Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Bagaimana Pembangunan Smelter Freeport Berujung Denda

Badan Pemeriksa Keuangan menemukan persoalan dalam proyek smelter Freeport Indonesia. Lolos dari denda keterlambatan.

17 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Freeport Indonesia akan menyelesaikan pembangunan smelter di Gresik pada Mei 2024.

  • BPK menemukan kejanggalan dalam perencanaan proyek smelter.

  • Freeport seharusnya kena denda Rp 7,7 triliun, tapi lolos.

MENTERI Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menemukan momen yang pas untuk menagih kepastian penyelesaian pembangunan smelter atau pabrik pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur. Tatkala berbicara di podium dalam acara peresmian perluasan pabrik milik PT Smelting yang juga berlokasi di Gresik pada 14 Desember 2023, Erick menyindir Chairman Freeport-McMoRan Richard Adkerson yang tiba di sana dari Amerika Serikat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pada Mei 2024, is it correct, Mr Richard? I'm teasing him, Pak," kata Erick, disambut senyum dan acungan jempol Adkerson. Dalam video acara tersebut, tampak Presiden Joko Widodo yang duduk sederet dengan Adkerson ikut tersenyum. Erick lantas melanjutkan pidatonya dengan mengatakan pada Mei 2024 pembangunan smelter baru Freeport Indonesia di Kawasan Industri Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE), Manyar, Gresik, akan selesai dengan kapasitas produksi katoda tembaga 1,7 juta ton per tahun dan kapasitas produksi logam berharga 6.000 ton per tahun. “Hingga November ini kemajuannya sudah mencapai 83 persen,” tutur Erick.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika smelter baru di JIIPE terbangun, Freeport Indonesia akan memiliki fasilitas pengolahan mineral sebagai pendamping pabrik PT Smelting yang kini memiliki kapasitas produksi 1,3 juta ton per tahun, naik dari sebelumnya 1,1 juta ton per tahun. Pabrik di JIIPE berbeda dengan smelter milik PT Smelting yang berstatus hasil patungan Freeport dengan Mitsubishi Materials. Pada smelter PT Smelting yang beroperasi sejak 1999, Freeport-McMoRan menguasai 49 persen saham dan sisanya milik Mitsubishi.

Presiden Joko Widodo meresmikan ekspansi proyek smelter PT Smelting di Gresik, Jawa Timur, K14 Desember 2023. BPMI Setpres/Muchlis Jr

Bagi pemerintah, smelter di JIIPE adalah bagian dari "utang" yang harus segera diselesaikan oleh Freeport. Pendirian pabrik peleburan konsentrat tembaga dan emas itu adalah syarat dari pemerintah ketika memberikan izin usaha pertambangan khusus atau IUPK kepada Freeport Indonesia pada 21 Desember 2018. Agar mendapatkan IUPK yang berlaku hingga 2041, Freeport Indonesia harus membangun smelter berkapasitas 2 juta ton. 

Kewajiban itu kemudian dipecah menjadi dua jalan. Yang pertama berupa penambahan kapasitas pabrik PT Smelting sebesar 300 ribu ton, yang baru saja diresmikan. Jalan kedua adalah membangun smelter baru, yang diwujudkan dalam proyek di JIIPE. Jika semua smelter itu beroperasi penuh, Freeport Indonesia akan mengolah 3 juta ton konsentrat mineral di dalam negeri menjadi katoda tembaga, emas, serta perak batangan.

Sekilas langkah yang diambil Freeport Indonesia sudah tampak benar. Tapi rupanya Badan Pemeriksa Keuangan menemukan hal lain. Lembaga auditor negara itu menyelisik upaya Freeport Indonesia mengubah kurva S proyek smelter—grafik matematis yang menunjukkan tingkat kemajuan pembangunan pabrik pengolahan mineral itu. Manipulasi kurva S menunjukkan seolah-olah Freeport Indonesia sudah membangun smelter itu sesuai dengan target. Padahal yang terjadi, menurut BPK dalam laporan hasil audit yang terbit pada 8 Mei 2023, adalah sebaliknya. 

Gara-gara perubahan kurva S itu, Freeport Indonesia bisa lolos dari sanksi denda yang seharusnya mereka bayar karena tak menyelesaikan pembangunan smelter sesuai dengan target. Dalam hitungan BPK, Freeport seharusnya terkena denda keterlambatan hingga US$ 501,953 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun. Dendanya dua kali lipat lebih mahal dari biaya perluasan smelter PT Smelting yang mencapai US$ 250 juta atau Rp 3,8 triliun.

•••

BADAN Pemeriksa Keuangan sebetulnya sudah dua kali merilis hasil audit yang menyebutkan adanya potensi denda untuk Freeport Indonesia akibat keterlambatan proyek smelter Gresik. Dalam laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang terbit pada 7 Januari 2022, BPK mengungkap temuan potensi denda administrasi periode September 2020-September 2021 mencapai US$ 296 juta (Rp 4,594 triliun). Denda itu muncul karena tingkat kemajuan proyek yang tak sesuai dengan rencana, juga lantaran pada periode yang sama Freeport mendapatkan izin ekspor tembaga untuk membiayai pembangunan smelter.

BPK kemudian merekomendasikan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menghitung dan menetapkan potensi denda tersebut secara tegas dan konsisten, lalu menyetorkannya ke kas negara. Namun, hingga semester I 2022, Kementerian Energi tak kunjung menjalankan rekomendasi tersebut.

BPK lalu melanjutkan pemeriksaan atas laporan hasil verifikasi enam bulanan progres fisik pembangunan smelter Gresik. Dalam laporan hasil pemeriksaan yang terbit pada 8 Mei 2023, BPK mendapatkan sejumlah temuan penting, termasuk perubahan kurva S. Jika mengacu pada kurva S awal, per Juli 2020, tingkat kemajuan kumulatif pembangunan smelter Freeport di Gresik adalah 10,50 persen, lalu 28,73 persen pada Januari 2021, 34,1 persen pada Juli 2021, dan seterusnya hingga mencapai 100 persen atau siap beroperasi penuh pada Desember 2023.

Tapi, berdasarkan pemeriksaan fisik pada 13 Oktober 2021, tingkat kemajuan smelter itu 7,87 persen. Angka tersebut, menurut laporan BPK, adalah klaim Freeport sendiri dan belum diverifikasi oleh PT Surveyor Indonesia selaku verifikator independen yang ditunjuk. Jika mengacu pada kurva S awal, semestinya tingkat kemajuan pada Oktober 2021 mencapai 37,72 persen. Artinya, realisasi tingkat kemajuan cuma 20,86 persen. BPK memperkirakan—dengan menggunakan rencana bulanan Freeport—realisasi tingkat kemajuan sampai Februari 2022 hanya 13,43 persen. Angka itu jauh dari target yang seharusnya, yaitu 44,40 persen.

Presiden Jokowi dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas (ketiga kanan) meninjau proyek pembangunan pabrik smelter PT Freeport Indonesia, di Gresik, Jawa Timur, 20 Juni 2023. BPMI Setpres/Laily Rachev

Walhasil, tingkat kemajuan fisik smelter Gresik, jika dibandingkan dengan rencananya, tidak sampai 90 persen pada setiap periode verifikasi yang berlangsung enam bulan sekali, yaitu pada Januari dan Juli. Itu sebabnya, menurut BPK, Freeport seharusnya terkena denda keterlambatan pembangunan smelter sebesar 20 persen dari total ekspor yang mereka lakukan pada periode tertentu. Penghitungan denda ini memakai basis nilai ekspor karena pemerintah memberi Freeport tiket menjual konsentrat tembaga ke luar negeri sebagai penambal biaya pembangunan smelter.

Sebagai contoh, pada September 2021-Februari 2022, nilai ekspor konsentrat Freeport Indonesia mencapai US$ 2,509 miliar. Maka potensi denda keterlambatan pembangunan smelter periode itu mencapai US$ 501,943 juta. Persoalannya, menurut BPK, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tak pernah menjatuhkan denda tersebut. Di sini terjadi kekisruhan hitungan karena Freeport memakai basis kurva S yang telah mereka perbarui sehingga seolah-olah tak terkena denda. Padahal pemerintah menyatakan kurva S yang baru tidak berlaku surut alias tidak bisa digunakan untuk menjustifikasi kondisi yang sudah berjalan.

Pada 11 Februari 2022, Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi membalas permohonan perubahan kurva S Freeport pada 7 Februari 2022. Dalam surat itu, Kementerian Energi menyatakan Freeport dapat mengubah kurva S selama tidak memundurkan target kemajuan dan penyelesaian pembangunan smelter serta telah diverifikasi oleh verifikator independen, juga tidak berlaku surut. Artinya, verifikasi tingkat kemajuan smelter periode 2020-2022 harus tetap menggunakan kurva S lama. Verifikasi setelah itu barulah menggunakan kurva baru.

Kenyataannya, sepanjang 2020-2022, Freeport telah menggunakan kurva S baru untuk memverifikasi progres pembangunan smelter mereka. Sebagai contoh, dalam verifikasi proyek per Januari 2022, akumulasinya sudah mencapai 21,032 persen atau memenuhi target periode tersebut. Verifikasi itu menggunakan kurva baru. Padahal, jika memakai basis kurva S lama, target tingkat kemajuan pada Januari 2022 adalah 42,56 persen. Gara-gara kekisruhan hitungan ini, menurut laporan BPK, Freeport lolos dari denda keterlambatan. “Kondisi tersebut terjadi karena tidak adanya kejelasan apakah terdapat persetujuan perubahan rencana kemajuan fisik fasilitas pemurnian dan kapan perubahan kurva S tersebut dapat digunakan untuk menilai kemajuan fisik enam bulan,” demikian pernyataan BPK. 

BPK baru mendapat kejelasan dari Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi pada 12 Desember 2022. Dalam penjelasan yang diterima BPK, perusahaan dapat mengubah rencana pembangunan smelter setelah mendapatkan verifikasi dari verifikator independen. Tapi tetap saja kurva S yang baru tidak berlaku surut. Sebelum kurva S baru disetujui, verifikasi tetap harus menggunakan kurva S lama.  

Dalam laporan BPK disebutkan Freeport Indonesia baru mengajukan permohonan perubahan kurva S pada 10 Maret 2022 atau dua tahun setelah perusahaan itu memverifikasi tingkat kemajuan pembangunan smelter dengan kurva S baru. Kurva baru itu menyebutkan smelter akan beroperasi penuh pada Desember 2024 atau mundur setahun dari rencana dalam kurva S awal.

Skenarionya juga berubah. Alih-alih membangun satu smelter jumbo berkapasitas pengolahan 2 x 1 juta ton konsentrat, Freeport Indonesia akan membangun satu fasilitas raksasa berkapasitas 1,7 juta ton di JIIPE dan menambah kapasitas pengolahan pabrik PT Smelting sebanyak 300 ribu ton. 

Dua pejabat yang mengetahui masalah ini menjelaskan, Freeport sebetulnya sudah meminta perubahan kurva S saat pandemi Covid-19 menyerang Indonesia pada awal 2020. Hingga awal 2020, proyek masih lancar dan tak memerlukan perubahan kurva S. Namun, ketika terjadi pagebluk, semua berantakan. Tingkat kemajuan proyek pada Februari 2020 baru 4,8 persen. Target progres akumulatif pada Juli 2020 yang seharusnya 10,50 persen, jika mengacu pada kurva S awal, hanya tercapai 6,09 persen.

Pemerintah telah mengenakan denda pada Freeport atas keterlambatan pembangunan smelter pada periode ini. Executive Vice President External Affairs Freeport Indonesia Agung Laksamana mengatakan sudah membayar US$ 57 juta atau sekitar Rp 884 miliar. Sebetulnya, dalam hitungan awal Kementerian Energi, nilai yang harus dibayar Freeport sebesar US$ 150 juta atau Rp 2,32 triliun. Namun Freeport mengajukan permohonan banding karena merasa keterlambatan proyek disebabkan oleh pandemi yang berada di luar jangkauan mereka.

Jalan tengah muncul setelah terbit Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 104.K/ HK.02/ MEM.B/2021 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif Keterlambatan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral dan Logam pada Masa Pandemi Covid-19 pada 2021. Mengacu pada aturan itu, Freeport akhirnya cuma terkena denda US$ 57 juta.  

Setelah pandemi melanda, manajemen Freeport mengajukan permohonan perubahan kurva S kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral karena rencana awal yang mereka susun tidak rasional lagi. Sambil menunggu aturan yang memperbolehkan perubahan kurva, Freeport menjalankan proyek sesuai dengan kurva S baru yang telah mereka siapkan atas persetujuan Kementerian Energi. “Freeport dan Kementerian Energi sudah sadar bahwa kurva S lama tak bisa dijalankan,” kata seorang pejabat yang mengetahui persoalan ini.  

Baru pada 23 November 2020, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menerbitkan Peraturan Menteri Energi Nomor 17 Tahun 2020 yang merevisi peraturan tentang pertambangan dan pengusahaan mineral dan batu bara. Aturan ini mengizinkan perusahaan tambang mengubah kurva S proyek smelter setelah mendapatkan verifikasi dari verifikator independen.

Ketika peraturan baru itu terbit, Freeport mulai menjajaki perubahan kurva S, sebelum kemudian secara resmi mengajukan permohonan revisi kepada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara pada 7 Februari 2022. Permohonan resmi ini diajukan setelah poin-poin perubahan disetujui bersama. Menurut sumber tersebut, sempat terjadi tarik-ulur soal target waktu penyelesaian proyek smelter. “Titik temunya adalah penyelesaian konstruksi tetap pada Desember 2023 tapi baru mulai beroperasi pada Mei 2024,” ucap pejabat itu.

Restu pun terbit dari Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi pada 11 Februari 2022. Freeport lantas memakai kurva S baru tersebut pada 10 Maret 2022 sebagai acuan proyek smelter teranyar. Belakangan baru disadari bahwa surat restu dari Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral itu menyatakan perubahan kurva S tidak berlaku surut. Walhasil, kurva S lama tetap berlaku untuk verifikasi tingkat kemajuan proyek periode Juli 2020-Februari 2022, seperti dalam hasil pemeriksaan BPK yang dirilis pada Mei 2023.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi Agus Cahyono Adi mengatakan sedang berkoordinasi dengan BPK untuk mencocokkan nilai denda yang seharusnya dikenakan pada Freeport. Agus mengakui pemerintah berupaya realistis dengan dampak pandemi Covid-19 pada 2020-2022 yang mengganggu jalannya proyek smelter Freeport. “Semua pengadaan terhambat. Nanti ada evaluasi dan verifikasi independen untuk menjaga agar hitungan ini benar-benar akurat,” ujarnya pada 14 Desember 2023. “Kami diberi waktu untuk menyelesaikan, sedang dalam proses rekonsiliasi data.”

Sedangkan Executive Vice President External Affairs Freeport Indonesia Agung Laksamana mengatakan pembangunan smelter telah berjalan sesuai dengan jadwal revisi yang disepakati bersama pemerintah. “Hingga November, kemajuan pembangunan smelter sudah mencapai lebih dari 83 persen. Soal pembayaran keterlambatan, kami terus berkoordinasi dengan pemerintah,” katanya pada 15 Desember 2023.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ogah Didenda Kurva Direka".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus