Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPK menemukan penyimpangan target pembangunan smelter Freeport.
Pemerintah seharusnya mengenakan denda Rp 7,7 triliun terhadap Freeport.
Nilai tambah dari smelter Freeport berbeda dengan smelter nikel.
ANEKA masalah dalam proyek smelter PT Freeport Indonesia seharusnya menjadi jalan bagi Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi program penghiliran mineral. Alih-alih mendatangkan nilai tambah, kewajiban pembangunan smelter bisa berujung pada kerugian negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur, menjadi sorotan setelah Badan Pemeriksa Keuangan merilis laporan hasil audit kepatuhan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara periode 2020-triwulan III 2022. Dalam laporan tersebut, BPK menyatakan pemerintah seharusnya memungut denda kumulatif US$ 501,94 juta atau Rp 7,77 triliun kepada Freeport karena perusahaan itu gagal membangun smelter sesuai dengan target.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan itu menyatakan Freeport tidak tertib dalam penyampaian laporan hasil verifikasi kemajuan pembangunan smelter. Sebagai contoh, kewajiban penyampaian laporan verifikasi periode Agustus 2020-Januari 2021 baru dilaksanakan pada Maret 2022 atau ada jeda selama 13 bulan.
Padahal dalam periode tersebut Freeport terus mendapat rekomendasi ekspor tembaga dari pemerintah agar bisa membiayai pembangunan smelter yang bernilai US$ 3 miliar atau Rp 46,5 triliun itu. Patut diduga Freeport tak serius menyelesaikan kewajibannya. Sedangkan pemerintah lalai mengawasi dan malah memberikan kelonggaran berupa izin ekspor.
Fakta-fakta ini juga menjadi bukti banyaknya persoalan dalam regulasi tambang, khususnya tentang program penghiliran melalui pembangunan smelter yang diatur dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Masalah pertama adalah inkonsistensi penerapan aturan. Hal ini tecermin dari kealpaan pengenaan denda dan pemberian izin ekspor meski target pembangunan smelter tak tercapai.
Masalah lain adalah kebijakan yang salah sasaran sehingga tujuan program penghiliran mineral tak tercapai. Awalnya, pemerintah berharap proyek smelter bisa memberikan nilai tambah pada hasil tambang sekaligus mendatangkan efek berganda, seperti penyerapan tenaga kerja. Tapi pemerintah lupa, nilai tambah bisa didapatkan apabila ada industri hilir yang menyerap produk smelter. Ini yang bakal memicu persoalan dalam bisnis pertambangan, yang seharusnya memberikan manfaat besar bagi publik.
Dalam konteks smelter Freeport, nilai tambah dari pengolahan konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga masih di bawah 10 persen. Berbeda dengan smelter nikel yang mengolah bijih menjadi nickel matte, yang bisa memberikan nilai tambah 10 kali lipat. Potensi penyerapan produk smelter nikel juga tinggi karena industri hilir yang akan memanfaatkannya lebih banyak, dari pabrik baja hingga pabrik baterai kendaraan listrik. Sedangkan ekosistem industri hilir yang menyerap katoda tembaga masih minim. Itu sebabnya pembangunan smelter tembaga seperti milik Freeport hanya akan menjadi proyek rugi.
Melihat fakta ini, Jokowi tidak perlu malu mengevaluasi kembali ambisinya dalam program penghiliran mineral. Jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi gengsi dan ditunggangi. Pemerintah harus bijak dalam menentukan kebijakan penghiliran karena perhitungan manfaatnya tak bisa dipukul rata untuk semua komoditas tambang.
Berharap menguntungkan, pemaksaan pembangunan smelter bisa jadi berujung pada kerugian. Jangan lupa, kerugian Freeport kini bakal membebani anggaran, mengingat pemegang saham mayoritasnya sekarang adalah Mind Id, holding tambang milik negara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ambisi Hilirisasi Berujung Rugi"