PERSOALAN bermula dari tulisan Michael Malik berjudul New Light on Detentions (FEER 17 Desember 1987), yang ingin mengungkapkan hal baru tentang para tahanan di Singapura. Tersebutlah sebuah konperensi pers yang dihadiri oleh PM Lee dan pemimpin Gereja Katolik di Singapura, Uskup Agung Gregory Young pada 2 Juni dua tahun silam. Uskup Young, demikian FEER, terjebak PM Lee untuk membenarkan pengakuan resmi Vincent Cheng, 40 tahun seorang dari 22 tahanan yang ditangkap Pemerintah Singapura berdasarkan ISA (Undang-Undang Keamanan Nasional) pada 21 Mei 187. Sumber cerita ini adalah pernyataan Pastor Edgar D'Souza di Australia, dan pada FEER sebagai reaksi D'Souza terhadap tuduhan Mendagri Singapura S. Jayakumar: terlibat kampanye yang mendiskreditkan Pemerintah Singapura. Maka, Kardinal Young menganggap aktivitas D'Souza, dan tiga pastor lain, bisa melecut konflik antara gereja dan pemerintah. D'Souza memilih angkat kaki ke Australia 3 Juni tahun lalu. Cerita inilah yang membuat Orang No. 1 di Singapura marah besar. Melalui kantor pengacara Lee & Lee, PM Lee, 66 tahun, lalu menggugat FEER untuk beritanya yang mengesankan bahwa ia tidak toleran terhadap gereja Katolik. Selain itu Lee keberatan terhadap kalimat yang mengatakan, Uskup Young terjebak olehnya dalam konperensi pers. Karena itu, ia menuntut agar FEER menarik kembali pemberitaannya, membayar ganti rugi tanpa disebut jumlahnya -- dan meminta maaf. Tuntutan ini tak diindahkan pihak FEER, yang saat itu beroplah 73.000 eksemplar. Tak ayal lagi, sang perdana menteri menjatuhkan hukurnan dengan membatasi peredaran FEER di Singapura dari 10.800 menjadi hanya 500 eksemplar. Apa komentar FEER? "Kami menolak. Ini sama saja dengan pembredelan. Karena mereka menghalangi kami untuk melayani pembaca FEER di Singapura," kata Derek Davies kepada Leila S. Chudori dari TEMro awal pekan ini. Derek, yang ketika itu masih menjabat pimpinan sehari-hari FEER (Editor), melanjutkan, "Kami katakan, kami bisa melayani mereka atau sama sekali tidak. Kami tak ingin Pemerintah Singapura mengontrol oplah majalah kami. Sebab, dengan oplah 500 berarti Pemerintah Singapura akan mengontrol siapa yang boleh dan tak boleh membaca majalah kami." Selanjutnya Derek Davies, yang kini menjabat sebagai Editor-in-Chief FEER, mengakui pemotongan secara drastis itu telah menghantam bisnis perusahananya. "Bayangkan, 55 persen dari seluruh oplah saat itu sebanyak 73.000 dicetak di Singapura." Akibatnya, FEER terpaksa menutup percetakannya di Singapura. Tapi itu risiko yang sudah diperkirakan Derek Davies, 58 tahun, dan anak buahnya. Dia kini berada di Singapura bersama Mary Lee editorial manager, dan Michael Malik, reporter yang kini sudah menjadi redaktur senior, untuk menghadapi lanjutan kasus FEER di pengadilan. Dan yang dituntut oleh Orang No. 1 di Singapura itu cukup panjang: FEER, Derek Davies, Michael Malik, penerbit The Review Publishing Company Limited dan percetakan Time Prinfer, keduanya punya FEER. Di dalam kesaksiannya Selasa pekan lalu, Lee beranggapan, FEER-lah yang memilih untuk membuka luka lama antara gereja Katolik dan Pemerintah Singapura. "Problem dengan uskup sudah selesai. Pemerintah menginginkan hubungan yang baik," kata pembela Lee, John Previte, seperti dikutip The Straits Times. Karena itu, dengan penolakan FEER untuk menarik berita tersebut dan meminta maaf, Lee menganggap FEER telah melakukan libel. "Lee memang menganggap apa yan dikatakan artikel itu libel. Tapi kami menganggap apa yang tertulis itu adalah fakta," demikian Davies. Menurut dia, sejak 198 FEER memang tak punya koresponden di Singapura karena pemerintah melarangnya. Sejak itu, mereka selalu meliput berita-berita Singapura dari Hong Kong. Lalu, bagaimana cara mereka meliput berita yang bikin heboh itu? "D'Souza mengirimkan pernyataannya dari Australia ke Hong Kong. Kami juga sempat berbicara dengannya. Lalu Malik, yang pernah di Singapura, menulisnya," tutur Editor FEER Philip Bowring kepada Leila yang menghubunginya melalui telepon oleh TEMPO. Bowring, 46 tahun, beranggapan artikel tersebut adalah sebuah tindak lanjut dari artikel-artikel sebelumnya tentang kasus penahanan 22 orang itu . "Objektivitas pemberitaan tetap terjaga, karena laporan-laporan sebelumnya diisi wawancara dari berbagai narasumber," katanya. Pertimbangan pemberitaan ini, menurut Bowring, adalah karena Mendagri Jayakumar membicarakan persoalan tersebut dengan menyerang D'Souza di parlemen. Apakah sepak terjang Lee di pengadilan ini akan mempengaruhi FEER? "Kami tak akan membiarkan pengadilan ini mempengaruhi peliputan kami. Bagaimanapun, kami juga tak terima dikatakan bermaksud jahat pada negara Asia mana pun. Kami kan beroperasi di kawasan ini. Karena itu, kami harus menghormati tradisi, undang-undang, dan kebudayaan masyarakat dan tempat para koresponden kami berada," kata Davies yang membawahkan 54 wartawan FEER yang tersebar di penjuru dunia. Sementara sidang pengadilan ini masih akan berlangsung selama 10 hari lagi, baik Davies, Mary Lee, maupun Bowring tak ingin mengomentari persidangan tersebut. "Setiap kali kami berbicara tentang kasus ini pada pers, Pemerintah Singapura langsung menuduh kami bermaksud jahat," kata Mary Lee. Mereka enggan pula meramalkan prospek pengadilan tersebut. "Namun, seandainya kami kalah dalam persidangan ini dan kami harus membayar, apa boleh buat. Kalau kami juga harus meminta maaf dan kalau itu adalah peraturan Singapura, saya kira kami diharapkan mengikuti peraturan itu, bukan?" kata Derek Davies. Yah, pandai-pandailah terbang di kampung orang, Bung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini