Herwidyatmo menghela napas panjang. ”TEMPO disuruh siapa, sih?” tanyanya kemudian dengan nada penuh selidik. Nada suara Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) ini terdengar agak khawatir. Pasalnya, ia menilai pasar sudah mulai tenang.
Padahal pertanyaannya sederhana: jadikah Bapepam mengeluarkan aturan mengenai ”marked to market” dalam penghitungan nilai aktiva bersih (NAB) reksadana?
Istilah itu memang sempat meroket saat badai redemption (penarikan dana) melanda reksadana bulan lalu. Penarikan pada reksadana—investasi dalam bentuk obligasi negara—itu salah satunya dipicu oleh perubahan cara penghitungan nilai aktiva bersih oleh beberapa manajer investasi.
Manajer investasi seharusnya meng-hitung nilai aktiva bersih berdasarkan nilai wajar (fair value) dari obligasi yang diinvestasikan. Tapi sebagian besar malah mematok nilai wajar itu dari harga beli yang selalu tetap, hanya ditambah capital gain atau capital loss plus bunga.
Akibatnya, jika dari nilai aktiva bersih itu dibuat grafik, akan terbentuk garis lurus yang selalu naik, walau harga obligasinya naik-turun. Mereka beralasan, pasar obligasi belum likuid sehingga sulit untuk menentukan berapa sebenarnya harga pasar dari surat utang itu.
Namun beberapa manajer investasi, seperti PT Meespierson Finas Investment Management, berpendapat berbeda. Pasar sudah bisa dianggap likuid karena transaksi sudah mulai ramai, dari se-belumnya 2-3 kali sebulan menjadi 20-25 kali sehari. Selain itu, nilainya sudah puluhan triliun, sehingga tidak sulit lagi untuk menentukan harga patokan dari obligasi pemerintah secara harian.
Akhirnya, mereka mulai mengubah penghitungan dengan cara marked to market. Maksudnya, harga obligasi ditentukan berdasarkan harga pasar secara harian, sehingga nilai aktiva bersihnya pun naik-turun sesuai dengan harga obligasi yang berlaku pada hari itu. Inilah yang membuat investor panik karena kaget melihat tingkat pendapatannya turun.
Kehebohan itulah yang membuat Bapepam turun tangan. Sebenarnya, kata Herwidyatmo, hal itu sudah diatur dalam Peraturan IV.C.2. Di situ disebutkan bahwa penghitungan nilai aktiva bersih reksadana harus menggunakan nilai pasar wajar yang ditentukan oleh manajer investasi. ”Aturannya sebenarnya sudah jelas. Cuma, yang disebut wajar itu yang seperti apa? Ini yang mau kami kaji.”
Tidak adanya patokan yang tegas dari Bapepam ini membingungkan investor. ”Lo, Bapepam kan regulator. Seharusnya segera merumuskan apa yang dimaksud dengan nilai wajar itu,” kata Satino, Wakil Ketua Asosiasi Dana Pensiun.
Dana Pensiun, kata Satino, akhirnya enggan menggunakan jasa manajer investasi. Mereka terpaksa menggunakan harga transaksi terakhir di Bursa Efek Surabaya, walau itu pun tak selalu sesuai dengan nilai pasar sebenarnya. ”Hanya itu yang bisa dipertanggungjawabkan ke akuntan publik.”
Ketua Bapepam awal November lalu berjanji akan menyempurnakan aturan yang mewajibkan penggunaan metode itu dalam waktu dua minggu. Nyatanya, hingga menjelang akhir tahun, rencana penyempurnaan itu tak terdengar lagi kabarnya. Tidak jadi? ”Tidak, kami sedang berfokus pada permasalahan yang jauh lebih besar, yakni mempersiapkan pasar sekunder,” tuturnya.
Keberadaan pasar itu jauh lebih penting karena 80 persen portofolio reksadana berupa surat utang negara. ”Tanpa pasar sekunder, bagaimana mau marked to market? Kan, juga bingung.”
Pihak pengelola reksadana pun masih belum sepaham. Menurut Presiden Direktur PT Meespierson Finas Investment Management, Izakia Mahdi, sebenarnya aturan Bapepam sudah jelas.
Ada dua cara untuk menentukan nilai pasar wajar. Pertama, jika efeknya aktif diperdagangkan, digunakan harga ter-akhir perdagangan di pasar. Sebaliknya, jika tak aktif, patokannya adalah harga perdagangan pasar yang terakhir atau dibandingkan dengan efek serupa. ”Itu yang disebut marked to market. Jadi, bukan nilai yang dipatok berdasarkan harga beli, yang bunganya di-accrual atau diperhitungan terus setiap hari.”
Karena itu, ia tak bisa menerima alasan Bapepam bahwa penghitungan dengan cara marked to market belum bisa berjalan karena pasar sekundernya belum siap. ”Ah, itu nonsens!” ujarnya.
Penundaan yang berlarut, kata Izakia, bisa menjadi bumerang. ”Jika suatu saat terjadi penarikan dana besar-besaran, bagaimana manajer investasi (yang tidak menggunakan marked to market) bisa membayar kepada nasabahnya?”
Meskipun begitu, Ketua Asosiasi Pengelola Reksadana Indonesia, Adler Manurung, berpendapat, metode itu tak bisa dipaksakan sekarang. Alasannya, pasar belum efisien dan nilai dana yang diinvestasikan melalui reksadana masih kecil. ”Setidaknya butuh waktu 4-5 tahun lagi, baru bisa diterapkan benar-benar.”
Analis pasar Lin Che Wei menilai, langkah Bapepam bisa dimaklumi karena sebagian besar pengelola reksadana tak melaksanakan marked to market. ”Bapepam mungkin khawatir, jika aturan itu langsung diterapkan saat ini, akan banyak sekali yang mati.”
Meski begitu, Bapepam tak bisa lama-lama berpangku tangan. ”Ibarat kanker, harus segera diputuskan kapan mau dioperasi,” kata Lin Che Wei.
Caranya adalah segera mempertegas batas waktu toleransi untuk manajer investasi yang belum melakukan marked to market. Tanpa itu, ”Bisa berbahaya kalau terjadi penarikan dana besar-besaran lagi.”
Apalagi, ia menambahkan, kredibilitas Bapepam dalam hal ini memang sedang dipertaruhkan. Pasalnya, metode itu adalah tren dunia saat ini. Bahkan pengawas pasar modal Amerika Serikat sedang me- lakukan investigasi serius terhadap perusahaan yang tidak menggunakan metode ini.
Jadi, sekarang memang terserah Bapepam bagaimana mengatur reksadana ini. Yang jelas, dana yang dikelola oleh manajer reksadana hingga September tahun lalu sudah mencapai Rp 85,87 triliun atau hampir seperempat total anggaran belanja negara Indonesia. Suatu jumlah yang tidak bisa dianggap enteng jika terjadi penarikan dana besar-besaran oleh para investor reksadana.
Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini