Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELANGKAAN alat pelindung diri ditengarai menjadi penyebab hilangnya nyawa seratusan dokter dan perawat. Kementerian Kesehatan menolak melanjutkan kontrak dengan PT Permana Putra Mandiri yang mengirim alat pelindung diri ke Korea Selatan. Masih ada sekitar 2 juta helai dari pesanan 5 juta unit APD yang belum tersalurkan. Ditemui wartawan Tempo Devy Ernis, Raymundus Rikang, dan Nur Alfiyah di kantornya pada Jumat, 4 September lalu, Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Budi Sylvana menjelaskan soal pengadaan APD, termasuk penunjukan PT Brilian Cipta Nusantara, yang belakangan tak memiliki izin edar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana proses penunjukan pengadaan alat pelindung diri saat pandemi?
Kami melibatkan tim ahli seperti dari Rumah Sakit Persahabatan, Sulianti Saroso, dan Gatot Soebroto. Saya tunjukkan barang ke mereka, silakan mereka pilih mana yang nyaman. Itu dilakukan pengujian dulu, tembus droplet tidak. Jadi user yang memilih, bukan saya. Setelah dipilih tim ahli, saya lihat harganya. Harga komponen terakhir yang saya lihat.
Anda memesan 5 juta APD dari PT Permana, tapi 2 juta di antaranya tak terserap. Ada kekeliruan penghitungan?
Kebutuhan 5 juta itu berdasarkan kajian kami untuk pandemi ini. Akhir Maret lalu, tidak ada satu pun yang memproduksi, hanya perusahaan Korea itu. Ya, sudah, saya pesan 5 juta. Namun, dalam perjalanannya, dia hanya sanggup 2 juta dengan barang yang sudah disepakati. Kemudian dia ganti dengan merek lain. Beda, dong, ini bukan pesanan saya lagi. Akhirnya, saya buat preorder baru 1 juta lagi dengan kualitas yang dia kasih jauh berbeda. Saya ambil karena ketika itu belum banyak APD.
Pemerintah Korea Selatan bersurat untuk menyelesaikan persoalan itu. Apakah ini berpengaruh terhadap hubungan diplomatik?
Ini business to business, bukan diplomatik. Yang bersurat itu atase perdagangan, bukan duta besarnya. Mereka pasti menjembatani pengusaha Korea. Tapi, menyangkut pengadaan barang dan jasa, ikutilah mekanismenya.
Jadi Anda tak akan menyerap 2 juta APD itu?
Apa saya harus melanjutkan pembelian yang ada temuannya?
Temuannya seperti apa?
Ada dua temuan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Yang pertama kami serap 2 juta APD saat awal itu dinilai kemahalan Rp 666 miliar. Yang kedua 1 juta APD kemahalan Rp 48 miliar. Saya dituntut sama pengacaranya. Silakan saja. Kalau menurut pengadilan saya salah, saya akan beli. Mereka enggak terima karena saya koreksi harga terlalu tajam. Sebagai pejabat pembuat komitmen, saya sudah salah kalau ini dalam keadaan normal. Tapi ini kan pandemi, berbeda. Penyedia barang harus bertanggung jawab terhadap harga yang ditetapkan dan bersedia diaudit.
Anda membagikan kuota APD ke sejumlah perusahaan. Salah satunya PT Brilian Cipta Nusantara, yang tak punya izin edar. Anda tak mengecek itu?
Proses seleksi itu melibatkan BPKP, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dan inspektorat. Mereka semua yang mengecek administrasi. Saya kan hectic sana-sini. Mereka membantu saya memilih dari proses administratif. Saya diyakinkan LKPP dan BPKP bahwa semua administrasi lengkap. Saat itu, saya disodori berdasarkan penilaian yang sudah disusun bersama. LKPP dan BPKB lembaga yang kredibel untuk membantu saya dalam penilaian itu. Tanggung jawab ada di saya. Saya yang menetapkan, tapi proses seleksi itu teman-teman.
Anda merasa tertipu?
Kalau tahu dia menipu, akan saya tuntut dia. Tapi, dalam perjalanan, dia datang dan mengundurkan diri karena tak sanggup memproduksi dan ada masalah internal. Jadi, sebelum ada uang yang dibayarkan dan sebelum produksi, mereka sudah datang mengundurkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo