KOPI baru terasa akan sedap bila diseduh dalam takaran pas. Kalau jumlahnya berlebihan, penghasil kopi sekalipun bakal tak sedap merasakan harganya. Lihat saja, gara-gara kopi dunia melimpah, harganya kini tinggal US$ 2 per kg -- atau sama dengan tingkat harga 52 bulan lalu. Kendati kemerosotan itu jelas diketahui berpangkal dari berlebihnya pemasokan, sidang organisasi kopi internasional (ICO) di London, akhir Februari lalu, ternyata gagal menyusun kuota baru. Semula, 50 negara produsen dan 25 negara konsumen anggota ICO setuju memberlakukan kembali kuota yang dihapuskan sejak Februari 1986 -- saat harga kopi di pasar internasional melambung sampai US$ 4 per kg. Brasil mengusulkan agar kuota ditentukan sama seperti awal tahun silam. Sebagian besar anggota produsen mendukung. Tetapi Indonesia dan 7 negara lain, yang memiliki 22,2% suara di sidang, menolaknya. Mereka mengusulkan kuota disusun kembali dengan memperhitungkan kemampuan ekspor setiap produsen selama lima tahun terakhir. Sebagian besar negara konsumen juga mengusulkan penetapan kuota baru berdasarkan kemampuan ekspor setiap produsen enam tahun terakhir. Mereka tidak setuju bila Brasil tetap diberi kuota 30% berdasarkan ketentuan lama. Sebab, gara-gara Brasil tahun lalu hanya bisa mengekspor 900.000 ton, atau separuh dari kuotanya, harga kopi sempat tertendang hingga US$ 4 per kg. Untuk mengatasi perbedaan pendapat itu, ICO lalu membentuk sebuah komisi yang disebut contact-group. Pembentukan komisi ini pun ternyata diprotes Indonesia. "Kita protes, karena Indonesia sebagai negara produsen ketiga terbesar di dunia tidak terwakili," tutur Dharyono Kertosastro, Ketua AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) yang mengetuai misi Indonesia di ICO. Indonesia, yang setiap tahun membayar iuran sekitar US$ 2 juta, menuding ICO tidak demoktratis. Kendati tidak didukung semua rekan ASEAN, pernyataan Indonesia, yang baru sekali itu terdengar dalam 25 tahun sejarah ICO, disokong 10 negara konsumen. Akhirnya, Indonesia berhasil masuk dalam contact-group yang terdiri dari 8 negara produsen dan 8 negara konsumen. "Indonesia didudukkan sebagai salah satu negara konsumen. Ironis, tapi tak apa. Yang penting, kita dapat bersuara konsisten," tutur Dharyono kepada TEMPO. Komisi ini, yang bersidang 1-3 Maret lalu, ternyata gagal juga merumuskan kuota. Akibatnya, sidang ICO berakhir tanpa mampu menentukan kuota. Dengan demikian, setiap negara produsen kini tetap bebas mengekspor kopi ke pasar dunia, tanpa batas. AEKI lalu berusaha memanfaatkan situasi itu untuk membuktikan kemampuan ekspor kopi para anggotanya. Pada tahun 1985-1986 (kalender ICO dihitung dari Oktober sampai September tahun berikutnya), Indonesia berhasil mengekspor 20.966 ton (termasuk sekitar 80.000 ton ekspor ke negara-negara nonkuota) dan mengumpulkan devisa US$ 964.845 juta. Menurut Dharyono, Indonesia harus bersikap keras, karena ada gelagat negara-negara kuat ingin mendiktekan kemauannya. "Kalau kita tunduk, bakal ada sekitar 107.000 ton kopi produksi Indonesia yang bakal sulit dipasarkan," katanya. Jatah Indonesia di pasar ICO, seperti yang diusulkan Brasil, hanyalah 153.000 ton. Padahal, di tahun 1985-86, Indonesia punya kemampuan memasok 240.000 ton ke pasar ICO. Dharyono mengakui, kopi yang kini membanjiri pasar dunia pada akhirnya bisa menipiskan pendapatan petani. Tetapi keadaan itu masih lebih baik daripada kopi mereka tidak bisa dijual karena dibatasi kuota. Sampai Sabtu lalu, para petani yang tenah panen kopi di Lampung, menurut Ketua AEKI Dharyono, masih bisa mendapatkan harga Rp 2.750 per kg (kopi Arabika). Keluarga-keluarga petani di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, yang rata-rata memiliki kebun kopi selain sawah, tampaknya juga belum terlalu terpukul. "Jatuhnya harga kopi itu jelas menemukan penghasilkan orangtua kami. Tetapi kebun kopi kami, 0,5 ha, masih bisa menghasilkan Rp 1,1 juta," katanya Ebbenezer, anak petani kopi dari Kabupaten Dairi. Sementara ini di kalangan eksportir ada keributan mengenai pembagian jatah ekspor kopi yang tidak adil. Beberapa eksportir, sebagaimana dikutip harian Suara Karya Senin lalu, mengeluh karena tidak mendapatkan tambahan jatah ekspor secara adil dari Departemen Perdagangan. Eksportir kopi terbesar di Sumatera Utara, PT Multisarwa Harapan, malah mengeluh sulit memenuhi kuota ekspor 200 ton kopi setiap kuartal. Direkturnya, Haji Tengku Daniel, mengatakan, para petani kopi di Sumatera Utara masih enggan menerima kenyataan jatuhnya harga kopi. Untuk memenuhi kuota itu, Multisarwa Harapan terpaksa membeli dengan harga rugi. Pekan lalu, kata Tengku Daniel, perusahaannya masih membeli kopi Arabika dengan harga Rp 3.000, dan kopi Robusta Rp 2.050 per kg. "Bila keadaan ini berlangsung terus, banyak eksportir yang akan gulung tikar," tuturnya. Direktur Multisarwa Harapan yang pernah menjadi Ketua AEKI Sumatera Utara itu menduga, harga kopi di pasar internasional akan terus jatuh sampai Juni mendatang, saat Brasil mengalami panen raya kopi. Dugaannya, Brasil sengaja mengulur-ulur pelaksanaan kuota hingga bisa mencari devisa dengan ekspor kopi tanpa batas. "Bukankah Brasil tahun ini harus membayar utang luar negerinya US$ 68 milyar? katanya. M.W., Laporan Amir S. Torong (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini