Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dua Rancangan Satu Napas

Dewan Perwakilan Rakyat menggulirkan rencana pembahasan revisi Undang-Undang Bank Indonesia yang dikhawatirkan akan menggerus independensi bank sentral. Sarat kepentingan pemerintah.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
(Dari kiri) Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua dari kiri), Gubernur BI Perry Warjiyo, dan Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah, memberikan keterangan pers terkait dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Januari 2019. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sibuk menyanggah untuk menenangkan pasar.

  • Berawal dari kekecewaan Istana Negara.

  • Suara pemerintah dalam draf RUU Bank Indonesia versi parlemen.

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati memulai konferensi pers pada Jumat sore, 4 September lalu, dengan membawa-bawa nama Presiden. Didampingi sejumlah pejabat eselon I Kementerian Keuangan, Sri membuka konferensi itu dengan mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo memintanya menjelaskan posisi pemerintah terhadap rencana reformasi stabilitas sistem keuangan. “Penjelasan Presiden sudah jelas bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif, dan independen,” kata Sri.

Satu jam sebelum Sri berbicara kepada awak media secara virtual, Jokowi membicarakan topik yang sama di hadapan sejumlah pemimpin redaksi media massa yang diundang ke Istana Kepresidenan Bogor. Tak hanya menerangkan rencana reformasi sistem keuangan, dia juga memaparkan rencana perubahan Undang-Undang Bank Indonesia yang digulirkan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 31 Agustus lalu.

Rencana reformasi sistem keuangan sudah ramai dibicarakan publik dua bulan terakhir. Namun rencana revisi Undang-Undang Bank Indonesia jelas telah menambah kekhawatiran pelaku pasar dan pengamat ekonomi. Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan, Jumat, 4 September lalu, bertengger di level 14.865 per dolar Amerika Serikat, ambles 1,6 persen dibanding posisi awal pekan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) dan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi Keuangan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 24 Agustus lalu. Antara/Reno Esnir

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Bank Indonesia merupakan inisiatif DPR, belum dibahas dengan pemerintah. “Posisi pemerintah adalah kebijakan moneter BI harus kredibel dan independen,” tutur Jokowi.

Tergerusnya independensi BI mendominasi kekhawatiran investor terhadap isu revisi Undang-Undang Bank Indonesia. Masalah ini seolah-olah menutupi rencana lain yang juga muncul dalam draf kasar rancangan revisi yang disiapkan Badan Legislasi, seperti penarikan kembali wewenang pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan kepada bank sentral.

Draf itu, misalnya, mencantumkan rencana pembentukan dewan moneter. Forum keputusan tertinggi bank sentral ini akan diketuai oleh seorang menteri. Jika mengikuti naskah mentah ini, BI bisa dibilang berada di bawah eksekutif, persis seperti era Orde Baru. Perdebatan mengenai pasal ini bahkan datang dari lingkup internal Badan Legislasi.

“Anda yang membuat naskah ini?” tanya anggota Badan Legislasi dari Fraksi Demokrat, Benny K. Harman, setelah tenaga ahli badan tersebut, Widodo, pertama kali membacakan naskah awal perubahan Undang-Undang Bank Indonesia dalam rapat, Senin, 31 Agustus lalu.

“Bukan, saya baca tok, Pak,” Widodo menjawab.

“Saya ingin berdiskusi dengan yang membuat naskah ini. Kalau memang begitu, tidak saya lanjutkan pertanyaan saya,” ujar Benny, menimpali.

Saat dihubungi Tempo, 4 September lalu, Benny menuding penyusun naskah awal rancangan undang-undang tersebut tidak lain adalah pihak pemerintah. “Pastilah Istana melalui jejaring kekuasaan di DPR,” ucap Benny.

•••

RENCANA mereformasi sistem keuangan menyeruak dalam pembicaraan publik sejak awal Juli lalu. Kala itu beredar kabar bahwa Istana sedang menimbang rencana mengembalikan pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia. Sumber di lingkungan Istana menyebutkan ide ini muncul karena akumulasi kekecewaan Joko Widodo terhadap kinerja OJK dalam mengawasi industri perbankan.

Presiden, kata sumber ini, di antaranya kecewa atas penanganan Bank Muamalat. Dalam sejumlah laporan OJK kepada Presiden, masalah pencarian investor baru buat Muamalat disebut sudah beres dan tinggal mengurus keperluan administrasi. Namun peralihan kepemilikan Muamalat tak kunjung terjadi.

Presiden, masih menurut sumber ini, juga kecewa atas penanganan PT Bank Bukopin Tbk. OJK dianggap tak tegas menangani masalah permodalan Bukopin yang sebenarnya sudah mencuat pada 2018, ketika bank itu harus merevisi laporan keuangan mereka dalam tiga tahun ke belakang. Dua masalah tersebut, ditambah kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero), membuat kejengkelan Jokowi terhadap OJK menjadi seleher.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, dalam wawancara dengan Tempo, Kamis, 27 Agustus lalu, mengatakan pengawasan bank oleh lembaganya sudah memadai. Buktinya, dia menjelaskan, masalah-masalah bank yang mencuat merupakan hasil pengawasan mereka. “Tapi kami tidak pernah mengumumkan masalah itu,” tutur Wimboh.

Menurut dia, sesuai dengan aturan, OJK selalu meminta pemilik yang menyelesaikan persoalan banknya. Bila pemilik tidak mau atau tidak mampu, Wimboh melanjutkan, baru OJK meminta pemilik lain sebagai sesama pemegang saham. “Kalau semuanya enggak mau, ya sudah, baru bisa kami taruh ke Lembaga Penjamin Simpanan,” ujarnya.

Ketika pandemi merebak, kejengkelan Jokowi merembet ke bank sentral. Kali ini penyebabnya adalah defisit anggaran yang membengkak untuk menangani dampak Covid-19. Bank Indonesia dianggap kurang mendukung pemerintah dalam urusan pembiayaan anggaran karena tak cepat merealisasi rencana pembelian Surat Berharga Negara oleh bank sentral di pasar perdana.

Dua sumber lain yang mengetahui polemik antara pemerintah dan BI ini mengungkapkan, pemicu lain muncul ketika Bank Indonesia menolak permohonan fasilitas pinjaman jangka pendek Bank Bukopin yang kalah kliring ketika didera penarikan dana simpanan nasabahnya. BI, kata sumber ini, menolak karena penilaian (appraisal) agunan yang diajukan tidak diperbarui. Hingga Sabtu, 5 September, Gubernur BI Perry Warjiyo belum menjawab pertanyaan Tempo mengenai sejumlah masalah tersebut.

Gara-gara akumulasi kekecewaan itulah, menurut sumber tadi, Jokowi sempat berpikir untuk mengganti bos di dua lembaga independen tersebut. “Caranya dengan merevisi undang-undangnya.”

Makanya, ketika pemerintah dan DPR merevisi program legislasi nasional (prolegnas) pada 2 Juli lalu, Rancangan Undang-Undang Bank Indonesia mulai masuk sebagai bagian dari Prolegnas 2020. Dua politikus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Gerakan Indonesia Raya yang mengikuti pembahasan di parlemen secara terpisah mengungkapkan bahwa pemerintah awalnya mengajukan dua rancangan undang-undang untuk dimasukkan ke prolegnas, yaitu RUU Landas Kontinen Indonesia dan RUU BI. Pemerintah, yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, akhirnya menyepakati RUU BI menjadi usulan DPR lewat Badan Legislasi (Baleg). Walau begitu, naskah akademik dan draf RUU tersebut berasal dari pemerintah. “Pemerintah meminjam tangan Baleg,” ucap seorang politikus.  

Dua sumber Tempo ini juga menuturkan, adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) yang menyusun naskah awal tersebut. Tak lama setelah kesepakatan 2 Juli itu, Bappenas merampungkan draf pada 10 Juli dengan judul “Usulan Perubahan Undang-Undang Bank Indonesia (Termasuk Pengalihan Kembali Tugas Pengaturan dan Pengawasan Bank ke Bank Indonesia)”. Tempo memperoleh salinannya. Dokumen ini juga dilengkapi dengan naskah akademik yang dibubuhi tanda “Draft Ver.1”.

Naskah inilah yang menjadi roh draf RUU yang dibacakan Widodo dalam rapat Badan Legislasi, Senin, 31 Agustus lalu. Isinya sama belaka meski ada sejumlah perbedaan minor. Dewan moneter di draf Baleg, misalnya, bernama komite kebijakan moneter dalam naskah Bappenas.

Ketika dihubungi Tempo, Jumat, 4 September lalu, Yasonna tidak menjawab ketika ditanyai soal kesepakatan 2 Juli itu. Sedangkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa membantah kabar bahwa kementeriannya yang ditugasi menyusun naskah itu. Menurut Suharso, RUU BI adalah usulan DPR, bukan pemerintah. “Wis ora usum (sudah tidak zaman) seperti itu,” kata Suharso lewat sambungan telepon, Jumat, 4 September lalu.

Namun Suharso mengakui pernah menjadi narasumber Fraksi Partai Persatuan Pembangunan—partai yang dia pimpin—dalam diskusi tentang RUU BI. Diskusi itu juga berlangsung pada Juli. “Kalau itu (bahan) sudah jadi properti DPR, ya tanya ke DPR,” tutur Suharso. “Kalau kemudian mereka bawa ke Baleg dan diusulkan, itu sudah jadi hak politik mereka.”

Wakil Ketua Badan Legislasi yang berasal dari Fraksi PPP, Ahmad Baidowi, juga membantah kabar bahwa naskah yang dibacakan tenaga ahli Baleg berasal dari Bappenas. Senada dengan Suharso, Baidowi mengatakan partainya pernah menggelar diskusi di ruang fraksi pada Juli lalu. “Menurut Kepala Bappenas, BI memang kurang berperan di penanganan pandemi ini,” ujar Baidowi saat dihubungi pada 4 September lalu.

Baidowi mengklaim naskah versi Baleg disusun oleh tenaga ahli. Penyusunan dilakukan di ruang rapat pimpinan Baleg, Kamis, 27 Agustus lalu. “Saya hanya menuangkan pokok-pokok pikiran saya yang berasal dari diskusi dengan Bappenas,” ucapnya.

Lalu kenapa isinya nyaris sama dengan naskah dari Bappenas? “Saya tidak tahu. Bisa jadi tenaga ahli Baleg dapat bahan dari mana saja.”

•••

REVISI Undang-Undang Bank Indonesia memang lebih dulu bergulir. Namun yang digadang-gadang pemerintah justru reformasi stabilitas sistem keuangan lewat penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan rencana pemerintah itu dalam sesi diskusi pada 27 Juli lalu.

Rupanya, seusai rapat kerja dengan Komisi Keuangan DPR, tiga hari sebelumnya, Sri juga mengungkapkan rencana penerbitan perpu itu kepada parlemen. “Sri Mulyani mengatakan pemerintah mungkin tidak sabar, mau mengeluarkan peppu soal ini,” kata Hendrawan Supratikno, anggota Komisi Keuangan dari PDI Perjuangan, saat mengikuti rapat pembacaan naskah awal RUU BI di Baleg, Senin, 31 Agustus lalu.

Munculnya rencana penerbitan perpu ini pula yang memicu Baleg buru-buru meluncurkan naskah RUU BI. Sejumlah politikus di parlemen menganggap strategi ini bertujuan mengingatkan pemerintah bahwa DPR masih ada dan menjadi rekan wajib dalam penyusunan undang-undang. “Pemerintah pasti akan menghargai tugas DPR sebagai penyusun undang-undang,” tutur Heri Gunawan, politikus Gerindra di Komisi Keuangan.

Munculnya naskah awal RUU BI versi Baleg itu memaksa pemerintah membuka banyak hal kepada publik, termasuk soal konsep rencana penerbitan perpu tentang reformasi stabilitas sistem keuangan yang sedang disiapkan pemerintah. Pada Jumat, 4 September lalu, Sri menyatakan pemerintah sedang mengkaji penguatan kerangka kerja stabilitas sistem keuangan agar lebih efektif menangani masalah pada lembaga jasa keuangan dan pasar keuangan.

Kerangka tersebut antara lain bertujuan menciptakan sistem koordinasi antarlembaga dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar dapat menganalisis dan mengenali potensi permasalahan sektor jasa keuangan. Sri juga membeberkan upaya pemerintah yang sedang mengkaji penyatuan pengaturan makroprudensial yang selama ini ditangani BI dan mikroprudensial yang meliputi pengawasan perbankan oleh OJK. “Indonesia pernah menerapkan sistem di mana otoritas pengawas bank dan otoritas moneter berada dalam satu atap, serta sistem yang terpisah seperti saat ini,” ucap Sri. “Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dikaji secara lebih hati-hati dalam rangka memperkuat sistem pengawasan perbankan.”

Seorang pejabat di sektor keuangan dan seseorang yang dekat dengan Istana secara terpisah mengungkapkan kepada Tempo bahwa pemerintah membentuk dua tim untuk menyiapkan perpu tersebut. Tim pertama berasal dari KSSK di bawah komando Menteri Sri sebagai koordinator komite tersebut. “Ini isinya moderat,” kata sumber itu. Tim kedua berasal dari kementerian lain. “Yang ini progresif.” Kubu progresif, menurut sumber tadi, mengincar kemudahan penyaluran bantuan likuiditas dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang tengah mengalami seret dana.

Ditanyai soal kelanjutan rencana penerbitan perpu tersebut, Jokowi tidak memberikan jawaban pasti. Kepada para pemimpin redaksi di Istana, 4 September lalu, dia hanya mengatakan negara harus menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemerintah, Bank Indonesia, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan, kata Presiden, harus menjaganya bersama-sama dan hati-hati. “Hubungan BI dan OJK juga harus baik.” Pada Senin, 31 Agustus lalu, Jokowi menerima Perry Warjiyo dan Wimboh Santoso di Istana Bogor.

KHAIRUL ANAM, BUDI SETYARSO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus