Change yang dirilis pada April lalu menyebutkan greenwashing makin meningkat di sektor keuangan. Contoh produk berisiko greenwashing adalah green managed fund, green listed equity fund, green infrastructure fund, green private equity investment, sustainability-linked bond, dan green bond. "Dalam rantai investasi, ada dua tahap greenwashing: yang dihasilkan dari klaim serta informasi oleh perusahaan yang mendapat kucuran modal dan yang muncul dari lembaga keuangan pemberi modal," demikian petikan laporan itu. 

Untuk mencegah greenwashing, Uni Eropa menerapkan Sustainable Finance Disclosure Regulation dan Corporate Sustainability Reporting Directive. Sedangkan Komisi Sekuritas dan Pasar Modal Amerika Serikat (SEC) membentuk Gugus Tugas Iklim dan ESG. 

Di Asia, sukar mengungkap praktik greenwashing. Menurut Sean Tseng, konsultan hukum Client Earth, ada budaya Asia yang menghalangi orang untuk menggugat atau berkonfrontasi dengan terduga pelaku greenwashing. "Sulit mengerjakannya karena melibatkan orang-orang besar," ucapnya pada Rabu, 21 Juni lalu. Karena itu, pengungkapan greenwashing harus melalui investigasi atau didasari informasi orang dalam, seperti Desiree Fixler. 

Saat ini beberapa negara Asia, seperti Cina, Jepang, Hong Kong, India, Singapura, Thailand, dan Filipina, sudah punya standar pelaporan ESG. Indonesia belum punya. Hanya ada taksonomi hijau yang diperkenalkan Otoritas Jasa Keuangan dan indeks hijau yang disodorkan Bursa Efek Indonesia. "Regulasinya cukup buruk, tidak banyak kemajuan untuk melawan greenwashing di Indonesia," kata Tseng. "Pasar sebetulnya bisa menghukum pelaku greenwashing. Tapi jika regulator punya aturan, itu lebih baik."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tipu-tipu Pembiayaan Hijau"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus