UTUSAN lembaga pemberi kredit Jepang OECF, diam-diam selama dua pekan berada di Jakarta. Bisa jadi kunjungan dinas biasa. Tapi, Jika orang ingat Overseas Economic Cooperation Fund itu adalah lembaga yang, tahun ini, menjanjikan pinjaman 80 milyar yen, kedatangan utusan itu jelas bukan sekadar cari angin. Memang, belum ada persetujuan dicapai dalam pertemuan antara utusan OECF itu dan beberapa menteri -- di antaranya Menko Ekuin Ali Wardhana. Namun, sumber TEMPO mengatakan, utusan tadi sedikitnya sudah membawa pulang formulasi pinjaman yang diinginkan Indonesia. Di situ, misalnya, diminta agar OECF mau juga ikut memikul biaya rupiah (localcost) untuk ganti rugl tanah, membayar gaji, biaya konstruksi, dan membayar pajak -- di samping menyediakan pinjaman barang modal. Tapi pihak OECF, sesudah berunding beberapa kali, ternyata hanya mau ikut menyediakan rupiah untuk biaya konstruksi. Artinya, sebagian pinjaman valuta asing yang akan diberikannya nanti ditarik dalam bentuk rupiah untuk membayar kontraktor. Usul lain yang juga didiskusikan adalah pemberian pinjaman dua tahap (two steps loan). Pinjaman dua tahap, seperti diketahui, adalah pinjaman yang biasa dilaksanakan pemerintah untuk membiayai proyek badan usaha milik negara. Dalam model ini, pemerintah mendapatkan sejumlah kredit valuta asing, yang dipinjamkan lagi kepada BUMN di lingkungannya atau sebuah proyek pemerintah dalam bentuk rupiah. Sumber Jepang mengatakan OECF sudah menyatakan sanggup akan memberikan kredit lunak (berjangka waktu 30 tahun) dengan bunga 3% setahun untuk pinjaman dua tahap tadi. Tapi mereka menginginkan agar pinjaman itu disalurkan kembali sebagai kredit dengan bunga di bawah suku bunga komersial. Sebab, bila pemerintah ingin mengurangi risiko kerugian akibat perubahan kurs dengan men-swap-kan kredit itu, maka biaya uang kredit OECF itu paling banter 7% sampai 8% saja. Jika pemerintah bisa menyalurkan kredit itu dengan suku bunga bersaing, "Maka, bantuan OECF itu akan bisa ikut menumbuhkan kalangan swasta lain di sini. Itulah alasannya mengapa OECF mengajukan syarat itu," katanya. Formula pemberian pinjaman model terakhir itu, kabarnya, menarik perhatian kalangan pemerintah. Kalau benar model itu yang diterima, maka bentuk penyaluran pinjaman OECF itu akan mirip dengan penyaluran kredit likuiditas Bank Indonesia di zaman boom minyak dulu. Yang jadi soal, bank mana yang harus melaksanakan kredit itu lalu proyek dan sektor usaha apa yang kelak berhak mendapatkannya. Pemberi dan penerima pinjaman tampaknya perlu membicarakannya. "Tapi bicara tegas saja, soal persyaratan buat pinjaman dua tahap itu, kok kayaknya hendak mengatur soal intern kita," kata seorang pejabat. Pejabat ini agaknya lupa, Bank Ekspor-Impor Jepang, yang setuju menyediakan dana rupiah senilai US$ 900 juta itu, aktif berperanan memilih proyek Bank Dunia di sini, yang bakal ikut dibiayainya. Dari 30 proyek yang diajukan, Bank Eksim akhirnya menyetujui memberikan kredit dua tahap untuk 21 proyek. Baru kali inilah kredit Bank Eksim itu tidak diberikan dalam bentuk ekspor barang modal Jepang. "Ini yang pertama dan tak akan diulangi," kata Takashi Tanaka, Presiden Bank Eksim Jepang, ketika berada di Jakarta. Sebelumnya Bank Dunia juga telah setuju memberikan kredit valuta asing US$ 300 juta untuk perbaikan beleid di bidang perdagangan. Pinjamannya kali ini bukan dalam bentuk bantuan proyek seperti lazimnya. Pinjaman itu akan digunakan pemerintah untuk mendukung usaha menanggulangi akibat kemerosotan harga minyak. "Dan juga untuk menyehatkan neraca pembayaran dan anggaran belanja pemerintah," kata sebuah sumber. Apa yang terjadi sebetulnya? Mengapa pemerintah setahun terakhir ini begitu banyak mengambil pinjaman valuta asing dengan syarat berat? APBN 1987--88 memang berada di posisi rawan. Untuk bisa mewujudkan pelbagai proyek bantuan luar negeri Rp 4.419 milyar, seperti diketahui, pemerintah hanya punya dana rupiah sebesar Rp 2.331 milyar. Tapi jumlah ini dipandang tak cukup. Karena alasan itu, tambahan pembiayaan rupiah sebesar Rp 1.007 milyar perlu dicari. Untung, Bank Dunia dan Bank Eksim bisa memahami kesulitan itu. Namun, neraca pembayaran ternyata luga menghadapi kerawanan, gara-gara harga minyak naik turun tak pernah mencapai angka US$ 20 per barel lagi. Pinjaman komersial pun dicari. Dari korek sana korek sini sejak 1985 lalu, Gubernur BI Arifin Siregar bisa mengumpulkan pinjaman siaga US$ 3.050 juta. Dari jumlah itu sekitar US$ 700 juta sudah dipakai untuk menangkal akibat jatuhnya harga minyak di pertengahan tahun lalu. Dan jangan kaget kalau pencarian utang valuta asing tak mengikat itu trend-nya kelihatan membesar (lihat Grafik). Namun, untuk terus membiayai pembangunan selain berutang, Tim Ekonomi pemerintah juga tampak terus mengatur siasat untuk bisa membiayai pelbagai proyek tanpa memberatkan kewajiban membayar nantinya. Misalnya dengan metode nonrecourse financing, biaya proyek dibayar dengan hasil ekspornya, seperti diterapkan pada proyek LPG Arun dan Bontang sebesar US$ 880 juta. Tapi mungkin masih ada cara lain? Marah Sakti, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini