SEBAGIAN kalangan pemilik modal konon masih ragu, apakah benar tidak akan ada devaluasi. Dua indikator yang tetap mereka pantau ialah apakah target ekspor tahun anggaran baru yang dimulai 1 April pekan ini akan tercapai. Dalam Nota Keuangan RAPBN 1991/1992, Pemerintah mengharapkan ekspor akan meraih devisa US$ 29.493 juta. Dari komoditi-komoditi nonmigas diharapkan sebesar US$ 18.784 juta. Sedangkan dari ekspor migas (minyak dan gas bumi) US$ 10.709 juta. Sektor-sektor itu sekilas tampak seperti telur di ujung tanduk. Harga minyak Maret lalu, tergelincir sampai sekitar US$ 17,20, padahal harga patokan APBN berkisar pada US$ 19 per barel. Memang, Menteri Pertambangan & Energi Ginandjar Kartasasmita optimistis, harga minyak akan sesuai dengan target APBN. Yang jelas, untuk itu Ginandjar harus berjuang agar OPEC bisa mengganjal harga minyak. Dan, tampaknya, sulit. Karena itu, untuk sumber penerimaan devisa, agaknya, Pemerintah harus berpaling pada ekspor nonmigas kendati sumber ini pun tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Soalnya kini, apakah ekspor nonmigas bisa dipacu. Sebelumnya, memang ada keraguan tentang itu. Alasannya, ekonomi Amerika terkena resesi dalam dua triwulan berturut-turut. Namun, setelah Perang Teluk berakhir, ada gejala resesi itu akan segera berhenti. "Apa yang terjadi di AS akan besar dampaknya bagi kita," kata Menteri Perdagangan Arifin Siregar yang mengingatkan bahwa AS adalah mitra dagang Indonesia yang paling besar. Pekan lalu, seusai melantik empat pejabat eselon I di Departemen Perdagangan, Arifin berbicara tentang adanya tanda-tanda bahwa kalaupun terjadi resesi di Amerika, bukanlah jenis resesi yang mengkhawatirkan. Lagi pula, Perang Teluk cepat selesai. Ladang minyak Saudi praktis tidak rusak dan harga minyak diperkirakan akan berkisar US$ 20 per barel. "Karena itu, kita tidak perlu khawatir. Kalau pun ada resesi, tidak terlalu mendalam (mild recession). Sekarang pun keadaan mungkin sudah kembali normal," ujar Arifin lebih lanjut. Perkiraan Arifin tampaknya benar. Koran International Herald Tribune (IHT) edisi 30 Maret menurunkan berita utama yang mengatakan bahwa roda-roda ekonomi AS sudah mulai berputar maju lagi. Indeks ekonomi AS bulan Februari 1991, yang diungkapkan Departemen Perdagangan AS, Jumat pekan lalu, menunjukkan pertumbuhan 1,1%. "Itu merupakan pertumbuhan pertama setelah mandek sejak Juni 1990," tulis IHT. Kendati begitu, ada pakar ekonomi AS yang masih ragu apakah resesi AS sudah berakhir. Masalahnya, pertumbuhan itu mungkin saja palsu. Hadi Soesastro, pengamat ekonomi dari CSIS, juga ragu. Ia mendapat kesan bahwa pertumbuhan itu agak semu karena yang dibeli adalah barang-barang konsumsi dan barang yang tahan lama. Artinya, orang berspekulasi dan mengurangi konsumsi. Menurut majalah Fortune edisi terbaru (8 April 1991), Gubernur Bank Sentral AS mungkin akan kembali mengendalikan likuditas. Ketua Fed, Alan Greenspan, dilukiskan seperti jenderal AS yang berganti-ganti taktik jangka pendek, demi mencapai targetnya: memerangi inflasi. Perang melawan inflasi ini, kata Fortune, telah dimulai tahun 1988, dan rupanya harus dibayar dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi dunia. Pertumbuhan yang terhambat telah menyebabkan resesi. Akibatnya, impor barang dan jasa AS tahun 1991 diperkirakan cuma senilai US$ 60 milyar. Bandingkan impor tahun 1990 yang US$ 100 milyar dan tahun 1987 yang US$ 180 milyar. Namun, pada akhir tahun ini GNP AS diperkirakan sekitar 3%. GNP Jerman Barat diperkirakan akan melambat tinggal 2,5% tahun ini, yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi di Prancis, Italia, dan Spanyol. Sedangkan ekonomi Jepang juga akan melambat. GNP Jepang tahun 1990, 5,6%, tahun 1991 diperkirakan 3,6%, dan tinggal 3% tahun 1992. Namun, sementara pertumbuhan negara-negara maju agak melambat, ekspor nonmigas Indonesia justru melaju. Menurut analisa Hadi Soesastro, ekspor ke Amerika Serikat tahun 1990 ( Januari-November), mencapai US$ 2.174 juta -- naik 18,14% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan ekspor ke Kanada pada periode yang sama naik 34,33% menjadi US$ 128 juta. Selain itu, Indonesia masih bisa memanfaatkan peluang dari Jerman yang tahun depan diperkirakan akan meningkatkan impornya, atau Jepang yang akan terus mengalihkan banyak pabriknya ke Asia Tenggara. Masalahnya, apakah Indonesia siap mengingat kini dilanda serba kekurangan, baik listrik, transportasi, maupun telekomunikasi. Satu hal yang juga tidak bisa dilupakan adalah beberapa peluang dari pasca-Perang Teluk. Proyek-proyek yang pernah ditawarkan Arab Saudi kepada Indonesia tentu bisa dibicarakan kembali. Bahkan Iran juga kembali membuka peluang imbal beli. PT Sucaco, misalnya, pekan lalu mengekspor kabel ke Iran bernilai US$ 52 juta. "Ini merupakan prestasi bagi Sucaco karena bisa meyakinkan pihak Iran yang terkenal sangat peka akan mutu dan waktu penyerahan," kata Arifin. Dahulu, eksportir memang didorong-dorong pemerintah, antara lain dengan subsidi seperti SE (sertifikat ekspor) dan KE (kredit ekspor). Dan devaluasi tahun 1983 dan 1986 juga merupakan fasilitas untuk eksportir. Setelah SE dan KE dihapus, apakah devaluasi masih relevan? Seorang peneliti senior dari The Institute of Developing Economies (Tokyo), Norio Mihira, melihat rupiah mengalami devaluasi 78% terhadap dolar dalam kurun 1972-1988. Akibatnya, rupiah merupakan valuta yang mengalami devaluasi paling besar dibandingkan bath Thailand (17%), peso Filipina (72%), won Korea (53%). "Devaluasi rupiah itu telah menyebabkan inflasi Indonesia paling tinggi," kata Mihira dalam buku Indonesia's Non-Oil Exports: Performance and Prospects yang baru saja terbit. Devaluasi itu juga yang melonjakkan suku bunga. "Tingginya suku bunga ini bisa menjadi kendala untuk ekspor dan industri umumnya, hingga Pemerintah dihadapkan pada masalah yang kritis untuk menekan kenaikan harga," demikian Mihira. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini