Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gejolak inflasi negara maju mengancam perekonomian global.
Agenda suksesi The Federal Reserve bikin situasi serba tak menentu.
Gejala pembalikan dana asing mulai terlihat di Indonesia.
KETAKUTAN terhadap inflasi global makin mencekam. Sinyal tanda bahaya menyalak di mana-mana ketika per Oktober lalu inflasi tahunan di Amerika Serikat 6,2 persen, di Inggris 4,2 persen, dan di kawasan Uni Eropa 4,1 persen. Dalam standar negara-negara mapan, angka-angka inflasi itu sudah di luar batas toleransi dan memerlukan tindakan segera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika mengikuti pakem kebijakan moneter konservatif, tak ada cara menjinakkan inflasi setinggi itu selain menginjak rem ekspansi moneter sekuat-kuatnya. Bank-bank sentral, terutama The Federal Reserve, harus mengurangi suntikan likuiditas alias melakukan tapering lebih cepat. Suku bunga juga harus segera naik pada paruh pertama 2022, sebelum inflasi kian tak terkendali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun alarm inflasi itu masih belum menggoyahkan nyali The Fed. Dewan gubernurnya, di bawah pimpinan Jerome Powell, tetap yakin bahwa inflasi tinggi saat ini cuma sedang singgah, tak akan berlangsung lama. The Fed akan bersabar, tak terburu-buru menaikkan bunga.
Arah kebijakan The Fed ini memang masih berhasil menjaga stabilitas pasar finansial. Namun ada faktor politik yang kini mulai berperan. The Fed harus mengambil kebijakan moneter yang implikasinya sangat luas ke seluruh dunia ini di tengah proses suksesi. Powell akan mengakhiri masa jabatannya pada Februari 2022.
Kasak-kusuk politis pemilihan Ketua The Fed pun kian memuncak. Hari-hari ini, Presiden Joe Biden akan memutuskan: mengajukan lagi nama Powell untuk melanjutkan tugasnya atau mencalonkan ketua baru kepada Senat Amerika Serikat, yang akan memberikan restu terakhir.
Powell adalah Ketua The Fed pilihan Presiden Donald Trump, dengan dukungan Partai Republik. Kini malah Partai Demokrat yang mendorong agar Biden mempertahankan Powell. Kebijakan Powell selama masa pandemi Covid-19 dianggap berhasil menyelamatkan ekonomi dari krisis.
Sebaliknya, para pentolan Partai Republik tidak menyukai kebijakan moneter Powell yang mereka anggap terlalu longgar. Elizabeth Warren, Senator Partai Republik, bahkan menjulukinya “manusia berbahaya”. Dalam pandangannya, kebijakan Powell dapat menjerumuskan ekonomi Amerika ke dalam kesulitan besar.
Pilihan Biden dapat menjadi isyarat penting yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial global dalam beberapa pekan ke depan. Jika Biden mempertahankan Powell, besar kemungkinan kebijakan suku bunga yang lebih sabar itu akan berlanjut. Jika ada calon anyar, pasar tentu harus berhitung ulang, memperkirakan ke mana arah kebijakan The Fed di tangan bos baru.
Sentimen negatif tarik-ulur politik dan pilihan kebijakan moneter itu tentu menjalar pula ke pasar Indonesia. Jika melihat derasnya arus masuk devisa semenjak awal tahun, seharusnya nilai rupiah hari-hari ini sudah menguat secara signifikan. Neraca transaksi berjalan Indonesia pada akhir kuartal III 2021 telah membuat kejutan, positif US$ 4,47 miliar. Neraca perdagangan bulanan juga kembali mencatat rekor surplus terbesar sepanjang sejarah, yakni US$ 5,7 miliar per Oktober 2021. Namun nilai rupiah sebulan terakhir tak kunjung melompat lebih kuat dari kisaran 14.200 per dolar Amerika.
Pasar finansial Indonesia masih terpengaruh kekhawatiran akan naiknya suku bunga ataupun tapering. Dana investasi asing di Indonesia, terutama di pasar obligasi pemerintah, pelan tapi pasti terus menyusut, menjadi Rp 924 triliun per 15 November 2021. Angka ini tak jauh berbeda dengan posisi per Maret 2020, ketika pasar terguncang keras di awal masa pandemi.
Di pasar saham, dana asing juga mulai berbalik mengalir keluar. Dalam sepekan terakhir hingga Jumat, 19 November lalu, secara neto dana asing yang keluar mencapai Rp 2,41 triliun, mengindikasikan terjadinya pembalikan dari situasi sebelumnya yang cenderung positif. Untungnya, investor lokal kini sudah mendominasi Bursa Efek Indonesia sehingga keluarnya investor asing tidak membuat pasar bergejolak.
Sentimen negatif inilah yang perlu menjadi perhatian serius. Jika ini memang titik awal pembalikan arus investasi portofolio ke Indonesia, pasar finansial di dalam negeri harus bersiap menghadapi tekanan berat hingga akhir tahun depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo