Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengamuk Untuk Pad Zed

Majelis hakim menghukum Sabirin alias Ucok, 26, dan Muzakir bin Amin, 25, masing-masing seumur hidup dan 20 tahun. Keduanya membunuh kepala sekolah Zainuddin Amin, 47. Ratusan muridnya mengamuk.

7 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENDATI majelis hakim yang diketuai A. Katar Kuna telah menghu kum Sabirin seumur hidup dan Muzakir 20 tahun penjara, toh ratusan murid SMA Negeri Lhoksukon dan SMA Negeri Alue Ie Puteh, Aceh Utara, Kamis siang pekan lalu, masih mengamuk. Sebab, korban yang dirampok dan dibunuh itu tak lain dari Zainuddin, kepala dari salah satu sekolah tersebut, yang dicintai muridnya dan masyarakat setempat. Emosi para pelajar itu sudah meledak sejak persidangan Sabirin dan Muzakir dibuka awal September lalu. Mereka datang berduyun-duyun ke pengadilan dengan maksud menghabisi kedua terdakwa. Pada sidang terakhir Kamis itu, keberangan anak-anak muda itu tak terkendalikan lagi. Mereka melempari ruang kerja Ketua Pengadilan Negeri Lhoksukon, karena Sabirin dan Muzakir disembunyikan di situ. Akibatnya, kaca jendela ruang kerja Katar Kuna pecah. "Kami mau membunuh bajingan itu," kata salah seorang pelajar itu kepada TEMPO. Untuk mencegah keonaran berlanjut, hari itu juga Sabirin alias Ucok, 26 tahun, dan Muzakir bin Amin, 25 tahun terpaksa dikirim ke LP Banda Aceh -- 305 km dari Lhoksukon. Setelah itu barulah para pelajar tersebut bubar. Pada 4 Mei lalu, kota kecil itu gempar. Zainuddin Amin, 47 tahun, Kepala SMA Negeri Alue Ie Puteh, yang juga tokoh masyarakat setempat, mati dibunuh perampok di kebunnya. Selain menghabisi Zainuddin, para perampok juga mem boyong sepeda motor milik guru itu. Sehari sebelumnya, Zainuddin, yang dipanggil muridnya Pak Zed, sudah melihat Sabirin dan Muzakir berada di pondok kebun kemiri milik Syarkawi, yang bersebelahan dengan kebunnya. Menurut Muzakir, mereka terpaksa menginap di pondok itu karena kemalaman dalam perjalanan dari Bireuen -- 99 km dari Lhoksukon -- ke Tanoh Biroh, untuk mencari kerja. Ketika itulah kedua lelaki yang mengaku sebelumnya penarik becak di Bireuen itu melihat Zainuddin datang ke ladangnya dengan sepeda motor. Tiba-tiba Sabirin mendapat ide merampok guru tersebut. Ia menunda perjalanannya ke Tanoh Biroh dan meminta Muzakir mengasah parang, yang mereka temukan di perjalanan. Keesokan harinya, Zainuddin benar datang lagi dengan sepeda motornya ke ladang itu. Setelah guru itu masuk ke pondoknya, Sabirin dan Muzakir memeriksa sepeda motor itu. Ternyata, setang motor terkunci, dan mereka tak menemukan STNK-nya. Lalu, mereka mendatangi Zainuddin di pondoknya dan memperkenalkan diri sebagai orang upahan Syarkawi. "Apa Pak Syarkawi ada di pondoknya?" tanya Zainuddin. Sabirin menjawab "ada", padahal sebenarnya tak ada. Zainuddin mengajak kedua orang itu menemui Syarkawi. Ketika itulah, Sabirin memerintahkan Muzakir menghantamnya dari belakang. Muzakir segera mengeluarkan parang dari balik bajunya dan menebas leher Zed hingga korban roboh. "Hantam lagi," perintah Sabirin. "Saya tak mau. Kasihan melihat orang itu menggelepar-gelepar," kata Muzakir di persidangan. Tak sabar, Sabirin mengambil parang itu dari tangan rekannya dan berkali-kali menebas tubuh korban. Akibatnya, kedua tangan Zainuddin putus, leher dan pinggang nyaris putus dan tengkorak kepalanya retak. Zainuddin te was di situ juga. Setelah menemukan kunci serta STNK motor tersebut. Sabirin dan Muzakir segera kabur dengan motor itu ke Meulaboh, Aceh Barat, mele wati Banda Aceh. Pada 29 Mei 1989, mereka ditangkap d Meulaboh ketika hendak men jual motor itu. Di persidangan, kedua ter dakwa, yang tak tamat SD itu mengakui semua tuduhan Berdasar itu Jaksa Khairuddin Sipahutar menuntut mereka hukuman masing-masing 20 tahun. Tap Hakim Kuna menambah hukuman bag Sabirin. "Dia otaknya," kata Kuna kepada Menurut Kuna, hukuman berat itu dijatuhkan karena mereka membunuh guru yang berprestasi dan dihormati masyarakat. "Almarhum dibutuhkan negara dan ribuan siswa di Aceh ini," katanya. Pak Zed, sarjana muda pendidikan jebolan Unsyiah Banda Aceh 1968, memang sangat dihormati masyarakat di situ. Sebab almarhumlah yang memperjuangkan SMA swasta Lhoksukon dan SMA Alue Ie Pute menjadi berstatus negeri. Pada 1984, ayah empat anak itu diangkat menjadi kepala d SMA Negeri Alue Ie Puteh. Toh vonis berat itu tak menghibur parc pelajar kedua sekolah tadi dan juga istr almarhum, Farida Harun, 42 tahun. "Ap vonis itu bisa menghidupkan suami say kembali?" katanya pada TEMPO. MS & Makmun Al Mujahid (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus