KEMELUT yang melanda GINSI (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia) ternyata cukup serius. Sampai pekan lalu, tanda-tanda rujuk antara dua kubu yang bertikai belum tampak. "Kami akan menempuh jalur hukum dan organisasi agar masalahnya tak berlarut-larut," kata Ketua GINSI, Daryatmo. Perselisihan bermula 10 Desember 1990. Ketika itu, Badan Pengurus Pleno (BPP) GINSI mengadakan rapat tahunan di Hotel Horison. Di situ, K.S. Oetomo, Ketua II BPP, melaporkan adanya penyelewengan keuangan dan pelanggaran AD/ART yang dilakukan Amiruddin Saud, Ketua I BPP GINSI dan Ketua BPD Jakarta. Menurut Oetomo, Amiruddin dinilai menyimpang dari AD/ART karena sejak terpilih sebagai Ketua BPD Jakarta periode 1988-1993, tak pernah melakukan musyawarah anggota. Bahkan, rapat anggota pun belum pernah. Padahal, rapat anggota harus dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Uang yang masuk dari anggota juga tak pernah dilaporkan. Pleno bersepakat: mempercayakan Daryatmo, selaku Ketua GINSI, untuk mengambil langkah penyelesaian. Atas dasar itu, pada 18 Januari 1991, Daryatmo menginstruksikan kepada Amiruddin, agar melaksanakan musda. Amiruddin menampik. Daryatmo geram, lalu pada 26 Februari 1991, penyelewengan Amiruddin dilaporkan ke Ditserse Mabes Polri. Bentuk penyelewengan keuangan, menurut Daryatmo, dilakukan dengan cara menggunakan bon sementara yang pengeluarannya fiktif. Misalnya untuk bayar telepon. "Jumlah keseluruhan belum jelas, masih dalam pengusutan," tuturnya. Tak berhenti di situ, Amiruddin pada 14 Maret 1991 dipecat dari semua jabatan. Hari itu juga surat pemecatan disampaikan pada Amiruddin. Tak mau kalah, Amiruddin memecat balik Daryatmo, dan mengambil alih sementara jabatan Ketua Umum GINSI. Surat pemberhentian itu menyebut Daryatmo telah melakukan empat pelanggaran: menginstruksikan musda tanpa rapat BPP, melapor ke polisi, menyalahgunakan kartu kredit, dan bertindak otoriter. Semua tuduhan dibantah Daryatmo. Termasuk tuduhan belakangan yang mengaitkannya dengan ramai-ramai sekitar SGS, yang habis kontrak. "Sama sekali tak ada hubungannya dengan kontrak SGS," ujar Daryatmo. "Isu itu tidak betul karena hubungan saya dengan Bea Cukai tak ada apa-apa." Amiruddin tak tinggal diam. "Saya tak pernah menggelapkan uang, semua pengeluaran ada bukti-buktinya," gebraknya. Pertanggungjawaban keuangan sudah diberikan pada pleno di Hotel Horison. "Waktu itu tak ada yang protes," katanya. Api perpecahan kian sulit dipadamkan. Pekan lalu, Daryatmo mengadukan masalah ini kepada Presiden Soeharto dan Kapolri. Kata Daryatmo, ada tiga aspek yang perlu dibenahi untuk mengatasi kemelut: pidana keuangan diserahkan kepada polisi, masalah organisasi lewat saluran organisatoris, dan pencemaran nama baik harus lewat pengadilan. Menurut Suara Pembaruan, Sabtu lalu Presiden Soeharto menyerukan agar kemelut GINSI diselesaikan sesuai dengan AD/ART. Presiden berpesan, kalau memang diperlukan, GINSI boleh saja melaksanakan munas luar biasa. Dalam urusan GINSI, Daryatmo, 66 tahun, agaknya pantang mundur. Di pentas politik, pemilik perusahaan importir Adi Perkasa Buana dan Kartika Kresno Sakti itu sudah tak asing lagi. Ia mencapai puncak karier politik ketika tahun 1973 sebagai Ketua MPR/DPR. Lain lagi Amiruddin. Belakangan ini, ia malah diam. "Saya sudah dilarang ngomong oleh Pak Sotion, Ketua Kadin," katanya. Soal tuntutan Daryatmo? "Bagi saya yang penting organisasinya harus ditegakkan, biarpun ada tuntutan kepada saya pribadi." Aries Margono & Ardian T. Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini