Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Waskita Beton menghadapi PKPU, yang berpotensi menyeret induknya, Waskita Karya, ke dalam cross default.
Utang BUMN menggelembung akibat penugasan pemerintah.
Jurus baru disiapkan untuk menyelamatkan Garuda yang terancam pailit.
TRILIUNAN rupiah dana investor publik lewat reksa dana kini terkunci di PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). Anak badan usaha milik negara (BUMN) konstruksi PT Waskita Karya (Persero) Tbk itu tengah menghadapi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sementara. Status perusahaan menjadi standstill, tidak boleh membayar bunga atau pokok utang apa pun, kepada siapa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak PKPU WSBP itu sebetulnya sudah terasa bagi investor ketika perseroan gagal membayar bunga obligasi pada akhir tahun lalu. Kini investor reksa dana dengan underlying asset obligasi WSBP itu juga harus bersiap ketiban masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para investor tampaknya mesti menahan lebih lama investasi mereka. Kepada Tempo, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo optimistis WSBP tak akan pailit. “Tapi mesti diperpanjang tenor utangnya dengan sangat panjang,” kata Kartika, Rabu, 2 Maret lalu. Atau investor kudu menanti strategi lain WSBP, seperti gali lubang yang baru untuk menutup utang yang lama.
Obligasi Berkelanjutan I Waskita Beton Precast Tahap I Tahun 2019 (WSBP01CN1) jatuh tempo pada 5 Juli 2022. Surat utang sebesar Rp 500 miliar tersebut dirilis pada 8 Juli 2019 dengan janji bunga 9,95 persen tahun dan pembayaran kupon per tiga bulan.
Adapun Obligasi Berkelanjutan I Waskita Beton Precast Tahap II Tahun 2019 (WSBP01CN2) bakal jatuh tempo pada 30 Oktober 2022. Surat utang sebesar Rp 1,5 triliun itu dirilis pada 31 Oktober 2019 dengan janji imbal hasil 9,75 persen per tahun. Pembayaran kuponnya per tiga bulan.
Aktivitas pekerja di pabrik beton pracetak milik PT Waskita Beton Precast Tbk, di Karawang, Jawa Barat, Agustus 2016. Dok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan
Rupanya, dua surat utang korporat ini menjadi underlying asset sejumlah reksa dana. PT Sucorinvest Asset Management, perusahaan manajer investasi, tercatat sebagai pemegang terbesar obligasi tersebut, mencapai Rp 483,7 miliar. Produk reksa dana Sucorinvest itu di antaranya berupa Reksa Dana Terproteksi Sucorinvest Proteksi 30 senilai Rp 146,9 miliar dan Reksa Dana Sucorinvest Money Market Fund sebesar Rp 210,7 miliar. Dihubungi sejak Jumat pekan lalu, 4 Maret 2022, Investment Specialist Sucorinvest, Toufan Yamin, belum menjawab soal reksa dana mereka di WSBP ini.
Di bawah Sucorinvest, ada PT BNI Asset Management yang memegang Rp 419 miliar obligasi WSBP. Produk-produk reksa dana BNI Asset Management yang mengempit obligasi WSBP itu antara lain Reksa Dana Terproteksi BNI AM Proteksi Cendana sebesar Rp 152 miliar dan Reksa Dana Terproteksi BNI AM Proteksi Ebony sebesar Rp 191,9 miliar. “Sudah ada pembicaraan antara semua manajer investasi terkait dan WSBP,” ujar Hindria Listyadi, Kepala Komunikasi Korporat dan Pemasaran BNI Asset Management, saat dihubungi pada Jumat, 4 Maret lalu.
Bahana TCW Investment Management duduk di peringkat ketiga. Dua produk mereka, Reksa Dana Terproteksi Bahana Progressive Protected Fund 196 dan Reksa Dana Terproteksi Bahana Progressive Protected Fund 199, memegang obligasi WSBP masing-masing senilai Rp 98,6 miliar dan Rp 89,9 miliar.
Adapun Trimegah Asset Management ada di bawah Bahana, dengan koleksi obligasi WSBP sebesar Rp 178 miliar. Angka itu berasal dari dua produk reksa dana Trimegah, yaitu Reksa Dana Terproteksi Trimegah Terproteksi Futura XVI sebesar Rp 107 miliar dan Reksa Dana Terproteksi Trimegah Terproteksi Prima XXIII sebesar Rp 71 miliar.
Pejabat Komunikasi Pemasaran Bahana TCW Investment Management, Novianita Pertiwi, mengakui Bahana sedang berkomunikasi intensif dengan WSBP perihal situasi surat utang mereka. Menurut dia, Bahana TCW melihat asumsi bisnis WSBP ke depan akan bagus. “Kami berharap agar proposal perdamaian yang akan diajukan (WSBP) ke pengadilan nantinya tetap membawa dampak positif terhadap investor,” kata Novianita lewat surat elektronik pada Jumat, 4 Maret lalu. “Sesuai komitmen kami yang akan mengedepankan kepentingan investor.”
Waskita Beton Precast menjadi satu-satunya batu sandungan yang tersisa bagi Waskita Karya buat pulih. Dialah anak usaha yang belum bisa direstrukturisasi utang-utangnya. Belum sempat melonggarkan tunggakan utang, penyedia beton pracetak buat proyek-proyek infrastruktur induknya itu malah kena PKPU. “Karena vendornya banyak yang gugat,” ucap Kartika Wirjoatmodjo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, yang menjadi mitra Kementerian BUMN, pada September 2021. “Satu vendor diberesin (dilunasi), satu lagi PKPU.”
Kartika Wirjoatmodjo di Jakarta, April 2018. Dok. TEMPO/Fakhri Hermansyah
Inilah yang ditakutkan Tiko—panggilan Kartika Wirjoatmodjo. PKPU WSBP, jika berujung pailit, bisa menyeret induknya, Waskita Karya, ke jurang cross default. “Kami mendorong perdamaian dengan kreditor dan vendornya,” kata Tiko. “Yang berat vendornya, semoga kami bisa cari perdamaiannya.”
•••
SEBELUM ditetapkan masuk PKPU sementara pada 25 Januari 2022, WSBP telah bolak-balik lolos dari jerat gugatan serupa. Perkara pertama datang dari gugatan PT Hartono Naga Persada pada 31 Maret 2021. Dalam rentang enam bulan berikutnya, April-September 2021, gugatan juga dilayangkan bergiliran oleh PT Existama Putranindo, PT Sinar Mutiara Sempurna, PT Samudra Jaya, PT Honindo Pratama Mandiri, dan PT Tatchi Engineering Indonesia.
Sebagian gugatan-gugatan utang tersebut dilunasi WSBP, sebagian lagi penggugatnya menarik laporan, dan beberapa ditolak pengadilan. Pengadilan baru mengabulkan gugatan PKPU keenam terhadap WSBP yang didaftarkan pada 23 Desember 2021 oleh Magdalena Yohan Heryadi dan Suwito Muliadi.
Ketidakmampuan WSBP membayar utang kepada vendor, kontraktor, hingga kreditor itu sebenarnya imbas dari memburuknya keuangan sang induk. Mayoritas pendapatan WSBP berasal dari WSKT, kode emiten Waskita Karya. Per Juni 2021, sebanyak 74 persen pendapatan WSBP berasal dari penjualan ke Waskita. Setahun sebelumnya, Juni 2020, porsinya bahkan sempat mencapai 94 persen.
Ketika pendapatan sang induk jatuh, WSBP ikut terjungkal. Waskita tak mampu membayar tagihan para vendor, termasuk kepada anak usahanya sendiri. Per 30 September 2021, piutang dan tagihan WSBP ke Waskita mencapai Rp 2,4 triliun. “Selama ini anak usaha dapat dari induk,” ujar Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono pada Kamis, 10 Februari lalu. “Jadi, kalau perputaran di induk berhenti, semua terhenti. Ke depan kami harap anak usaha dapat cash in dari luar.”
Pada September 2021, di hadapan Komisi VI DPR, Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan bahwa kantong Waskita sakratulmaut gara-gara utangnya yang terus menumpuk, tapi tidak dibarengi dengan kenaikan penghasilan. Puncak utang Waskita terjadi pada 2019, mencapai Rp 70,9 triliun—bisa menjadi Rp 90 triliun bila dihitung dengan liabilitas kepada vendor dan kontraktor.
Tanpa malu-malu Kartika menyebut biang menggunungnya utang Waskita Karya itu adalah penugasan pemerintah sepanjang 2015-2016. Saat itu, banyak ruas tol Trans Jawa yang mangkrak bertahun-tahun. Pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama, dengan Menteri BUMN pertamanya adalah Rini Soemarno, juga berambisi mengebut pembangunan ruas tol Trans Sumatera.
Mereka kemudian menugasi BUMN untuk mengerjakannya. Salah satu yang ketiban “pulung” itu adalah Waskita Karya. Perusahaan konstruksi ini diminta mengakuisisi sejumlah ruas tol mangkrak, seperti Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, dan Pasuruan-Probolinggo. Inilah ruas-ruas kunci penyambung Trans Jawa.
Waskita juga dipasrahi menggarap jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi, Bekasi-Cawang-Kampung Melayu, Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi, dan Kayu Agung-Palembang-Betung. Ada 16 jalan tol yang dibangun Waskita, dengan total investasi mencapai Rp 18,9 triliun.
Apes bagi Waskita. Ketika menugaskan proyek-proyek strategis nasional itu, pemerintah tidak membekali mereka dengan dana penyertaan modal negara (PMN). Mereka mencari modal sendiri, yang akhirnya jatuh pada kredit perbankan hingga obligasi. Hanya 30 persen dari tiap-tiap proyek itu yang dibiayai dari kantong Waskita sendiri, sisanya utang.
Dampaknya, total utang Waskita menggelembung empat kali dari hanya di kisaran Rp 20 triliun sebelum 2015. Total utang Grup Waskita yang berhubungan dengan pembangunan sejumlah jalan tol tersebut mencapai Rp 52,9 triliun. “Karena penyelesaian tol-tol ini,” kata Kartika Wirjoatmodjo. “Jadi memang baru sekarang (PMN-nya). Dikerjain dulu, baru dapat PMN. Kebalik sequence-nya.”
Jorjoran membangun proyek ambisius pemerintah dengan utang komersial itu seperti menyiram bensin ke sekujur tubuh Waskita, yang baru terbakar ketika pandemi Covid-19 meletup. Pendapatan dari jalan tol yang sudah beroperasi menurun gara-gara pembatasan pergerakan manusia. Sebagian ruas tol yang dibangun juga tidak ekonomis sejak awal—makanya pemerintah menugasi BUMN.
Bisnis konstruksi, yang menyumbang 87 persen dari total pendapatan Waskita, juga anjlok. Pada 2019, pendapatan Waskita dari usaha konstruksi masih Rp 28,6 triliun. Setahun kemudian tinggal Rp 14,2 triliun. Padahal inilah tumpuan Waskita untuk membayar beban utang. Pendapatan Waskita terperosok tajam, dari Rp 45,2 triliun pada 2017 tinggal Rp 16,2 triliun pada 2020, dengan pendapatan perusahaan sebelum dikurangi bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) negatif.
Kondisi tersebut membuat Waskita dan Kementerian BUMN mengibarkan bendera putih dalam hal kemampuan bayar utang. “Pemburukannya signifikan. Akhirnya kami dengan Kementerian Keuangan melakukan restrukturisasi menyeluruh,” ujar Kartika.
Pada September 2021 itu, Waskita sukses merayu 21 bank agar mau mengundurkan jangka waktu utang senilai Rp 29,2 triliun selama lima tahun, dengan bunga yang kompetitif. Jurus serupa dilakoni terhadap utang anak usaha, seperti PT Waskita Karya Realty, PT Waskita Karya Infrastruktur, dan PT Waskita Toll Road.
Kementerian BUMN juga memaksa Waskita melepas sejumlah ruas tol yang telah beroperasi. Dari penjualan aset itu, Waskita hanya akan mengambil sedikit untung. Yang penting 70-an persen utang untuk modal pembangunan sejumlah jalan tol tersebut beralih kepada pembeli baru. “Kami ingin memutar dana yang berhenti di investasi tol,” tutur Kartika. Pada 2019, lima ruas tol telah dilepas. Jika semua aset itu bisa dijual, hitung-hitungan Waskita, akan mengurangi beban utang konsolidasi sebanyak Rp 41 triliun.
Selain meminta WSKT mendivestasi jalan tol, Kementerian BUMN menggerojok modal negara sebesar Rp 7,9 triliun buat Waskita. Waskita dan Kementerian BUMN menargetkan mendapat tambahan modal baru dari publik sebagai pemegang saham minoritas lewat rights issue.
Target itu meleset. Dari ancar-ancar Rp 4 triliun tambahan yang diincar, publik hanya memberi Rp 1,5 triliun. Tambahan modal ini untuk merampungkan sejumlah ruas tol penugasan. Gara-gara tidak diminati, porsi kepemilikan saham pemerintah di Waskita melompat dari 66 persen menjadi 75 persen.
Setelah membereskan postur keuangan, Waskita mulai menggeser arah kemudi bisnis mereka. Sesuai dengan permintaan Kementerian BUMN, kata Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono, perseroan akan kembali ke inti bisnis perusahaan, yaitu jasa konstruksi. “Investasi (jalan tol atau lainnya) tidak dilarang, tapi harus lihat kondisi keuangan,” ujar Destiawan pada Kamis, 10 Februari lalu.
Untuk memagari niat itu, Kementerian BUMN telah menambah satu nomenklatur pada direktur di BUMN karya seperti Waskita, yaitu direktur manajemen risiko yang dirangkap direktur keuangan. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade, menyebutkan ketiadaan manajemen risiko dalam penugasan pemerintah selama ini menjerumuskan BUMN. “Jangan lupa, kalau dikasih penugasan, pemerintah harus kasih peluru,” ucap Andre dalam rapat dengan Kementerian BUMN, September 2021. “Jangan setelah babak-belur masuk got baru diselamatkan.”
Pemerintah, kata Kartika Wirjoatmodjo, kini sedang menyusun ketentuan-ketentuan penugasan pemerintah kepada BUMN, dalam rencana revisi Undang-Undang tentang BUMN. Revisi ini adalah usul DPR. “Nanti dalam RUU BUMN, setiap kali ada penugasan, harus ada perhitungan dampak sosialnya dan keuangannya di side lain,” ujar Kartika. “Hutama Karya itu kalau enggak ada PMN besar-besaran juga akan sama nasibnya dengan Waskita.”
Ucapan Kartika Wirjoatmodjo benar. Kendati disuruh menggarap Jalan Tol Trans Sumatera, PT Hutama Karya (Persero) masih basah diguyur modal negara. Sepanjang 2015-2022, hanya pada 2017 dan 2018 Hutama Karya absen di daftar penerima PMN. Selama periode tersebut, perseroan menerima tambahan modal negara senilai Rp 76,15 triliun, sebanyak 64,4 persen di antaranya dari anggaran 2021 dan 2022.
Walaupun begitu, PMN itu tak bisa menutup seluruh kebutuhan modal perseroan untuk menggarap proyek yang ditaksir mencapai Rp 150 triliun. Walhasil, Hutama Karya tetap harus menombok, mencari utang sendiri. Hingga 2021, utang Hutama Karya mencapai Rp 42,3 triliun kepada sejumlah kreditor dan Rp 25 triliun kepada para vendor.
Jika dibandingkan dengan tiga BUMN karya lain, yaitu PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, dan PT PP (Persero) (PTPP), hanya Waskita yang rasio utang lancarnya kurang dari satu kali. Aset lancar Waskita per 30 September 2021 hanya Rp 34,8 triliun, cuma 0,75 atau 75 persen dari kewajiban lancar perusahaan yang mencapai Rp 46,6 triliun. Artinya, kemampuan perusahaan membayar utang diragukan.
•••
UTANG PT Waskita Karya (Persero) Tbk, yang merembet pada penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) anak perusahaan, bukan satu-satunya masalah yang dihadapi Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Masalah keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, yang sudah lama dalam daftar pasien restrukturisasi, juga makin pelik.
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memperpanjang PKPU Garuda, yang diajukan PT Mitra Buana Korporindo pada Oktober 2021, menjadi PKPU tetap selama 60 hari sampai 21 Maret 2022. Jika tak tercapai perdamaian sampai akhir, Garuda bakal pailit.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan manajemen telah mengajukan proposal perdamaian itu. Total kreditornya mencapai 800 entitas. Kepada parlemen, Irfan menyebutkan negosiasi dengan lessor pesawat yang paling sulit. “Menantang dan banyak variabelnya,” ujar Irfan pada Jumat, 4 Februari lalu.
Garuda mengajukan pemotongan utang kepada lessor alias perusahaan yang membiayai pengadaan pesawat—baik pada skema beli maupun sewa. Selama dua tahun masa pemulihan pandemi, Garuda juga mengajukan pembayaran sewa lewat skema biaya hak penggunaan dengan nilai minimum. Jika pandemi sudah pulih, pembayarannya baru menggunakan harga pasar. Kepada kreditor lain, Garuda juga mengajukan recovery nilai utang yang lebih kecil. Setiap satu dolar Amerika Serikat utang Garuda akan dibayar dengan nilai 19 sen dolar Amerika.
Pesawat Garuda Indonesia di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Juli 2017. TEMPO/Iqbal Lubis
Sementara itu, untuk pemulihan kinerja, manajemen Garuda menjanjikan kepada kreditor akan ada suntikan modal dari pemegang saham. Tambahan ini untuk modal kerja dan stabilisasi kegiatan operasional. Janji terakhir ini rupanya berhubungan langsung dengan Panitia Kerja Penyelamatan Garuda Indonesia, yang baru saja dibentuk oleh Komisi VI DPR pada Rabu, 16 Februari lalu.
Menurut Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi NasDem, Martin Y. Manurung, panitia kerja akan mendalami opsi-opsi yang tersedia untuk penyelamatan Garuda. “Bagaimana DPR, khususnya Komisi VI, memberikan dukungan politik agar Garuda sebagai national flag carrier bisa tetap mengudara,” tutur Martin.
Seorang anggota Komisi VI menyebutkan panitia kerja ini sebetulnya permintaan pemerintah. Kesepakatannya, panitia kerja akan menelurkan rekomendasi, agar DPR dan pemerintah menganggarkan PMN buat Garuda di Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara 2023. Keputusan politik tersebut, kata anggota ini, berguna bagi Garuda untuk meyakinkan kreditornya dalam negosiasi perdamaian utang dalam proses PKPU nanti. “Jadi sudah ada kepastian PMN ketika negosiasi nanti, kendati baru akan masuk APBN ke depan,” ujar anggota ini.
Anggota Komisi VI dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan panitia kerja belum sempat menggelar rapat lagi setelah dibentuk pada 16 Februari lalu karena terbentur reses. Segera seusai reses, kata Andre, panitia kerja akan menyisir sejumlah opsi penyelamatan Garuda. “Pokoknya Garuda harus tetap terbang,” tutur Andre ketika ditemui di Jakarta, Rabu, 2 Maret lalu.
Total nilai tagihan utang kepada Garuda yang didaftarkan oleh para kreditor di pengadilan mencapai Rp 198,81 triliun. Tagihan itu berasal dari 501 kreditor. Angka tersebut bisa bertambah atau berkurang setelah verifikasi pengurus PKPU.
Beginilah wajah sebagian BUMN saat ini: menumpuk utang, dikejar-kejar tagihan vendor dan investor.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo