Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah Vihara Di Cilincing

Tempat ibadah umat budha Vihara Lalitavistara dipugar. Bhiksu andhanavira, 34, mengharapkan agar umatnya tak hanya beragama di KTP. ketertinggalan Budha dengan agama lain karena ganjalan umatnya.

7 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHIDUPAN beragama terus dipersolek. Sabtu pekan ini pemugaran altar Vihara Lalitavistara di bekas Kelenteng Tiga Malaikat (Sam Yan Klong), Cilincing, Jakarta Utara, diresmikan Menteri Agama Munawir Sjadzali. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan peletakan batu pertama pembangunan sekolah dan klinik. Setelah pemugaran tadi, Biksu Andhanavira (sejak usia 9 tahun ia menetap di Kuil Cilincing) berharap jemaahnya lebih khusyuk dan mendalam memahami ajaran agamanya. "Bukan hanya beragama di KTP," katanya. Sehari-hari ia disebut Suhu. Menurut Suhu berusia 34 tahun dan tiga tahun memperdalam agama hingga mencapai derajat biksu di Taiwan ini, pengetahuan umat tentang ajaran Budha masih awam dan dangkal. Ambil saja contoh: mereka menyamakan vihara dengan kelenteng, tempat paling dekat dan sering mereka kunjungi. Kelenteng umumnya dipenuhi makanan dan buahan, malah disumpeki asap dupa. Di tempat pemujaan ini mereka memohon kepada Chai Sen (Dewa Keberuntungan) dan Dewa Kebenaran, Kwan Kong. Atau umat lebih suka melihat Dasib di kertas chiamsi. Tapi vihara itu bersih, anggun, dan ada altar kebaktian -- seperti tempat umat lain beribadat di masjid atau di gereja. Altar Kelenteng Tiga Malaikat (berdiri sejak abad ke-16 dan dilindungi Undang-Undang Monumen Stbl. 1931 No: 238) pada 21 September 1969 dibangun Biksu Chong Hoa -- setahun sebelum ia meninggal. Altar ini diberi nama Kumala Ratna Graha, kira-kira artinya: Istana Mustika Sempurna. Kemudian dibangun Vihara Lalitavistara. Nama ini diambil dari nama kitab berisi ajaran hidup Bodhisatva. "Sejak itu kita punya vihara," kata Suhu. Dengan biaya Rp 150 juta, altar sederhana itu bertahap dipugar sejak lima tahun silam. Dibuat dari kayu jati ukiran Jepara, 4 m x 2 m, tingginya 150 cm. Di atasnya beralas lotus (teratai), Budha duduk diembus AC, berangin sejuk. Arca marmer putih -- tinggi 25 cm dan bajunya berpelisir warna emas --didatangkan dari Myanmar (d/h Burma). Di latar depan terhampar relief Candi Borobudur, di kanan-kirinya relief Candi Prambanan dan Candi Pawon. Ruang ibadat Dharmasala (8m x 20 m) terasa hidup, dan nyaman. Selain ber-AC, di depan kanan-kiri Sang Budha tersaji sepiring jeruk jenis sunkist. Juga ada enam ragam persembahan berbentuk gunungan yang tingginya 20 cm. Sebagian terbuat dari permen dan kue cokelat, permen kacang, serta buah kurma. Wajah sakral terbentuk oleh kehadiran peralatan ibadat, ditata rapi sekitar Patung Budha. Ada tambur kecil, bui (kentongan berbentuk keong) dan pengetuknya, tempat dupa, air putih, lampu minyak yang terus menyala. Tambahannya: kembang-kembang lotus, mawar dari plastik, terangkai di vas keramik antik yang bermotif jemaah Budha. Suasana keramat tercuat pula dari dinding sekelilingnya, yang dijejeri seribu arca kecil Budha setinggi 20-an cm. Posisinya beragam. Ada yang berdiri, sebagian duduk semadi. Semua dibuat dari kaca serat (fiberglass). Dipesan di Bandung, harganya sebuah Rp 12.500 -- jauh dari harga Jepang yang setengah juta rupiah. Puluhan bohlam ukuran 5 watt di seputar ruangan memantulkan temaram ke arcaarca kecil Budha yang disemprot cat emas. Tanpa bau pengap asap, yang terasa, malah, kepala dibelai angin sejuk AC. Dalam rencana jangka panjang, kelenteng tua di belakang ruang ibadat ini akan digusur. Umat memuji usaha pemugaran yang diprakarsai Suhu Andhanavira. Ritanto S.S., Ketua Pelaksana Peresmian serta Peletakan Batu Pertama Pembangunan Sekolah dan Klinik, Vihara Lilitavistara, menyebutkan, ketertinggalan Budha dibanding agama lain, antara lain, karena ganjalan umatnya sendiri. Hingga kini, dari 600 jemaah, hanya 300an yang beribadat kemari. Sisanya, terutama kalau Tahun Baru Imlek, mereka mendatangi kelenteng tua ini dan membuat chiamsi di depan altar para Boddhisatva. Mereka yang hartanya melimpah membakar dupa dan lilin. "Bisa-bisanya lilin seberat satu kati dan harganya jutaan itu cuma dibakar habis," ujar Ritanto. Suhu memang sering menganjurkan: ketimbang cuma dibakar, harta itu lebih baik didanakan untuk pembangunan. Anjuran ini sejalan dengan aliran Mahayana yang menekankan penyebaran cinta kasih ajaran Buddha Gautama yang berkembang di Tibet, Himalaya, Mongolia, Tiongkok, Korea, Jepang, dan Indonesia. Aliran lain, yaitu Theravada, menekankan "penghancuran kotoran batin untuk mencapai Nirwana". Ajaran Theravada menyebar di selatan Sri Lanka, Kamboja, Laos, Muangthai juga Indonesia. Selain beda pada sisi ajaran, kedua aliran ini lain pula pada pakaian. Jubah penganut Mahayana menutupi semua pundak, tapi di Theravada menyilang dari satu pundak ke bawah ketiak. Dengan jumlah umat Budha seluruhnya 5 juta -- bersama dua aliran ini -- di Indonesia ada Tri Dharma, Maitheria, dan Kasogatan. Sadhu, Sadhu, Sadhu. Anjuran Suhu mulai tampak. Misalnya, di kala pemugaran serta pembangunan sekolah dan klinik, tadi. Walau jumlahnya belum sempat dihitung, yang jelas, dana mengalir dari 300 donatur tetap. Plus sumbangan barang. Usai direnovasi, yang belum terpikir dari mana lagi dikorek dana pemeliharaan vihara. Juga pembiayaan sekolah. Sramanhera atau Sramanheri (awal menuju biksu, dan kepalanya dibotak) secara berkala dididik di situ dalam Phabaja, dilatih Hidup Suci. Padahal, dengan cara inilah ajaran Budha bertahan di Vihara Lalitavistara, sejak empat abad silam. Ahmadie Thaha, sri Indrayati, Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus