Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Produsen film dalam negeri beralih menggarap konten untuk layanan streaming video on demand.
Kiprah sineas belum massif seiring besarnya tuntutan menyediakan konten yang berbeda dan cekaknya modal.
Peluang masih besar seiring jor-joran belanja konten.
RENCANA Shanty Harmayn menggarap film Akhirat: A Love Story sempat tertunda. Syuting yang semestinya dimulai pada awal April 2020 terganjal kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang kala itu menerapkan pembahasan sosial berskala besar untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, di tengah kemurungan, ide baru muncul. Bersama timnya, Shanty, yang juga produser BASE Entertainment, merancang film yang bisa diproduksi dan ditayangkan di tengah pandemi. “Akhirnya diputuskan buat yang kecil-kecil saja, lalu (dikonsep) jadi omnibus,” kata Shanty, Selasa, 29 Desember 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, lima film pendek mulai digarap. BASE Entertainment berkongsi dengan Visinema Pictures, perusahaan film yang dipimpin sutradara Angga Dwimas Sasongko. Bertajuk Quarantine Tales, film antologi ini disiapkan untuk tayang di layanan streaming atau siaran video digital.
Mulai Jumat, 18 Desember 2020, film garapan lima sutradara, yakni Ifa Isfansyah, Jason Iskandar, Aco Tanri, Sidharta Tata, dan Dian Sastrowardoyo, tersebut mulai diputar secara eksklusif di Bioskop Online. Penyelenggara layanan transactional video on demand di bawah PT Bioskop Digital Indonesia—unit bisnis Visinema Group—ini menawarkan konten khusus film Indonesia.
Di Bioskop Online, Quarantine Tales bisa ditonton pengguna dengan merogoh Rp 10 ribu—belum termasuk pajak—untuk masa berlaku sewa 48 jam. Tarif di Bioskop Online ini disesuaikan dengan konten yang dipilih konsumen tanpa kewajiban berlangganan.
Proses produksi film Quarantine Tales. Foto: Dok. Base Entertainment
Sebelumnya, Bioskop Online menayangkan Story of Kale, sempalan dari film Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini yang diproduksi Visinema Pictures. Seperti Quarantine Tales, film berdurasi 70 menit ini diproduksi di tengah pandemi. Skala penggarapannya lebih kecil dibanding produksi layar lebar. “Saya mendesainnya supaya mudah diproduksi, dilakukan dengan santai, mobilitasnya rendah,” tutur sutradara dan penulis naskah Story of Kale, Irfan Ramli, Rabu, 30 Desember 2020.
Story of Kale menjadi contoh produksi untuk memenuhi kebutuhan konten baru ketika Bioskop Online mulai berdiri pada Juli 2020. Dalam sepuluh hari pertama penayangannya, film tersebut sudah menarik sekitar 200 ribu penonton, capaian yang membikin lega Ajeng Prameswari, President Digital Business Visinema Group.
Platform tayangan digital, menurut Ajeng, menjadi wadah pertunjukan yang lebih luas bagi karya para kreator dan penonton. Kehadiran platform semacam ini secara ekonomi juga menambah kanal distribusi yang pada akhirnya akan memicu meningkatnya pendapatan produser. “Produsen bisa bikin lebih banyak film, akhirnya mudah-mudahan industri jadi bertumbuh,” ucap Ajeng, Rabu, 30 Desember 2020.
Melihat besarnya peluang layanan digital, Visinema pun menerapkan dua model produksi: konten layar lebar dan konten online. Selain menghadirkan film, platform video digital menyajikan konten cerita bersambung.
Penyedia layanan pun berlomba menghadirkan tontonan serial original demi menggaet animo konsumen. GoPlay, misalnya. Hadir sejak September tahun lalu, layanan over-the-top video on demand yang merupakan bagian dari perusahaan teknologi Gojek ini kian rutin menayangkan serial baru. Salah satunya Jadi Ngaji, serial produksi perdana Arseri Creative House, yang baru tayang pada Oktober 2020.
Sutradara dan penulis naskah Jadi Ngaji, Muthia Zahra Feriani, mengatakan saluran video on demand memberikan peluang bagi kreator untuk menyampaikan pesan lebih panjang dan lama. Tantangannya: kreator kudu menyiapkan konten yang berbeda sebagai pilihan penonton.
Chief Executive Officer GoPlay Edy Sulistyo mengatakan platform yang dikembangkannya memang punya misi mendukung dan mengakselerasi pertumbuhan industri film nasional. Tak hanya menjadi saluran distribusi, GoPlay juga menggulirkan berbagai program untuk membangun ekosistem film, seperti program Script Doctor GoPlay yang diterapkan dalam produksi Jadi Ngaji. “Agar sineas terus menghasilkan karya dengan kualitas storytelling yang unggul,” kata Edy.
GoPlay juga memproduksi beberapa serial original, seperti Saiyo Sakato, Tunnel Indonesia, Gossip Girl Indonesia, Filosofi Kopi the Series, Kata Bocah The Show, dan Bukan Keluarga Biasa. Semuanya digarap bersama sineas dalam negeri.
•••
INDUSTRI film, seperti bisnis hiburan dan pariwisata lain, terpukul paling awal di masa pandemi. Jaringan bioskop konvensional—penyumbang pemasukan terbesar dari produksi film—tutup. Produksi pun berhenti di sepanjang semester I 2020. Itu sebabnya, layanan over-the-top video on demand (OTT VOD) yang beberapa tahun terakhir digandrungi pemirsa Tanah Air menjadi pilihan produsen film.
Selama ini, platform OTT VOD lebih banyak diisi film yang sudah turun di bioskop tradisional. Menurut sutradara Irfan Ramli, sineas yang menggarap film khusus untuk OTT VOD lokal ataupun global memang ada. “Tapi jumlahnya tidak masif. Penetrasinya gila-gilaan, juga butuh modal besar,” ujar Irfan.
Pandemi mendorong ekosistem konten sinema digital bergerak lebih cepat. Dalam pengamatan Shanty Harmayn, sejak pertengahan 2020, sejumlah rumah produksi mulai meraba kanal baru ini.
Pada 2019, sebelum menggarap Quarantine Tales, BASE Entertainment memproduksi serial Tunnel—versi Indonesia—yang ditayangkan di GoPlay. BASE pun kini sedang menyiapkan sebuah serial animasi berjudul Trase yang akan ditayangkan di Netflix pada 2021.
Menurut Shanty, proses penayangan konten di platform OTT VOD beragam. Kedua belah pihak, kreator dan pengelola platform, biasanya sama-sama mencari dan menyodorkan ide konten. Bayarannya berbeda-beda, bergantung pada layanan streaming dan jenis produksinya. “Semuanya relatif. Dibilang besar banget enggak, dibilang kecil, variannya lebar,” kata Shanty.
Bagaimanapun, konten adalah dagangan utama penyelenggara OTT VOD. Dana jumbo mereka siapkan untuk memperkaya ragam tayangan dan menarik pelanggan lebih besar. Pemain lokal seperti Mola TV menyiapkan bujet US$ 70 juta, atau hampir Rp 1 triliun, setiap tahun. Sedangkan pemain global yang kini tengah menguasai pasar Asia Tenggara, Netflix, membelanjakan US$ 14,6 miliar atau senilai lebih dari Rp 200 triliun pada 2019 untuk konten.
Sepanjang lima tahun terakhir, Netflix telah melipatgandakan jumlah konten dari Asia Tenggara, yang kini mencapai 500 judul meliputi konten original dan lisensi. Di Indonesia, penyelenggara layanan OTT VOD asal Amerika Serikat ini juga berkolaborasi dengan sejumlah sineas dalam negeri, baik dalam distribusi maupun pendanaan produksi. Mereka juga membeli lisensi sejumlah film karya rumah produksi lokal, seperti Starvision, Falcon Pictures, Visinema Pictures, Lifelike Pictures, Miles Films, dan BASE Entertainment.
Film original Netflix pertama yang digarap sineas Indonesia adalah The Night Comes for Us pada 2018. Yang terbaru, Netflix tengah memproduksi dua film original Indonesia yang disutradarai Nia Dinata dan Hadrah Daeng Ratu. Rencananya, kedua film itu tayang pada 2021. “Kami menyadari bahwa kami membutuhkan konten-konten hiperlokal yang relevan bagi penonton Indonesia,” ucap juru bicara Netflix yang disampaikan pada Kamis, 31 Desember 2020, lewat Charista Aprilia dari public relations agency Keystone Advisory Indonesia. “Sehingga kami bekerja sama dengan kreator lokal untuk menentukan film dan serial apa saja yang bisa kami produksi dan beli di sini.”
AISHA SHAIDRA, KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo