Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ogah Buru-buru Bereuforia

Pemerintah berikrar mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Banyak masalah di mata pengusaha. 

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Rantau Dedap di Muara Enim, Sumatera Selatan. supreme-energy.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengembang listrik EBT menyambut dingin komitmen Indonesia dalam COP26.

  • Banyak masalah yang menghambat pengembangan EBT di Indonesia.

BAGI Nisriyanto, masih banyak pertanyaan tersisa yang belum pasti jawabannya di mata pengembang energi baru dan terbarukan (EBT) atas berbagai komitmen Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, dua pekan terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Direktur PT Supreme Energy ini menilai setiap dukungan dan keberpihakan akan memberikan dampak positif terhadap pengembangan EBT, termasuk pengembangan energi panas bumi yang dilakoni perusahaannya. "Hasil COP26 belum saya ketahui secara pasti bentuk keberpihakan itu," kata Nisriyanto, Jumat, 12 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Turut dalam COP26, Indonesia jauh-jauh hari telah mengkampanyekan komitmennya untuk memenuhi Perjanjian Paris. Di sektor energi, pemerintah berikrar mengurangi secara bertahap ketergantungan pemenuhan kebutuhan listrik pada pembangkit berbahan bakar batu bara.

Sebagai penggantinya, kontribusi EBT dalam bauran energi nasional akan diperbesar. Di sisi lain, menjelang pelaksanaan COP26, pemerintah menggulirkan peraturan tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Regulasi ini menjadi dasar skema perdagangan karbon yang digadang-gadang dapat menjadi salah satu sumber pendanaan pengembangan EBT.

Pertanyaannya, Nisriyanto melanjutkan, apakah selepas COP26 akan tersedia tambahan pendanaan untuk mempercepat eksplorasi EBT? "Atau bagaimana mekanisme perdagangan karbon? Apakah ada kelanjutannya? Bagaimana pasar karbon menyikapinya?" tuturnya. “Semua masih menunggu langkah-langkah konkret dari hasil COP26 ini.” Itu sebabnya Nisriyanto tak ingin buru-buru menjawab pertanyaan apakah berbagai komitmen Indonesia dalam gerakan perubahan iklim dunia bakal menjadi momentum ekspansi bagi pengembang EBT.

Menurut dia, masih ada sejumlah masalah yang merintangi pengembangan bisnis EBT. Pandemi Covid-19, misalnya, menghambat penyelesaian konstruksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Rantau Dedap di Muara Enim, Sumatera Selatan. Pengembangan pembangkit 2 x 49,2 megawatt oleh Supreme Energy ini diperkirakan rampung pada akhir 2021, mundur dari jadwal semula Agustus 2020.  

Selain menggarap proyek Rantau Dedap, Supreme Energy sedang berfokus menyiapkan pengembangan PLTP Muara Laboh tahap II di Sumatera Barat dan eksplorasi PLTP Rajabasa di Lampung. Dua proyek ini juga masih terhadang urusan renegosiasi harga listrik dan perjanjian jual-beli listrik dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). "Masih dilakukan negosiasi dengan PLN," ucap Nisriyanto.

Semua persoalan itu berkelindan dengan sejumlah regulasi, yang menurut Nisriyanto, “Perlu diharmoniskan.” Dia mencontohkan, Kementerian Keuangan telah menerbitkan berbagai insentif untuk mendukung keekonomian proyek EBT, termasuk panas bumi. “Tapi pada saat yang sama ada tambahan pajak, PBB tubuh bumi, yang sangat tinggi dan berpengaruh buruk terhadap keekonomian proyek.”

Halim Kalla, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Energi Terbarukan, yang mengembangkan proyek mikrohidro lewat PT HK Buton Energy, mengamini kabar adanya seabrek permasalahan dalam pengembangan EBT. Halim kini menantikan penerbitan regulasi tentang pembelian tenaga listrik energi terbarukan—yang sejak tahun lalu digagas bersamaan dengan peraturan perdagangan karbon.

Penerbitan regulasi tentang harga, kata Halim, cukup mendesak. Selama ini pengembangan bauran energi bersih masih berjalan lambat lantaran tarif EBT yang belum kompetitif. "Presiden sudah berkomitmen, maka penentuan tarif harus disegerakan. Tanpa itu, tidak akan ada dasar negosiasi," ujar Halim, Jumat, 12 November lalu. "Sudah beberapa kali saya tanyakan, penjelasannya masih belum gamblang."

Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Paul Butarbutar menilai pemerintah memang telah menunjukkan komitmen positif terhadap pengembangan EBT. Namun yang kini dinantikan adalah langkah operasi sejumlah kebijakan.

Hadir dalam penyelenggaraan COP26, Paul menilai perlu ada upaya mendorong masuknya pendanaan internasional ke sektor EBT. Peluang pendanaan itu, kata dia, sebenarnya cukup besar karena arah pembiayaan kini mengarah pada energi bersih. Banyak sinyal positif dari berbagai pihak, termasuk investor dalam negeri, yang siap mendanai investasi rendah karbon. "Yang penting pemerintah bisa membuat enabling environment sehingga investor dari mana pun bisa masuk," ucap Paul.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus