EKSPORTIR Indonesia bakal menghadapi tantangan berat. Soalnya, mulai April ini juga, pelbagai barang ekspor mereka, boleh jadi, terpaksa dinaikkan. Ini gara-gara bunga kredit modal kerja (kredit ekspor), yang biasa mereka terima 9% setahun, mulai bulan depan akan dinaikkan jadi 11%. Naiknya suku bunga itu, tentu saja menyebabkan biaya uang mereka akan naik -- meskipun belum tentu akan menaikkan biaya produksi. "Kenaikan itu bukan kemauan Bank Indonesia. Tapi, karena kita sudah menandatangani Code on Subsidies and Countervailing Duties dari GATT (Perjanjian Umum di bidang Tarif dan Perdagangan)," kata T. Syahrizal, Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi BI. Lewat perjanjian yang diteken Menteri Perdagangan Rachmat Saleh (1985) atas desakan pemerintah AS itu, Indoneia setuju untuk secara bertahap menghapus semua subsidi yang diberikan pada barang ekspornya. Kalau tidak, negeri pengimpor berhak mengenakan bea masuk tambahan (countervailing duty) atas barang yang masuk ke negeri mereka. AS, misalnya, pernah mengancam akan menambah bea masuk 20% hingga 27%. Maka, mulai April tahun lalu, sertifikat ekspor mulai dihapus secara bertahap dan karena alasan tertentu, fasilitas itu baru bisa dicabut sama sekali Juli lalu. Sejak diberikan untuk merangsang ekspor mulai 1979 hingga dihentikan 1 Juli 1986, sudah Rp 522 milyar lebih dana pemerintah tertuang lewat sertifikat ini, dalam bentuk pengembalian bea masuk. Hasilnya memang ada. Ekspor nonmigas Indonesia, yang di 1977 dan 1978 masih berkisar antara US$ 3,5 milyar dan US$ 3,6 milyar, segera mencuat mencapai US$ 6 milyar lebih pada 1980, setahun setelah sertifikat ekspor diperkenalkan dan devaluasi dilakukan. Namun, prestasi ini cuma bertahan setahun gara-gara harga pelbagai komoditi primer jatuh. Untuk mencegah makin melorotnya perolehan ekspor ini, 18 April 1982, pemerintah mengeluarkan lagi rangsangan baru: pemberian kredit modal kerja berbunga rendah khusus buat eksportir dan produsen eksportir. Dana rupiah yang disalurkan BI dengan bunga 3%, dan kemudian dijual oleh bank pelaksana dengan harga 6% dan 9% setahun itu, hakikatnya merupakan subsidi dari bank sentral. Sebab, harga uang komersial, ketika itu, pukul rata sudah di atas 15% setahun. Hasilnya memadai. Perolehan devisa ekspor nonmigas kembali naik. Sesudah pemerintah menambah daya dorong dengan devaluasi lagi di tahun 1983, hasil ekspor pada 1985, misalnya, bisa mencapai jumlah US$ 5,9 juta. Sebagian besar diperoleh dari penjualan kayu lapis dan tekstil. Dan kebetulan pasar terbesar komoditi ini di Amerika. Gara-gara industri Amerika terdesak, Washington kemudian mendesak Indonesia agar tak melakukan "subsidi terselubung" atas barang ekspor mereka. Pemerintah rupanya kurang lihai berkelit. Sesuai dengan perjanjian, subsidi atas kredit modal kerja, mulai April 1987 hingga 1990 secara berangsur juga harus dikurangi: pada 1 April 1987 dikurangi 50%, tahun berikutnya 25%, lalu 1 April 1989 15% lagi, dan sisanya 10% lagi dihabiskan pada 1 April 1990. Berdasarkan besarnya jumlah pengurangan itu pula kemudian ditentukan besarnya bunga kredit baru. Pemerintah sendiri sudah memproyeksikan standar bunga kredit ekspor itu nantinya 13% pada 1990. Dan dari patokan itu, bunga kredit itu ditetapkan beranjak ke 11% mulai April depan, lalu 12% (1988), 12,4% (1989), sampai 13% (1990). Syahrizal tak melihat kenaikan suku bunga itu bakal menghambat eksportir dalam mencapai sasaran. "Malah, dengan melihat keadaan pasar dewasa ini, suku bunga 11% itu masih sangat menarik," katanya. Pendapat ini disangkal eksportir. "Sudah jelas, dengan kenaikan bunga kredit ekspor daya saing kita di pasar internasional akan semakin lemah," kata Ir. Harry Tanugraha Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia. Padahal, dengan bunga kredit 9% saja, katanya, Indonesia sudah kalah bersaing dari Malaysia dan Muangthai yang memberikan kredit rata-rata 4% setahun. Pendapat serupa juga dikemukakan Frans Seda, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Cuma, dia mengingatkan kalau kenaikan suku bunga tak bisa dielakkan pemerintah mestinya menyiapkan kompensasi lain buat eksportir. "Misalnya, kita usul supaya penghitungan waktu ekspor dilonggarkan. Jika selama ini hanya 3 bulan terhitung sejak ekspor dilakukan, maka waktunya dilonggarkan dengan tambahan 3 bulan saat barang diproduksi," katanya. Ekses dari tersedianya fasilitas empuk itu, yang sejak diperkenalkan 1982 hingga September lalu sudah disalurkan sebanyak Rp 1,091 trilyun, memang ada. Karena bunganya mendapat subsidi, kalangan bank seperti berlomba untuk ikut dan memperbesar penyaluran kredit itu. Nasabah sendiri, di pihak lain, kadang juga nakal: ekspor karet bernilai Rp 2 milyar, misalnya, realisasinya disebut Rp 4 milyar. "Tapi, ya itu, banyak bankir seperti berlomba memberikan. Sebab, mereka dapat untung, karena toh cuma bayar 3% setahun pada BI," kata seorang eksportir. Masa seperti itu kini hampir berlalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini