BANYAK orang yang antre di sebuah kantor cabang bank pemerintah di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis pekan lalu. Hari itu rupanya merupakan hari gajian sekaligus pembayaran tunjangan hari raya (THR) Lebaran dari perusahaan-perusahaan yang berkantor di situ. Cek gaji dan bonus Lebaran itu tampaknya tak seluruhnya dicairkan. Sebagian dikembalikan lagi ke bank dalam bentuk tabungan. Uniknya mereka sepertinya tak tertarik untuk menaruh uangnya dalam deposito yang menawarkan bunga 27% sampai 30%, atau undian sedan Baby Benz jika menaruh uang dalam bentuk giro. Mereka umumnya lebih suka untuk "mengamankan" duitnya dalam bentuk tabungan modern seperti Taplus (Tabungan Plus) di BNI atau Tahapan di Lippobank. Ramainya para penabung itu mungkin juga terjadi di berbagai bank yang menghuni gedung perkantoran megah di Jalan Thamrin-Sudirman, Kuningan, dan Gatot Subroto, yang sering disebut kawasan segitiga emas. Adakah pertanda bank kini akan kian basah dengan dana murah? Tampaknya belum. Buktinya, baik bank pemerintah maupun swasta masih bersaing menawarkan bunga tinggi. Likuiditas perbankan belum mengendur. Akhir Maret lalu merupakan saat penyedotan besar-besaran dana perbankan. Maklum, selain harus membayar gaji dan THR, pada saat yang sama perusahaan juga harus bayar setoran pajak penghasilan. Tak heran jika bank masih merayu para pemilik duit dengan bunga deposito. Bank pemerintah, dalam hal ini BBD, berusaha menekan bunga menjadi 22% sampai 24%. Tapi di saat yang sama BRI masih menawarkan bunga 25-26%. Dan BDN masih tetap bertahan dengan bunga 27% untuk simpanan deposito setahun. Ada kesan, bank pemerintah lain ingin membalas langkah mundur yang dimulai oleh BBD, sesaat setelah diumumkannya Gebrakan Sumarlin II. "BBD-lah yang sebenarnya bikin ulah," kata seorang direktur bank pemerintah yang menilai jurus BBD itu sebenarnya tak perlu. Konon, BBD terpaksa menaikkan suku bunga deposito dengan 4% karena merasa amat terpukul oleh gebrakan yang mendadak itu. Sekalipun banyak juga yang bilang, itu tindakan panik. Langkah bagus BBD boleh jadi telah bikin repot bank pemerintah lain. Pada 1 dan 2 Maret lalu mereka terpaksa lembur untuk melayani para nasabah kakap yang minta penyesuaian suku bunga. "Kalau tidak, deposito saya tarik," demikian seorang bankir pemerintah, menirukan ancaman nasabahnya. Kendati deposito belum jatuh tempo, bank-bank pemerintah lain merasa dipaksa untuk menaikkan suku bunga deposito. Suatu langkah yang dengan sendirinya diikuti oleh banyak bank swasta, yang sebagian berani menawarkan bunga hingga 30% setahun. Banyak yang menuding tindakan penurunan bunga oleh BBD. Bahkan ada bankir yang bilang, "Itu sandiwara." Buktinya? "Seorang nasabah utamanya masih ditawari bunga 27%," katanya. Adalah Presiden Direktur Panin Bank, Priyatna Atmadja, yang juga merasa pusing. "Bunga tinggi itu bikin repot," katanya. Menurut dia, Panin, yang saat itu menawarkan bunga tertinggi 26,5%, sempat kehilangan nasabah. "Untung, kami tak sampai mengalami krisis likuiditas," kata Pri. Rupanya, Panin Bank juga kena sedot dana BUMN sebesar Rp 20 milyar akibat Gebrakan Sumarlin itu. "Syukur, kami masih memiliki cadangan sekunder Rp 100 milyar lebih," tuturnya. Lippobank tadinya ingin melihat perkembangan selama dua minggu. Tapi tak tahan, rupanya. Dan Lippo, yang kabarnya rajin memelihara likuiditas sampai 30% dari dana pihak ketiga, ikut terjun mengerek bunga deposito menjadi 27%, sepekan setelah gebrakan itu. Kenapa cuma naik segitu? "Soalnya kami cuma ingin menjaga supaya nasabah kami tak lari. Jadi bukan bermaksud menjaring nasabah orang lain," kata Wakil Presiden Direktur Lippobank, Laksamana Sukardi. Laksamana setuju, jika bunga mau diturunkan, harus dilakukan oleh bank pemerintah dulu, tahap demi tahap. "Itu pun harus serempak dilakukan oleh semua bank pemerintah," katanya. Tapi mengapa bank pemerintah jadinya seperti saling pukul? "Ya, karena bank pemerintah masing-masing punya pertimbangan sendiri," kata Direktur Utama BRI, Kamardy Arief. "Kalau kami (BRI), kebetulan sedang cari dana untuk memenuhi suatu janji lama. Jika itu sudah dipenuhi, suku bunga bisa kami turunkan," katanya. Untuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), barangkali. "Ah, kredit untuk BPPC sih sudah dicairkan," kata Dirut BRI. Komitmen lama itu antara lain untuk pengusaha yang terpaksa melanjutkan proyeknya yang baru setengah jalan. Bunga untuk mereka terpaksa tinggi, antara 29% dan 30%. Kamardy menilai, kemampuan pengusaha untuk mengambil kredit kini sangat bervariasi. "Pengusaha tekstil, misalnya, cuma mampu mencicil bunga kredit 27%. Pengusaha plastik cuma sanggup 22%. Sedang perdagangan kayu hanya berani bayar bunga 9%," katanya. Kamardy sendiri tak yakin. "Tapi itulah suara nasabah yang tentunya punya perhitungan sendiri-sendiri," katanya. Menurut Priyatna, bunga pinjaman yang wajar mestinya tak melampaui 24% setahun. Hingga bunga deposito paling tinggi adalah 20% sampai 21%. Agaknya, sasaran itu yang kini hendak diarahkan oleh Bank Indonesia. Dan kalau ada bank yang diduga akan segera menurunkan suku bunga deposito, bisa jadi itulah yang bernama bank-bank pembangunan daerah (BPD). Sebab, merekalah yang menjadi kas semua pemerintah daerah. DIP (daftar isian proyek) yang akan disampaikan oleh para menteri ke segenap provinsi tentu akan segera masuk ke kas BPD. Max Wangkar, Bambang Aji, Bambang Sudjatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini