Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dalam Belitan Utang Busuk

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGEPOK berkas itu dikirim dari Markas Besar Kepolisian RI ke meja Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Jumat pekan silam. Hasil pemeriksaan polisi selama tiga bulan itu seakan antiklimaks bagi kehidupan Edy Santoso, mantan Kepala Pelayanan Konsumen Luar Negeri di Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. Edy kini terganjal sangkaan gawat: otak pelaku pembobolan Rp 1,7 triliun di bank milik pemerintah itu. Edy tak sendiri, memang. Dalam satu berkas itu terjerat dua tersangka lain: Kepala Cabang Bank BNI Kebayoran Baru, Koesadiyuwono, dan Manajer Operasional Nirwan Ali. Mereka dihadang pasal berlapis: korupsi, pencucian uang, pemalsuan surat, dan kejahatan perbankan. Polisi mengajukan 35 saksi dan dua bundel tebal fotokopi dokumen barang bukti. "Itu berkas hasil pemeriksaan tahap pertama," ujar juru bicara Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman. Penuturan sejumlah tersangka kepada polisi, yang bocorannya diperoleh TEMPO, memang banyak menuding Edy. Bekas pegawai teladan yang telah mengabdi lebih dari 22 tahun ini disebut sebagai penggagas bocornya duit dari BNI. Caranya: memberikan kredit ekspor fiktif. Dan tudingan itu bukan tanpa sebab. Edy pernah mengucurkan kredit kepada empat perusahaan, jauh sebelum Gramarindo menerima servis yang sama. Disebutkan, tercatat ada Scott Eksportir, perusahaan yang bertransaksi dengan BNI Kebayoran Baru pada 2001. Sayang, jumlah duitnya belum terungkap. Lalu ada PT Mahesa Group, milik pengusaha Rudy Sutopo, yang kecipratan US$ 5,4 juta pada Maret 2002. Sebulan kemudian, giliran PT Petindo Ekspor, milik pengusaha John Hamenda, kebagian US$ 8,9 juta. Lalu, pada Februari 2003, John kembali mendulang nikmat kredit senilai US$ 12,5 juta, lewat PT Jaka Saktibuana. Sial bagi Edy, utang itu tak terbayar dan membusuk menjadi bad debt. Gara-gara perkara itu, John dan Rudy kini meringkuk di sel Mabes Polri. Mereka termasuk dalam daftar 16 tersangka pembobol Bank BNI yang kini dibidik polisi. Dibelit beban bad debt itu, Edy lalu putar otak. Dia pun melirik Gramarindo Group, yang secara aset dinilainya cukup layak. Dia menawarkan skema pendanaan cara diskonto wesel ekspor berjangka (DWEB) berjaminan aset tetap kepada Gramarindo. Apalagi, di mata bank, Gramarindo pengutang yang seksi. Perusahaan itu punya aset besar untuk jaminan: tujuh gunung marmer di Nusa Tenggara Timur. Bagi Gramarindo, skema yang ditawarkan Edy tak ubahnya rezeki nomplok. Mengapa pula harus ditolak? Maka mengucurlah kredit senilai Rp 861 miliar kepada delapan anak perusahaan kelompok usaha itu. Edy berharap putaran duit itu bisa menyelamatkan BNI dari belitan bad debt. Namun inilah catatan hitam Edy. Setiap transaksi letter of credit (L/C) biasanya diawali kontrak antara eksportir dan importir. Tapi dalam kasus ini justru sebaliknya. Eksportir pelaksana tak kenal dengan importir secara nyata. Pendek kata, kontraknya palsu. Belakangan terungkap pula, ada aliran dana yang menyembur ke satu perusahaan asal Singapura, Cadmus Pacific. Nilainya cukup besar: US$ 32 juta. Anehnya, tak seorang tersangka pun mengenal perusahaan ini. Kecurigaan kepada Edy pun memuncak. Kata para tersangka—mereka menolak namanya dikutip—hanya pegawai bank seperti Edy yang mampu menjalankan skema L/C fiktif itu. Selain menyiapkan kontrak fiktif, Edy disebut lihai main sulap dokumen. Dokumen L/C itu, misalnya, dikirim sendiri olehnya. Tapi, karena sudah ada niat patgulipat, dokumen itu tak pernah sampai ke bank alamat (issuing bank). Masih kata mereka, hanya orang bank pula yang bisa memutuskan dana cair meski ekspornya fiktif. Tapi, lewat Pengacara Taufik Rahman, Edy membantah keras pernah memalsukan dokumen. Soal dokumen ekspor itu dipakai untuk mengucurkan duit dengan cara diskonto, ini perkara lain. "Toh, tak ada larangan di BNI bahwa L/C bisa dipakai untuk diskonto," ujar Taufik. Kesalahan Edy, kata Taufik, adalah lalai mencatat bank koresponden dalam kredit ekspor. Seharusnya bank koresponden itu sudah pernah bekerja sama dengan BNI. Bank yang dicatatkan Edy justru tak punya hubungan dengan BNI. Bukankah itu sama dengan penipuan? "Ini soal lemahnya pengawasan," kata Taufik. Nezar Patria, Dewi Retno (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus