Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kenaikan harga komoditas dunia jadi berkah sekaligus masalah.
Inflasi datang bersamaan dengan mengetatnya likuditas dan melonjaknya suku bunga global.
Presiden perlu melakukan tindakan konkret untuk mengurangi dampak gejolak inflasi.
BADAI itu sebetulnya sudah mulai terbentuk ketika ekonomi dunia pulih dengan cepat setelah wabah Covid-19 mereda. Ada lonjakan permintaan segala macam barang, sementara penambahan pasokan tak cukup cepat mengimbanginya. Sebulan terakhir, invasi Rusia ke Ukraina memperburuk kesenjangan itu. Harga berbagai komoditas penting, terutama pangan dan energi, pun melayang tak terkendali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guncangan harga komoditas karena perang memang membawa rezeki mendadak bagi Indonesia. Namun durian runtuh tak merata. Korporasi besar, terutama produsen minyak sawit, batu bara, dan nikel, menerima nikmat terbesar. Labanya naik berlipat-lipat. Sementara itu, yang paling menderita adalah konsumen berpenghasilan tetap. Daya beli mereka merosot tergerus inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tak akan mampu mencegah kenaikan harga-harga itu. Misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga Pertamax bulan lalu tak akan menyelesaikan persoalan. Jika tak ingin kondisi keuangan PT Pertamina (Persero) makin berantakan, pemerintah harus mengizinkan harga berbagai jenis BBM lain segera ikut naik. Menimbang kondisi anggaran, opsi menambah subsidi mustahil diambil. Selain kenaikan harga BBM, peningkatan serempak harga berbagai komoditas pangan di pasar dunia tak akan tertahan, bakal mendongkrak harga di pasar dalam negeri.
Persoalan makin rumit karena Indonesia harus menghadapi badai inflasi bersamaan dengan pengetatan likuiditas global dan naiknya suku bunga. The Federal Reserve sudah pasti akan mengambil kebijakan super-agresif demi menjinakkan inflasi tahunan di Amerika Serikat yang pada Februari lalu telah menyentuh 7,9 persen, tertinggi dalam empat dekade terakhir.
Dus, bunga rujukan The Fed akan naik lebih tinggi dalam beberapa bulan ke depan. Pada saat yang sama, The Fed juga akan menyedot likuiditas dengan lebih kencang. Kebijakan moneter Amerika ini jelas berdampak besar pada pasar finansial di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia bisa mengalami kesulitan mencari utang—dengan menjual obligasi—untuk membiayai defisit anggaran. Setidaknya, jika menginginkan obligasinya laku, pemerintah harus memberi imbalan bunga lebih besar.
Pada gilirannya, Bank Indonesia pun harus menyesuaikan kebijakan moneternya. Tak mungkin lagi BI terus menahan suku bunga rujukannya ketika inflasi di dalam negeri meninggi dan pasar global bergejolak karena bunga naik serta likuiditas ketat. Kenaikan bunga BI akan merembet ke perbankan. Bunga pinjaman ikut naik, biaya modal korporasi pun meningkat. Bunga kredit konsumsi, seperti pinjaman rumah dan kredit kendaraan, akan terdorong naik pula sehingga menurunkan daya beli konsumen. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi melambat.
Kenaikan harga dan melambatnya ekonomi sungguh merupakan kombinasi buruk yang berpotensi melahirkan kegalauan massal. Jika muncul pula antrean panjang untuk mendapatkan BBM, minyak goreng, atau komoditas lain, makin mudah keresahan itu tersulut menjadi protes politik.
Persoalan berat ini tak akan selesai dengan teguran presiden kepada para menteri yang dianggap tak berempati pada kesusahan masyarakat. Kurangnya penjelasan juga bukanlah inti persoalan. Ketika ekonomi memburuk, khalayak ramai akan melontarkan tuntutan lebih keras agar pemerintah bertindak konkret untuk memperbaiki keadaan. Ini bukan masalah sosialisasi atau komunikasi.
Sebetulnya, presiden dengan mudah dapat memberi contoh satu bentuk empati yang nyata: menghentikan segera proyek ibu kota baru. Sulit untuk mengatakan presiden berempati jika tetap melanjutkan pembangunan istana barunya yang megah ketika wong cilik sedang susah terimpit kenaikan harga.
Masih ada waktu jika pemerintah mau segera mengubah fokus. Proyek-proyek mercusuar infrastruktur bisa menunggu. Segala sumber daya, baik pikiran maupun finansial, sebaiknya mengarah ke penyiapan berbagai jaring penyelamat sosial. Ketika kesulitan hidup masyarakat memuncak karena kenaikan harga, sedikit-banyak pemerintah bisa lebih siap meringankannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo